Aturan Turunan Harus Menjamin Keadilan dan Kepastian Pajak
Rancangan Peraturan Pemerintah, sebagai turunan Undang-undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, mesti memberi kepastian dalam regulasi dan implementasinya.
Oleh
KARINA ISNA IRAWAN
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Rancangan Peraturan Pemerintah Kemudahan Berusaha Bidang Perpajakan ditargetkan selesai pada akhir November ini. Salah satu aturan turunan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja itu dituntut mampu menciptakan keadilan dan kepastian pajak.
Saat ini pemerintah sedang menyusun aturan turunan Undang-Undang Cipta Kerja berupa 40 peraturan pemerintah (PP) dan 4 peraturan presiden (perpres). Sejauh ini, ada 30 draf rancangan peraturan pemerintah (RPP) yang sudah selesai dan dapat diakses di laman uu-ciptakerja.go.id.
Adapun aturan turunan yang masih dalam tahap penyusunan, di antaranya, adalah RPP Kemudahan Berusaha Bidang Perpajakan. RPP ini meliputi perubahan berbagai ketentuan dalam tiga UU terkait perpajakan, yaitu UU No 6/1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, UU No 7/1983 tentang Pajak Penghasilan, dan UU No 8/1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan, RPP perpajakan terdiri dari enam bab yang mencakup delapan pasal. Secara garis besar, substansi RPP perpajakan fokus pada empat hal, yakni meningkatkan pendanaan investasi, mendorong kepatuhan wajib pajak, memberi kepastian hukum, dan menciptakan keadilan iklim berusaha di dalam negeri.
”UU Cipta Kerja akan memberi kepastian perpajakan bagi dunia usaha. Kepastian diciptakan melalui rezim dengan memberikan keadilan level berusaha,” kata Sri Mulyani dalam acara serap aspirasi UU Cipta Kerja sektor perpajakan, Kamis (19/11/2020).
Pengamat Pajak Danny Darussalam Tax Center (DDTC), Darussalam, berpendapat, isu utama yang mesti terjawab dalam RPP perpajakan adalah penciptaan keadilan dan kepastian pajak. Keadilan dan kepastian pajak tidak cukup pada tataran regulasi, tetapi juga dalam implementasi pelaksanaannya. Salah satu ketentuan yang banyak disorot terkait pajak dividen. Dalam UU Cipta Kerja, Pajak Penghasilan (PPh) atas dividen dari dalam negeri dihapuskan.
Isu utama yang mesti terjawab dalam RPP perpajakan adalah penciptaan keadilan dan kepastian pajak.
Sementara dividen dan penghasilan setelah pajak dari luar negeri tidak dikenai PPh sepanjang diinvestasikan atau digunakan untuk kegiatan usaha di Indonesia.
Darussalam menilai, ketentuan pajak dividen yang baru akan menciptakan keadilan pajak. Sebelumnya, tarif pajak dividen orang pribadi dan badan dibedakan. Pajak dividen orang pribadi bisa 32,5 persen, sedangkan pajak badan 25 persen. Tarif pajak itu jauh lebih tinggi dibandingkan dengan Singapura (17 persen) dan Malaysia (24 persen).
”Saat ini, dengan UU Cipta Kerja, tarif pajak yang dikenakan sesuai level pemajakan badan sebesar 22 persen sampai tahun depan. Tidak dibedakan,” kata Darussalam.
Aturan detail
Wakil Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Suryadi Sasmita berpendapat, sebagian besar masukan dunia usaha terkait perpajakan sudah diakomodasi di dalam UU Cipta Kerja. Meski demikian, ketentuan perpajakan dalam UU Cipta Kerja harus dibuat secara detail dalam PP ataupun Peraturan Menteri Keuangan.
Salah satu ketentuan yang perlu dibuat lebih detail adalah berkaitan pajak dividen. UU Cipta Kerja tidak menjelaskan jenis investasi yang bisa mendapat pembebasan PPh dividen dan penghasilan setelah pajak dari luar negeri. Selain itu, aturan terkait batas waktu pengkreditan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) juga perlu diperjelas.
”Setelah draf RPP perpajakan selesai, pemerintah juga harus mendengarkan masukan per sektor usaha,” ujarnya.
Menurut Suryadi, ketentuan perpajakan dalam UU Cipta Kerja harus menjamin aspek keadilan.
Setelah draf RPP perpajakan selesai, pemerintah juga harus mendengarkan masukan per sektor usaha.
Sekretaris Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Susiwijono Moegiarso menambahkan, pemerintah membuka ruang aspirasi terkait UU Cipta Kerja. Penyerapan aspirasi dilakukan secara langsung dan tidak langsung. Publik yang ingin memberi masukan dapat mengakses portal resmi UU Cipta Kerja.
Sementara itu, Kamis, Komite Pembela Hak Konstitusional (Kepal) mengajukan uji formil atas UU No 11/2020 ke Mahkamah Konstitusi. UU No 11/2020 dinilai menyimpang dari aturan pembentukan UU serta memuat ketentuan yang bermasalah terkait sektor pertanian, hortikultura, perkebunan, pendidikan, nelayan, dan pertanahan.