Pemerintah berupaya mendorong daya saing pangan di perdagangan domestik dan global lewat korporatisasi petani. Namun, upaya itu diharapkan tidak mengabaikan perlindungan terhadap kepentingan petani dan usaha mikro kecil.
Oleh
Agnes Theodora
·6 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah berencana mendorong daya saing pangan dalam perdagangan domestik dan global melalui korporatisasi petani yang diyakini akan semakin mendekatkan petani ke pasar. Konsep ini perlu ditelaah secara ekstra hati-hati agar tidak mengabaikan perlindungan terhadap petani dan usaha mikro kecil.
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto, Sabtu (7/11/2020), menyampaikan, pertanian menjadi salah satu sektor yang terus tumbuh di tengah pandemi Covid-19. Badan Pusat Statistik mencatat, ekspor sektor pertanian terus mengalami kenaikan signifikan. Pada September 2020, ekspor naik 16,2 persen secara tahunan (year on year) dan 20,8 persen secara bulanan (month to month).
Secara kumulatif selama dua tahun terakhir, kinerja ekspor sektor pertanian juga konsisten meningkat. Pada Januari-September 2020, ekspor sektor pertanian naik 9,7 persen secara tahunan dan pada Januari-September 2019 naik 2,8 persen secara tahunan.
”Melihat kenaikan yang signifikan itu, hilirisasi pertanian menjadi sangat penting untuk kita dorong,” kata Airlangga dalam diskusi virtual bertema ”Peningkatan Daya Saing Produk Pangan Dalam Perdagangan Global” yang digelar oleh Akademi dalam bidang Ilmu Pangan dan Gizi (AIPG) serta Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI).
Ia mengatakan, untuk meningkatkan daya saing produk pertanian, pemerintah terus mendorong pengembangan pertanian berkelanjutan lewat peningkatan skala usaha pertanian. Caranya melalui integrasi hulu-hilir serta memanfaatkan pelibatan teknologi dan dukungan kemitraan dari pemilik modal dalam lingkup korporasi. Dukungan itu dalam bentuk modal, teknologi, dan akses distribusi.
Dengan kata lain, korporatisasi pertanian. ”Model peningkatan nilai tambah yang didorong adalah kerja sama atau korporatisasi petani. Ini yang diharapkan Presiden (Joko Widodo), di mana ada kerja sama (antara petani) dengan pihak swasta,” ujar Airlangga.
Menurut dia, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja yang baru diteken Presiden Joko Widodo memberi kemudahan terhadap upaya tersebut melalui pelonggaran syarat pembentukan koperasi dan perseroan terbatas (PT). PT bisa dibentuk dengan modal yang lebih kecil, tidak harus minimal Rp 50 juta. Koperasi juga bisa dibentuk dengan sembilan orang saja, tidak harus 20 orang seperti sebelumnya.
Model peningkatan nilai tambah yang didorong adalah kerja sama atau korporatisasi petani.
”Ini beberapa hal yang didorong agar petani bisa meningkatkan nilai tambah dan aktif masuk di downstream atau turun sampai ke hilir. Ini akan semakin mendekatkan petani ke pasar,” katanya.
Seiring dengan itu, pemerintah juga terus mengembangkan model kemitraan CSV (creating shared value) antara pemerintah pusat, daerah, swasta, dan petani. Salah satunya lewat proyek lumbung pangan (food estate). Untuk tahap pertama, pemerintah sudah menyiapkan lahan 30.000 hektar di Kalimantan Tengah untuk menerapkan pertanian modern.
Proyek itu akan dikembangkan lagi ke 118.268 hektar untuk pelaksanaan tahun 2021. Lahannya akan dibagi sebanyak 29.768 hektar untuk dikelola petani, 20.000 hektar untuk BUMN, dan 68.500 hektar untuk investasi small farming. Untuk tahap kedua yang akan dimulai pada 2022, pemerintah menyiapkan 622.333 hektar lahan yang akan dikelola secara korporasi dengan kerja sama investor asing dan nasional.
Petani kecil
Guru Besar Madya Departemen Agribisnis IPB University Bayu Krisnamurthi mengingatkan agar upaya peningkatan daya saing pangan untuk memenuhi tantangan industri jangan sampai mengabaikan perlindungan terhadap kepentingan petani dan usaha mikro kecil. Proteksi dan promosi terhadap petani kecil harus didorong untuk melindungi kepentingan mereka di tengah perkembangan industri pertanian.
”Ini untuk menghindari menjadikan petani sebagai alat untuk mendapat keuntungan tidak normal. Kita tahu bisa saja alasannya disebut demi kesejahteraan petani, tetapi pada akhirnya yang mendapat untung bukan petaninya,” kata Bayu yang juga Ketua Dewan Penasihat Perhimpunan Ekonomi Pertanian Indonesia.
