Draf Aturan Pengendalian Impor Belum Cerminkan Perlindungan
Pemerintah menyiapkan aturan pengendalian impor gandum, tapioka, kedelai, dan tembakau dalam rancangan peraturan pemerintah UU Cipta Kerja sektor pertanian. Namun, drafnya dinilai belum mencerminkan perlindungan petani.
Oleh
M Paschalia Judith J
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah mengusulkan kebijakan perlindungan petani untuk sejumlah komoditas yang terbatas dalam rancangan peraturan pemerintah sektor pertanian terkait Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Namun, rancangan aturannya dinilai belum menunjukkan indikator perlindungan.
UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja mengamanatkan impor pangan mesti memperhatikan kepentingan petani, peternak, dan nelayan. Pasal 64 UU Cipta Kerja mengubah ketentuan impor pangan dalam UU Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan.
Dalam Pasal 14 UU Pangan disebutkan, sumber penyediaan pangan berasal dari produksi dalam negeri dan cadangan nasional, tetapi diubah dalam UU Cipta Kerja menjadi sumber penyediaan pangan diprioritaskan berasal dari produksi dalam negeri, cadangan nasional, dan/atau impor pangan.
Selain itu, Pasal 64 UU Cipta Kerja juga menyebutkan, sumber penyediaan pangan patut memperhatikan kepentingan petani, nelayan, pembudidaya ikan, serta pelaku usaha pangan mikro dan kecil melalui kebijakan tarif dan nontarif. Perubahan atas Pasal 36 UU Pangan juga mengamanatkan kepentingan itu menjadi perhatian dalam impor pangan.
Dalam rapat bersama Komisi IV DPR, Sekretaris Jenderal Kementerian Pertanian Momon Rusmono mengatakan, kebijakan pengendalian impor gandum, tepung ubi kayu atau tapioka, kedelai, dan tembakau menjadi substansi rancangan peraturan pemerintah (RPP) turunan UU Cipta Kerja.
”Hal ini bertujuan untuk mengamankan produksi dalam negeri serta menjaga kesejahteraan petani agar dapat tetap berproduksi. Selain itu, untuk menjaga keseimbangan ketersediaan pasokan di dalam negeri,” tuturnya, Selasa (17/11/2020).
Usulan itu menggolongkan gandum, kedelai, dan tapioka dalam kelompok barang yang dilarang atau terbatas impornya. Selain itu, pengaturan tata niaga produk tanaman pangan mesti dalam satu peraturan menteri pertanian.
Pengaturan impor pangan segar cukup melibatkan satu pintu kementerian/lembaga. Sementara izin impor produk pangan strategis, seperti jagung, kedelai, dan tapioka, diputuskan melalui rapat koordinasi terbatas di tingkat Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian.
Tarif impor sejumlah komoditas pangan, seperti gandum, terigu, dan tepung tapioka, perlu ditinjau ulang. ”Seluruh usulan kebijakan pengendalian impor ini diharapkan dapat mewujudkan kedaulatan pangan,” kata Momon.
Dalam kesempatan yang sama, Direktur Jenderal Tanaman Pangan Suwandi mencontohkan, tarif impor yang berlaku saat ini untuk gandum sebesar nol persen, tepung dari gandum 5 persen, tapioka 10 persen, dan kedelai nol persen. Kondisi ini perlu ditinjau kembali agar dapat memberikan perlindungan pada petani.
Agar perlindungan itu dapat terlaksana di tengah impor, dia mengusulkan adanya kewajiban menyerap produk petani dalam negeri. Secara spesifik, Suwandi mengharapkan, harga acuan singkong diatur dalam peraturan menteri perdagangan.
Menanggapi komoditas yang disebutkan dalam usulan kebijakan, Guru Besar Fakultas Pertanian IPB University sekaligus Ketua Umum Asosiasi Bank Benih dan Teknologi Tani Indonesia Dwi Andreas Santosa mempertanyakan aspek perlindungan petani. ”Contohnya gandum. Indonesia tidak memiliki petani gandum,” ujarnya saat dihubungi, Selasa.
Oleh sebab itu, pemerintah dinilai mesti memperdalam kajian terhadap usulan kebijakan tersebut. Ada dua aspek yang patut menjadi perhatian, yakni jumlah petani di tiap komoditas pertanian yang diproduksi di dalam negeri serta nilai keekonomiannya. Misalnya, petani gabah/beras dan produk hortikultura memenuhi kedua aspek tersebut dan harus mendapatkan perlindungan dari pemerintah.
Selain itu, kebijakan tarif impor relevan untuk diterapkan. ”Sebaiknya jangan kebijakan kuota karena rawan dipermainkan oleh oknum-oknum tertentu,” katanya.