Indonesia tak lagi berhasil menemukan cadangan migas dalam skala besar pasca-penemuan Blok Cepu di era 2000-an. Ketidakpastian berinvestasi adalah penyebab kenapa Indonesia dianggap tak menarik di mata investor.
Oleh
ARIS PRASETYO
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Iklim usaha atau investasi sektor hulu minyak dan gas bumi di Indonesia sangat membutuhkan kepastian. Kepastian itu meliputi kepastian payung hukum, kepastian penyederhanaan perizinan, dan kepastian penghormatan terhadap kontrak.
Direktur Eksekutif ReforMiner Institute Komaidi Notonegoro, Selasa (1/12/2020), mengatakan, masalah hulu minyak dan gas bumi (migas) dari dulu tak pernah berubah. Produksi terus menurun dan belum ada penemuan cadangan baru berskala besar.
Padahal, dua masalah tersebut sangat bergantung pada besaran investasi. Indonesia harus berbenah agar menjadi negara yang paling menarik untuk investasi hulu migas.
”Kata kuncinya hanya satu (untuk menarik investasi), yaitu kepastian. Kepastian ini meliputi payung hukum, yakni undang-undang tentang migas, kemudahan perizinan, dan kestabilan kontrak. Selama itu belum dipenuhi, maka sulit bagi Indonesia untuk keluar dari masalah,” ujarnya saat dihubungi di Jakarta.
Menurut Komaidi, selama induk aturan migas, yaitu Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Migas, tak memberikan kepastian, maka dapat dipastikan aturan di bawahnya juga tidak akan mampu menjadi jalan keluar dari masalah. Saat ini UU No 22/2001 dalam pembahasan revisi di DPR. Namun, prosesnya tak masuk dalam program Legislasi Nasional prioritas di 2021.
”Karena UU migas masih berlarut-larut, investor dari luar memandangnya sebagai ketidakpastian. Dalam dunia bisnis, ketidakpastian artinya risiko. Sementara Indonesia bukanlah satu-satunya negara tujuan investasi hulu migas. Investor akan mencari negara lain yang lebih memberikan kepastian berusaha,” tuturnya.
Masalah hulu migas dari dulu tak pernah berubah, yaitu produksi terus menurun dan belum ada penemuan cadangan baru berskala besar.
Kepala Divisi Manajemen Proyek dan Pemeliharaan Fasilitas pada Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) Luky Yusgiantoro menyampaikan, Indonesia berusaha menggaet investor migas lewat ajang International Convention on Indonesian Upstream Oil dan Gas 2020. Ajang yang diselenggarakan secara virtual pada 2-4 Desember 2020 ini adalah konvensi sekaligus forum pertemuan bisnis bagi semua pemangku kepentingan di sektor migas.
”Ajang ini akan diikuti oleh pelaku usaha, asosiasi profesi migas, unsur pemerintah, organisasi non-pemerintah, baik dari dalam negeri maupun dari luar negeri. Ajang ini diharapkan dapat menarik minat investor untuk berinvestasi di Indonesia,” ujarnya dalam telekonferensi pers, Selasa.
Dalam ajang ini, imbuh Luky, pemerintah akan mengumumkan data migas yang ada di Indonesia. Harapannya, investor akan tertarik dan berinvestasi di Indonesia. Presiden RI Joko Widodo dijadwalkan akan membuka acara ini dan memberikan sambutan secara virtual.
Sebelumnya, Pelaksana Tugas Pusat Kebijakan Pendapatan Negara pada Badan Kebijakan Fiskal Pande Putu Oka Kusumawardani menuturkan, potensi migas di Indonesia masih menarik untuk dikembangkan. Hanya saja, Indonesia perlu memperbaiki iklim investasinya untuk menarik minat investor.
Berdasarkan data Wood Mackenzie dan IHS Markit, dari 0 sampai 5, skala Indonesia untuk daya tarik fiskal hulu migas 2,4 atau di bawah rata-rata dunia yang sebesar 3,3. Oleh karena itu, perbaikan iklim investasi dan kemudahan berusaha di sektor hulu migas harus terus-menerus diperbaiki secara kesinambungan.
”Beberapa hal yang harus dilakukan adalah penyederhanaan birokrasi, kontrak bagi hasil yang fleksibel, insentif fiskal dan nonfiskal, serta perbaikan data migas,” kata Kusumawardani dalam seminar daring internasional ”Hulu Migas Indonesia”, Kamis (19/11/2020).
Berdasarkan data Wood Mackenzie dan IHS Markit menunjukkan, dari 0 sampai 5, skala Indonesia untuk daya tarik fiskal hulu migas sebesar 2,4 atau di bawah rata-rata dunia yang sebesar 3,3.
Kusumawardani menambahkan, industri hulu migas masih sangat penting bagi pemerintah Indonesia. Sektor tersebut telah menyumbang penerimaan bagi negara Rp 180 triliun pada 2019. Selain itu, kontribusi sektor migas terhadap produk domestik bruto di tahun yang sama sebesar Rp 773 triliun atau 4,9 persen.