Dalam tulisan opininya, ”Semakin Gurem” yang dimuat di Kompas, 29 Agustus 2020, Bayu mengupas lebih dalam desain pengembangan korporasi petani yang digagas pemerintah. Upaya depeasantization (mengurangi petani subsisten berskala kecil yang digantikan dengan petani komersial berskala besar) di beberapa negara berhasil membuat petani lebih profesional dan produktif, serta sejahtera. Namun, di Indonesia, dampak itu tidak terlihat, justru semakin banyak petani turun kelas.
Ia menyoroti data BPS yang menunjukkan jumlah petani gurem di Indonesia terus meningkat. Pada 2013, jumlah petani gurem 14,25 juta orang. Mereka adalah petani yang menguasai lahan kurang dari 0,5 hektar. Pada 2018, jumlah itu naik 10,95 persen menjadi 15,81 juta orang. Jumlah petani gurem mendominasi 57,12 persen dari total jumlah petani yang pada 2018 sebanyak 27,68 juta rumah tangga.
Jumlah petani gurem mendominasi 57,12 persen dari total jumlah petani yang pada 2018 sebanyak 27,68 juta rumah tangga.
Menurut Bayu, untuk mengimbangi hal itu, perlu ada dukungan khusus yang diberikan langsung ke petani secara komprehensif, mulai dari pendidikan dan pelatihan, pendanaan, teknologi, pendampingan, penjaminan pasar, hingga pemberian subsidi yang sistematis. Desain korporasi petani harus melibatkan para petani gurem. Pemahaman yang utuh atas kondisi sosial ekonomi petani adalah faktor kunci.
Sementara itu, Guru Besar Departemen Teknologi Pangan dan Hasil Pertanian Universitas Gadjah Mada Sri Raharjo mengatakan, peningkatan inovasi dan teknologi penting untuk mengembangkan rantai pasok pangan. Dimulai dari hulu dalam produksi pangan, hilirisasi berupa pengolahan produk pangan, hingga distribusi menuju pasar, baik ekspor maupun domestik.
”Kebutuhan akan teknologi dan inovasi sudah demikian maju. Akan diperlukan ketersediaan sumber daya manusia (SDM) yang memadai untuk memenuhi kebutuhan itu,” katanya.
Namun, sebelumnya, pemerintah harus menuntaskan sejumlah pekerjaan rumah. Pertama, pemerintah harus mendorong investasi pada aspek sumber daya manusia untuk menyiapkan diri menghadapi tantangan peningkatan daya saing. Kedua, memitigasi dampak yang tidak diinginkan berupa gangguan pada kohesi sosial dan kesenjangan distribusi pendapatan yang bisa lahir dari upaya tersebut.
Perdagangan pangan
Lebih lanjut, pendekatan ketahanan pangan dan gizi nasional tidak bisa hanya berbasis produksi, tetapi juga harus berbasis perdagangan. Perdagangan pangan di Indonesia pada 2019 sebesar 255 miliar dollar AS atau Rp 3.700 triliun dari total nilai perdagangan dalam negeri. Adapun total ekspor produk pangan pada 2019 sebesar 17,9 miliar dollar AS dari total nilai ekspor Indonesia.
”Artinya, perdagangan pangan 10 kali lebih besar nilainya daripada perdagangan ekspor. Jadi, kita boleh saja memperhatikan ekspor, tetapi kita jangan sampai lupa dengan perdagangan dalam negeri,” kata Bayu.
Menurut dia, pasar pangan harus dilihat secara total, pasar lokal, regional, dan global. Perhatian yang terlalu tersita pada perdagangan internasional akan membuat Indonesia semakin rentan menghadapi fluktuasi pasar global sebagaimana yang sekarang terlihat pada negara-negara yang porsi perdagangan internasionalnya besar.
”Kalau terlalu besar, kita berisiko terkena ketidakpastian pasar global. Kalau terlalu kecil, kita bisa kehilangan peluang pasar global, mencari titik temu di antara kedua ini menjadi seni pengambilan keputusan yang penting,” ujar Bayu.
Di sisi lain, produksi sejumlah komoditas pangan yang belum memadai membuat impor tidak terelakkan. Direktur Utama PT Garudafood Putra Putri Jaya Tbk Hardianto Atmadja mengatakan, pada 2018, produksi kacang terbesar di dunia adalah China, India, Amerika Serikat. Meski makanan tradisional di Indonesia banyak yang memakai bumbu dasar kacang, seperti gado-gado, pecel, dan sate, Indonesia masih mengimpor kacang dari luar negeri karena keterbatasan produksi.
"Seperti di Garuda, untuk produksi kacang kulit, itu kami masih murni memakai produk dalam negeri, tetapi kalau sudah kacang kupas, itu ada yang diimpor dari negara lain," katanya.
Hal yang sama juga terlihat untuk komoditas kakao. Ia mengatakan, produksi kakao dalam negeri berkurang, sementara kapasitas produksi pabrik coklat terus bertambah. "Ini menunjukkan, pabrik-pabrik Indonesia masih harus mengimpor bahan baku dari luar negeri untuk memproduksi," katanya.