Pemprov dan Nelayan Maluku Tolak Alat Tangkap ”Perusak”
Pemerintah Provinsi Maluku menolak rencana Menteri KKP Edhy Prabowo melegalkan alat tangkap tak ramah lingkungan. Sementara nelayan sempat mulai mengusir kapal yang menggunakan alat tangkap itu.
Oleh
FRANSISKUS PATI HERIN
·4 menit baca
AMBON, KOMPAS — Pemerintah Provinsi Maluku dengan tegas menolak rencana Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo yang akan melegalkan penggunaan pukat cantrang dan alat tangkap lainnya yang tak ramah lingkungan. Sementara para nelayan lokal menyatakan tidak akan segan-segan mengusir kapal yang menggunakan alat tangkap tersebut.
”Itu pasti kami tolak,” ucap Kepala Bidang Perikanan Tangkap Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Maluku Ahmad Umarella lewat sambungan telepon kepada Kompas, Kamis (5/11/2020). Dia menambahkan, ”Kami tidak mengizinkan (penggunaan alat tangkap tak ramah lingkungan), mungkin yang mengizinkan orang Jakarta (Kementerian Kelautan dan Perikanan).”
Seperti yang diberitakan sebelumnya, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) sedang merevisi 18 peraturan di lingkup sektor perikanan tangkap yang dinilai menghambat dunia usaha. Revisi untuk mendorong investasi itu, antara lain, berujung pada melegalkan penggunaan delapan jenis alat penangkapan ikan.
Alat tangkap itu berupa pukat hela dasar (trawl) udang, payang, serta cantrang dan sejenisnya yang tergolong pukat tarik (seine nets). Ada juga alat tangkap pancing berjoran, pancing cumi mekanis, huhate mekanis, pukat cincin pelagis kecil, dan pukat cincin pelagis besar dengan dua kapal (Kompas, 23/7/2020).
Larangan alat tangkap itu tertuang dalam Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 71 Tahun 2016 tentang Jalur Penangkapan Ikan dan Penempatan Alat Penangkapan Ikan di Wilayah Pengelolaan Perikanan RI. Meskipun belum dicabut secara resmi, sejumlah kapal yang menggunakan alat tangkap dimaksud sudah beroperasi kembali di Maluku.
Sejumlah nelayan yang beroperasi di perairan Maluku, seperti Laut Banda, Laut Seram, dan Laut Arafura, sering mendapati kapal berukuran di atas 30 gros ton yang menggunakan alat tangkap tak ramah lingkungan. Kapal besar itu juga diikuti kapal penampung sehingga terjadi bongkar muat ikan di tengah laut. Kondisi ini terjadi satu tahun belakangan atau periode kedua kepemimpinan Presiden Joko Widodo.
Di Laut Seram, misalnya, pada September lalu, nelayan dari Desa Kawa, Kabupaten Seram Bagian Barat, memotong tali kapal ikan yang menggunakan alat tangkap cantrang. Kapal itu mengambil ikan dari rumpon yang dipasang oleh perusahaan pemilik kapal tersebut. Keberadaan rumpon beserta kapal meresahkan nelayan lokal karena hasil tangkapan mereka terus menurun.
Ahmad kembali menegaskan, penggunaan alat tangkap tak ramah lingkungan untuk ukuran kapal di bawah 30 gros ton yang menjadi kewenangan pemerintah provinsi (pemprov) tidak akan diizinkan. Mengenai temuan nelayan lokal itu, ia berjanji akan melakukan patroli pengawasan. Selain pemerintah daerah, patroli juga menjadi tanggung jawab beberapa instansi, seperti KKP, TNI Angkatan Laut, dan polisi perairan.
Pengajar Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Pattimura, Ambon, Mesudin Sengaji, sangat menyesalkan beroperasinya kapal dengan alat tangkap tak ramah lingkungan. ”Sumber daya ikan yang sudah dijaga dengan baik kembali dikuras. Kita mengalami kemunduran, dan ini menjadi tanggung jawab pemerintah pusat,” ujarnya.
Menurut Mesudin, tidakan nelayan memotong tali kapal harus dipahami sebagai bentuk perjuangan mereka dalam menjaga sumber daya perairan yang selama ini menjadi sandaran hidup. Tindakan itu juga dapat dianggap sebagai kegagalan pemerintah melindungi nelayan kecil dan juga bentuk protes kepada pemerintah yang dianggap lebih mendukung kepentingan korporasi besar.
Maluku merupakan daerah di Indonesia yang kaya akan potensi ikan. Perairan Maluku masuk ke dalam tiga Wilayah Pengelolaan Perikanan RI dengan potensi 4,6 juta ton per tahun. Jumlah itu setara dengan 36,8 persen dari potensi nasional sebesar 12,5 juta ton per tahun.
Syamsul Sia, Ketua Kelompok Nelayan Desa Kawa, Pulau Seram, menegaskan, beroperasinya kapal dengan penggunaan alat tangkap tak ramah lingkungan merupakan bagian dari pembiaran oleh pemerintah. Ia dan nelayan lokal lainnya tidak akan berhenti melakukan perlawanan demi menjaga potensi sumber daya ikan di daerah itu.
Dalam catatan Kompas, berkurangnya ikan di perairan itu menyebabkan waktu nelayan melaut, yang semula paling lama 14 jam, menjadi lebih dari 24 jam dengan hasil tangkapan tak menentu. Biaya kebutuhan bahan bakar dan makanan pun membengkak hingga Rp 700.000. Nelayan sering kali merugi karena hasil tangkapan tidak sebanding dengan biaya yang dikeluarkan.