Warga di Desa Pageraji, Kecamatan Cilongok, Banyumas, Jawa Tengah, kian terganggu munculnya hama semut. Sudah sejak 2015, hama ini muncul dan kian meresahkan. Penyemprotan dilakukan untuk menekan populasi semut.
Oleh
WILIBRORDUS MEGANDIKA WICAKSONO
·4 menit baca
PURWOKERTO, KOMPAS — Serangan hama semut sejak 2017 kian meresahkan warga di RT 003 RW 003 Desa Pageraji, Kecamatan Cilongok, Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah. Selain menggigit tubuh di dalam rumah sehingga menyebabkan gatal, semut juga merusak makanan di atas meja. Pembelian obat antiserangga pun menjadi biaya pengeluaran tambahan per minggu untuk menekan populasi semut itu.
”Seminggu sekali bisa beli obat antiserangga ukuran 600 mililiter dengan harga Rp 34.000 sampai Rp 39.000 per botol. Kalau tidak punya uang, pakai air sabun yang disemprotkan, tetapi hasilnya tidak maksimal,” kata Hidayat (35), salah satu warga Desa Pageraji, Senin (16/11/2020).
Hidayat menyampaikan, semut-semut berwarna hitam kecokelatan itu diperkirakan berasal dari salah satu pabrik pengolahan kayu yang ada di desa itu. Pabrik yang sudah tutup sejak 2019 itu jaraknya sekitar 300 meter dari rumah warga di RT tersebut. Kayu-kayu yang diolah di pabrik itu didatangkan dari Sumatera.
”Dulu sekitar 2015 sudah mulai banyak semut, tetapi belum begitu mengganggu. Mulai banyak dan masuk rumah warga sekitar 2017 sampai sekarang,” kata Hidayat.
Hidayat mengatakan, semut biasanya bersarang di sela-sela kayu dan pelepah pohon kelapa. Biasanya semut akan keluar sarang setelah hujan dan pada malam hari. ”Semut ini mengganggu sekali. Kalau tidur tidak nyaman dan makanan yang sudah disekat air juga bisa dikerubungi,” katanya.
Kharisma (29), warga lainnya, juga mengeluhkan hal serupa. Sambil menunjukkan barisan semut yang merayap di batang pohon menuju tumpukan kayu bakar, dia mengatakan bahwa sarang semut ini berpindah-pindah. ”Kemarin sudah disemprot, banyak yang mati, tetapi mereka pindah tempat lagi,” katanya.
Mungkin ada perubahan habitat, misalnya dibangun perumahan, tetapi kami belum tahu seperti apa lokasinya. Ada juga kemungkinan predatornya, yaitu burung pemakan serangga, semakin langka. Mungkin habitat ekosistemnya berubah. (Trisnowati)
Menurut Kharisma, semut ini sudah mengganggu sekitar 40 rumah dan tidak ada lawannya. Rayap menjauh, burung dan ayam pun tidak mau makan semut ini. ”Bahkan, beberapa waktu lalu ada ular yang melewati rombongan semut malah ularnya yang dikeroyok,” ucapnya.
Menurut Hidayat dan Kharisma, di kawasan itu tidak ada perburuan burung liar yang bisa menjadi predator semut-semut ini. ”Kalau ada pemburu burung, sudah ditegur warga sini,” ujar Kharisma.
Karena sebagian besar semut bersarang di pelepah pohon kelapa, lanjut Hidayat, para penderes pohon kelapa juga banyak yang terganggu dan memilih tidak mengambil air nira kelapa untuk dijadikan gula merah. ”Ada empat penderes kelapa di sini, tetapi hanya satu yang bertahan,” kata Hidayat.
Muharto (63), penderes kelapa yang masih bertahan, menyampaikan, sekali naik ke atas pohon, dia bisa dikeroyok ribuan semut. ”Rasanya pating slenit. Kalau dikumpulkan bisa ada satu botol semut,” ujar Muharto.
Dia terpaksa bertelanjang dada saat naik ke atas pohon karena bisa dengan cepat menghalau semut daripada berkaus lalu sulit menjangkau semut di dalam baju. Ia terpaksa melakoni menderes kelapa karena itu satu-satunya sumber kehidupannya. ”Sehari saya naik enam pohon kelapa. Bisa untuk membuat 2 kilogram gula merah. Sekarang 1 kilogram gula merah Rp 15.000,” kata Muharto.
Perubahan habitat
Dihubungi terpisah, Kepala Laboratorium Entomologi dan Parasitologi Fakultas Biologi Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto, Trisnowati Budi Ambarningrum menyampaikan, pihaknya belum bisa menentukan jenis semut apa yang menjadi teror bagi masyarakat karena kunjungan ke lapangan baru dijadwalkan besok.
Namun, kemungkinan penyebab terjadinya fenomena ini, antara lain, karena musim hujan sarang semut tergenang air dan semut pun keluar, kemudian perubahan habitat, misalnya pembangunan perumahan di sekitar lokasi itu.
”Mungkin ada perubahan habitat, misalnya dibangun perumahan, tetapi kami belum tahu seperti apa lokasinya. Ada juga kemungkinan predatornya, yaitu burung pemakan serangga, semakin langka. Mungkin habitat ekosistemnya berubah,” ujar Trisnowati.
Dari pantauan Kompas, lokasi sekitar RT 003 RW 003 berada sekitar 400 meter dari jalan raya, jalan penghubung Purwokerto-Tegal. Pepohonan tinggi dan rindang masih tampak di sekitar lokasi. Namun, beberapa titik di pinggir jalan besar terdapat sejumlah gudang dan bangunan depo penyimpanan material berupa batu atau pasir.
Pemerintah Kabupaten Banyumas melalui Badan Penanggulangan Bencana Daerah telah melakukan penyemprotan cairan antiserangga di kawasan ini. Penyemprotan direncanakan berlangsung selama sebulan.