Meredam Riak di Kapal Nelayan Kecil
Berdasarkan Pasal 56 UNCLOS, Indonesia berdaulat untuk mengelola sumber daya kelautan, baik yang hidup maupun yang tidak hidup, di ZEE
Setelah puluhan tahun melaut, Andahar (42), nelayan di Kabupaten Kepulauan Anambas, Kepulauan Riau, merasakan ketenangan ketika kapal-kapal asing tidak lagi terlihat di daerah ia dan nelayan tradisional lainnya bekerja mencari ikan.
Walaupun hanya bermodal kapal 2 gross tonage (GT) sewaan, ia mengaku bersyukur karena beberapa tahun lalu hasil tangkapannya cukup baik. Namun, ketenangan itu sirna ketika tahun ini ia kembali sering menemui kapal asing memasuki perairan di wilayah kepulauan tersebut.
Kepada Kompas di Jakarta, Rabu (28/10/2020), ia sempat membagikan video berdurasi 44 detik yang memperlihatkan dua kapal berkapasitas besar hampir berpapasan dengan kapal tempat video diambil.
”Hampir setiap kami melaut, kami ketemu kapal ikan asing di perairan Anambas, tidak lebih dari 30 mil dari pulau terdekat,” tuturnya saat dihubungi Kompas di Jakarta. Ia mengatakan, kapal ikan asing yang kerap ia dan nelayan lokal lainnya temui berasal dari Vietnam.
Sementara itu, ia kerap membawa kapalnya yang hanya dipersenjatai pancing ulur melaut puluhan mil lebih jauh dari pantai terdekat. Hal itu disebabkan hasil tangkapan yang rata-rata berkurang. Jika dalam lima hari melaut ia biasa menangkap 100 kilogram (kg) ikan. Kini, rata-rata ia hanya mampu mendapatkan 70 kg.
Dalam situasi tersebut, Andahar berharap bisa mendapatkan bantuan kapal agar mata pencariannya lebih terjamin dan penghasilannya tidak lagi bergantung pada sistem bagi untung. Lebih dari itu, ia juga berharap banyak pemerintah bisa mengusir kapal-kapal asing yang dikhawatirkan mengurangi hasil tangkapan nelayan kecil.
”Harapan kami nelayan kecil kepada pemerintah, tolong usir kapal-kapal asing yang beroperasi di laut kami, Anambas, dan tolong perhatikan nasib nelayan kecil seperti kami. Kami ingin sekali pemerintah bisa membantu kami, layaknya nelayan-nelayan di daerah lain,” katanya.
Tidak hanya ancaman kapal asing, Andahar dan nelayan lainnya juga terancam kapal-kapal ikan dari pantai utara Jawa yang menggunakan cantrang atau trawl, yang bisa merusak ekosistem laut.
Kedatangan mereka bermula dari kebijakan Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan yang memobilisasi kapal dari daerah tersebut untuk mengisi kekosongan dan menghalau kapal asing di Laut Natuna Utara, yang berbatasan dengan Kepulauan Anambas (Kompas, 4/9/2020).
Pencurian
Pemerintah pusat di bawah Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), yang dikepalai Edhy Prabowo, setahun terakhir masih menjadikan pemberantasan kapal pencuri ikan sebagai prioritas.
Kebijakan itu meneruskan langkah Menteri KKP sebelumnya, Susi Pudjiastuti, yang telah menindak 500 kapal pencuri ikan selama kepemimpinannya di 2014-2019.
Sejak Edhy menjabat pada akhir Oktober 2019 sampai 22 Oktober 2020, KKP melaporkan 74 kapal pencuri ikan telah ditindak. Selama Januari-Mei 2020, angka kapal yang ditindak menyentuh angka 53 unit, mayoritas berasal dari dalam negeri dan Vietnam.
Mengutip buku Laut Masa Depan Bangsa: Transformasi Kelautan & Perikanan 2014-2019 (2019), pencurian ikan yang marak terjadi sejak awal tahun 2000-an telah mengorbankan profesi nelayan dan industri perikanan. Mereka tidak mampu bersaing karena terbatasnya teknologi dan ukuran kapal, serta sumber daya perikanan yang banyak terkuras keluar.
Persaingan tersebut membuat profesi nelayan sulit ditinggalkan. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) 2003-2013, jumlah rumah tangga nelayan turun dari 1,6 juta menjadi hanya sekitar 800.000, lebih sedikit dari jumlah nelayan tahun lalu yang diperkirakan lebih dari 2 juta. Tidak hanya itu, 115 perusahaan nasional juga gulung tikar karena tidak mendapat pasokan ikan langsung.
