Antisipasi Pengaruh Transisi Energi pada Sektor Perdagangan Internasional
Dunia sedang bergerak meninggalkan energi fosil menuju sumber energi bersih dan berkelanjutan. Indonesia harus siap mengantisipasi dampak dan segera memasukkan transisi energi dalam agenda pembangunan nasional.
Oleh
ARIS PRASETYO
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Tak menutup kemungkinan di masa mendatang penggunaan sumber energi terbarukan disyaratkan di sektor perdagangan dan investasi global. Oleh karena itu, Indonesia harus bisa sesegera mungkin mengantisipasi pengaruh transisi energi di berbagai sektor. Transisi energi di Indonesia sebaiknya dimasukkan dalam agenda pembangunan nasional.
Menteri Pertambangan dan Energi periode 1998-1999 Kuntoro Mangkusubroto, Senin (30/11/2020), mengatakan, target bauran energi nasional Indonesia pada 2025 yang sebesar 25 persen sebaiknya harus terpenuhi. Kendati tak ada sanksi hukum apabila tak tercapai, tak menutup kemungkinan capaian sebuah negara terhadap komitmen pengurangan emisi gas rumah kaca menjadi pertimbangan dalam hubungan dagang internasional dan investasi.
”Ini yang harus diantisipasi dan diperhatikan dengan baik (oleh pemerintah). Tak menutup kemungkinan di masa depan, sektor perdagangan akan dipengaruhi oleh hal-hal semacam ini (komitmen suatu negara terhadap pengembangan energi terbarukan),” ujarnya dalam telekonferensi pers tentang ”Transisi Energi” di Jakarta.
Kuntoro menambahkan, dari sisi investasi, banyak investor yang menginginkan pasokan energi yang dibutuhkan untuk industri mereka berasal dari sumber energi bersih dan berkelanjutan. Ketersediaan sumber energi terbarukan akan menjadi pertimbangan penting sebelum mereka menanamkan investasinya di suatu negara. Pertimbangan semacam ini dimungkinkan akan menjadi tren di masa mendatang.
Ketersediaan sumber energi terbarukan akan menjadi pertimbangan penting sebelum mereka menanamkan investasinya di suatu negara.
Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform Fabby Tumiwa berpendapat, apabila target bauran energi nasional di 2025 gagal dicapai oleh Indonesia, bisa jadi Indonesia dianggap tak berkomitmen dengan Perjanjian Paris yang pernah diratifikasi Pemerintah Indonesia pada 2015. Hal ini turut berpengaruh terhadap reputasi Indonesia di dunia global yang sedang gencar menerapkan transisi energi menuju energi terbarukan.
”Nama Indonesia di pergaulan internasional akan kurang bagus karena dianggap tak berkomitmen dengan Perjanjian Paris 2015. Padahal, sejumlah negara maju di G-20 sudah mengumumkan bahwa negara mereka akan bebas karbon di tahun-tahun mendatang. China, misalnya, telah mendeklarasikan netral dari karbon pada 2060,” ujar Fabby.
Oleh karena itu, lanjut Fabby, Pemerintah Indonesia perlu memasukkan agenda transisi energi ke dalam agenda pembangunan di Indonesia. Transisi energi perlu direncanakan, disiapkan, dan dilaksanakan untuk mengantisipasi berbagai hal. Salah satunya adalah dampak ketergantungan pada energi fosil, khususnya di Indonesia adalah batubara.
”Dalam beberapa tahun mendatang, pembangkit listrik dari sumber energi terbarukan akan jauh lebih murah dan berkelanjutan ketimbang pembangkit listrik yang membakar batubara (PLTU). Dalam berbagai kajian, PLTU berpotensi menjadi aset yang terbengkalai di masa mendatang akibat kalah bersaing dengan pembangkit dari energi terbarukan,” katanya.
Nama Indonesia di pergaulan internasional akan kurang bagus karena dianggap tak berkomitmen dengan Perjanjian Paris 2015.
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mencatat, potensi sumber energi terbarukan di Indonesia mencapai 417.800 megawatt (MW). Potensi terbesar ada di tenaga surya yang mencapai 207.800 MW peak (MWp), lalu tenaga bayu 60.600 MW, bioenergi 32.600 MW, panas bumi 23.900 MW, dan gelombang laut 17.900 MW.
Dari semua potensi itu yang termanfaatkan baru 10.400 MW atau sekitar 2,4 persen saja. Sementara porsi energi baru dan terbarukan dalam bauran energi nasional masih sekitar 10,9 persen.
Untuk mempercepat pemanfaatan sumber energi terbarukan, Direktur Jenderal Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi pada Kementerian ESDM Dadan Kusdiana mengatakan, pemerintah dalam waktu dekat segera menerbitkan peraturan presiden tentang harga listrik dari energi terbarukan. Beberapa poin penting dalam perpres tersebut adalah penetapan feed in tariff (patokan harga tenaga listrik berdasar biaya produksi) untuk pembangkit listrik tenaga hidro, tenaga surya, tenaga biomassa, dan PLTS atap dengan kapasitas hingga 5 MW.
Adapun harga listrik dari PLTA peaker, bahan bakar nabati, dan gelombang laut ditetapkan berdasar mekanisme kesepakatan antara pengembang dan PLN. ”Begitu pula konversi pembangkit listrik tenaga diesel untuk digantikan dengan PLTS plus baterai sebagai penyimpan daya listrik sehingga tidak ada lagi intermiten,” katanya.