Bantuan sosial yang dinikmati masyarakat meningkatkan konsumsi makanan dan minuman. Situasi ini memacu inflasi pada Oktober 2020.
Oleh
ERIKA KURNIA
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Masyarakat yang telah mendapatkan program bantuan sosial dari pemerintah selama masa pandemi masih memprioritaskan memenuhi kebutuhan dasar, khususnya kebutuhan pangan. Tidak heran kelompok kebutuhan pangan berandil pada inflasi di Oktober 2020.
Sejak April 2020, keluarga Ema Rahmawati (53), di Kebayoran Lama, Jakarta Selatan, telah menikmati bantuan sembako dari Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta. Dua kali sebulan, ia dan keluarga mendapat paket berisi beberapa kebutuhan dasar untuk rumah tangga, seperti dua karung beras 5 kg, minyak goreng, terigu, bihun, kecap, sarden kaleng, mi instan, dan camilan.
Bagi Ema dan suaminya yang pensiunan, kebutuhan itu cukup mengurangi pengeluaran untuk kebutuhan memasak makanan mereka dan dua anaknya yang masih bersekolah. Kendati demikian, Ema yang sebelum pandemi biasa berjualan jajanan anak di sekolah dasar kini masih memiliki keterbatasan penghasilan.
”Beberapa bulan ini, sih, coba buka usaha kecil-kecilan di rumah. Penghasilannya enggak sebesar kalau jualan di kantin sekolah. Jadi, ya, penghasilan kita untuk keperluan yang penting-penting saja,” katanya, Selasa (3/11/2020).
Pendapatan dari usahanya kini pun hanya terbatas untuk memenuhi kebutuhan belanja makanan harian dan keperluan rumah tangga lainnya. Sementara, uang pensiun sang suami masih dipertahankan untuk ditabung, sebagai dana darurat.
Ia hanya berharap pandemi cepat reda agar ia kembali bisa menjalankan usaha dan mampu memiliki penghasilan lebih untuk memenuhi keinginan yang tertunda.
Warga Matraman, Jakarta Timur, Gustini (46), juga menjadi penerima bantuan sosial dalam bentuk sembako dari Pemprov DKI Jakarta. Ibu rumah tangga, yang tinggal dengan seorang suami dan tiga anak, itu mengatakan, sembako yang ia dapatkan masih belum bisa memperbesar pengeluaran di luar kebutuhan pokok.
”Penghasilan suami yang jadi teknisi kontrak cuma bisa untuk beli makan dan kasarnya nabung di WC aja. Apalagi, sejak anak-anak lebih banyak waktu di rumah. Uang lebih banyak habis untuk keperluan dasar, seperti makan, listrik, air, pulsa,” tuturnya.
Di tengah pandemi yang masih berkembang, keluarga Gustini juga tidak terlalu memprioritaskan kebutuhan hiburan, seperti mencari hiburan di mal atau liburan keluar kota, yang sering mereka lakukan di masa normal.
Memenuhi kebutuhan dasar juga jadi kemampuan Didi (38), perantau yang baru beberapa bulan lalu mendapat pekerjaan tetap, setelah menganggur dari pekerjaan sebelumnya sebagai fotografer lepas.
Pada awal Oktober lalu, ia pernah juga mendapat bantuan langsung tunai untuk pelaku budaya senilai Rp 1 juta dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Bantuan yang ia ajukan sejak April itu hanya diterima sekali setelah pengajuan dikabulkan.
”Bantuannya habis buat biaya harian saja, sih. Paling boros buat makan,” tutur pria yang berdomisili di Jakarta Selatan tersebut.
Dengan statusnya yang kini tidak lagi menganggur, ia berharap penghasilan dari pekerjaannya kini bisa mengurangi ketergantungan pada bantuan pemerintah dan ikut meningkatkan konsumsi.
Situasi yang dialami sebagian kecil masyarakat Jakarta tersebut juga tergambar dalam data inflasi bulanan Indonesia, yang bisa mengindikasikan kenaikan atau penurunan permintaan dan konsumsi.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, secara bulanan, pada Oktober lalu terjadi inflasi sebesar 0,07 persen. Angka itu lebih baik daripada sebelumnya yang deflasi selama tiga bulan berturut-turut. Pada Juli 2020, indeks harga konsumsi -0,10 persen, Agustus -0,05 persen, lalu September -0,05 persen.
Berdasarkan kelompok pengeluaran, kenaikan dipicu kebutuhan makanan, minuman, dan rokok yang mengalami inflasi 0,29 persen degan andil 0,07 persen. Diikuti penyediaan makanan dan minuman/restoran dengan andil 0,02 persen; kesehatan serta pakaian dan alas kaki yang masing-masing berandil 0,01 persen.
Sementara itu, tujuh kelompok pengeluaran lainnya tidak menyumbang inflasi atau alami deflasi. Contohnya, kelompok transportasi yang berandil negatif 0,02 persen pada inflasi dan perawatan pribadi dan jasa lainnya minus 0,01 persen.
”Komoditas yang dominan memberikan andil inflasi adalah cabai merah dengan andil 0,09 persen, kemudian bawang merah andil inflasi 0,02 persen, dan minyak goreng 0,09 persen,” tutur Kepala BPS Suhariyanto dalam video konferensi pers di Jakarta, Senin (2/11/2020).
Melihat data tersebut, Guru Besar Fakultas Ekonomi Universitas Brawijaya Candra Fajri Ananda berpendapat, program bantuan sosial minimal dapat memenuhi kebutuhan dasar masyarakat.
Agar mendongkrak konsumsi, pemerintah daerah dapat berinisiatif menambahkan nominal bantuan yang disalurkan sesuai dengan karakteristik perekonomian wilayah dan anggarannya (Kompas, 3/11/2020).
”Pemerintah sebaiknya mengevaluasi program bantuan sosial yang disalurkan dalam kerangka pemulihan ekonomi nasional agar dapat mendongkrak daya beli masyarakat. Penerima semestinya juga diperluas hingga menyentuh kelompok 20 persen menengah,” katanya.
Ia juga berpendapat, pemerintah daerah dapat berinisiatif menambahkan nominal bantuan yang disalurkan sesuai dengan karakteristik perekonomian wilayah dan anggarannya.
Di sisi lain, faktor lain yang memengaruhi kenaikan harga kelompok bahan pangan juga bisa memicu inflasi di masa mendatang. Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Rusli Abdullah, mengingatkan agar faktor itu ikut diwaspadai, terlebih di tengah cuaca yang terus-menerus hujan akibat La Nina.
”Pergerakan harga pangan hortikultura patut diwaspadai. Komoditas ini tak tahan lama dalam kondisi lembab sehingga perlu disokong kelancaran distribusi untuk dapat sampai ke konsumen dengan kualitas terjaga,” katanya.
Pusat Informasi Harga Pangan Strategis mencatat, rata-rata nasional harga bawang merah di pasar tradisional pada awal September 2020 sebesar Rp 30.600 per kilogram, sedangkan pada akhir Oktober 2020 mencapai Rp 33.200 per kg. Harga cabai merah juga naik dari Rp 29.400 per kg menjadi Rp 43.000 per kg.