Pemberantasan pencurian ikan oleh Menteri KKP saat ini diikuti perubahan kebijakan penindakan kapal. Kapal pencuri ikan akan dihibakan kepada nelayan lokal, sementara koordinasi dengan aparat dan lembaga terkait dilakukan untuk membuat nelayan asing jera.
Sementara, pada periode sebelumnya, kapal perikanan yang berbendera asing ditindak secara khusus berupa pembakaran dan/atau penenggelaman berdasarkan bukti permulaan yang cukup (Undang-Undang 45 Tahun 2009).
Riak baru
Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Kerja yang tinggal disahkan Presiden RI untuk menjadi Undang-Undang (UU) juga bisa mengubah banyak kebijakan, yang memperbesar riak yang melawan biduk nelayan kecil.
Salah satu yang muncul adalah perizinan berusaha kapal penangkap ikan berbendera asing, terkait perubahan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan juncto Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009.
Dalam Pasal 27 RUU Cipta Kerja (draf versi 812 halaman), kapal penangkapan ikan berbendera asing yang melakukan penangkapan ikan di zona ekonomi eksklusif (ZEE) Indonesia wajib memiliki perizinan berusaha dari pemerintah pusat.
CEO dan Pendiri Indonesia Ocean Justice Initiative (IOJI) Mas Achmad Santosa, dalam keterangan tertulis 29 Oktober 2020, mengatakan, pengelolaan perikanan di ZEE wajib dilaksanakan dengan mengacu pada ketentuan the United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS), yang diratifikasi melalui UU Nomor 17 Tahun 1985.
Berdasarkan Pasal 56 UNCLOS, Indonesia berdaulat untuk mengelola sumber daya kelautan, baik yang hidup maupun yang tidak hidup, di ZEE. Atas dasar itu, tidak semua kekuasaan negara dapat berlaku dan dilaksanakan di ZEE.
”Meskipun Indonesia tidak membuka akses sumber daya ikannya di ZEE bagi pihak asing, ancaman pencurian ikan oleh kapal ikan asing di berbagai wilayah pengelolaan perikanan, khususnya yang berbatasan dengan negara lain dan/atau laut lepas sudah sangat tinggi,” katanya.
Membuka akses bagi kapal ikan asing juga akan memperburuk situasi tersebut, kata Mas Achmad. Terlebih, anggaran untuk pengawasan di laut berkurang akibat realokasi APBN untuk penanganan Covid-19.
”Pembangunan perekonomian perikanan Indonesia perlu difokuskan dengan memberdayakan sumber daya yang ada di dalam negeri agar kesejahteraan dapat dirasakan langsung oleh rakyat Indonesia,” pungkasnya.
Kekhawatiran lain yang ditimbulkan RUU Cipta Kerja ada di Pasal 27, yang menghapuskan ketentuan pada UU Perikanan yang mewajibkan kapal perikanan berbendera asing yang menangkap ikan di ZEE menggunakan anak buah kapal (ABK) berkewarganegaraan Indonesia paling sedikit 70 persen dari jumlah ABK.
Selain itu, mengubah definisi nelayan kecil, yakni tanpa batas ukuran kapal. Nelayan kecil didefinisikan sebagai mata pencarian penangkapan ikan untuk kebutuhan hidup sehari-hari, baik yang menggunakan maupun yang tidak menggunakan kapal penangkap Ikan.
Peneliti dan Kepala Riset Pusat Kajian Pembangunan Kelautan dan Peradaban Maritim, Suhana, berpendapat, hilangnya definisi nelayan kecil akan meningkatkan persaingan dengan nelayan yang bermodal besar. Berdasarkan UU Nomor 7 Tahun 2016, yang disebut nelayan kecil ketika memiliki kapal maksimal 10 GT.
”Dari data izin kapal ukuran 30-100 GT, 64,52 persennya berstatus perseorangan. Harga kapal 100 GT itu bisa miliaran. Jadi, kebijakan ini akan mengancam nelayan kecil karena harus bersaing dengan nelayan besar,” katanya saat dihubungi Kompas.
Persaingan itu bisa membuat nelayan kecil kesulitan mengakses berbagai bantuan dari pemerintah, sepeti bahan bakar, asuransi, dan alat tangkap. Oleh karena itu, ia berpendapat, pemerintah harus menjamin bahwa kebijakan yang dikeluarkan mendorong keberlanjutan sumber daya kelautan dan perikanan, demikian juga sumber daya manusianya.
”Sehubungan dengan hal itu, pemerintah harus menjamin kebutuhan gizi masyarakat dan jangan sampai ada eksploitasi besar-besaran,” pungkasnya.