BPS mencatat, inflasi inti secara tahunan cenderung turun sejak Maret 2020, yakni dari 2,87 persen menjadi 1,74 persen. Situasi itu dinilai mencerminkan daya beli masyarakat yang belum terangkat di tengah pandemi.
Oleh
M Paschalia Judith J
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kendati indeks harga konsumsi pada Oktober 2020 meningkat dibandingkan bulan sebelumnya atau terjadi inflasi sebesar 0,07 persen, daya beli masyarakat belum terungkit. Hal ini tampak dari pergerakan inflasi inti yang cenderung menurun.
Inflasi inti merupakan komponen inflasi yang cenderung menetap atau persisten di dalam pergerakan inflasi dan dipengaruhi oleh faktor fundamental, seperti interaksi permintaan-penawaran serta lingkungan eksternal seperti nilai tukar, harga komoditas internasional, dan inflasi mitra dagang.
Badan Pusat Statistik (BPS) memublikasikan, inflasi inti pada Oktober 2020 sebesar 0,04 persen, lebih rendah dibandingkan posisi September 2020 yang mencapai 0,13 persen. Dalam rangkaian data yang dibandingkan dengan tahun sebelumnya pada bulan sama, inflasi inti pada Oktober 2020 tercatat 1,74 persen dan berada kecenderungan yang terus menurun sejak Maret 2020 yang tercatat 2,87 persen.
Mengenai pergerakan inflasi inti tersebut, Kepala BPS Suhariyanto dalam konferensi pers, Senin (2/11/2020), menyatakan, daya beli kelompok penduduk 40 persen terbawah terdampak karena pendapatannya berkurang.
Kelompok 40 persen menengah dan 20 persen teratas cenderung menahan belanjanya. Oleh sebab itu, pergerakan inflasi inti yang cenderung merosot menunjukkan belum pulihnya daya beli masyarakat.
Senada dengan hal itu, Guru Besar Fakultas Ekonomi Universitas Brawijaya Candra Fajri Ananda menilai, daya beli masyarakat belum terangkat. Kecenderungan kelompok 40 persen menengah menahan belanja dapat terlihat dari peningkatan penghimpunan dana pihak ketiga oleh perbankan. Kelompok ini khawatir pandemi masih berlanjut hingga 2021 sehingga memilih untuk menabung.
Statistik Perbankan Indonesia Otoritas Jasa Keuangan per Juli 2020 mencatat, jumlah dana pihak ketiga yang dihimpun bank umum mencapai Rp 6.308,12 triliun. Nilai ini lebih tinggi dari posisi bulan sebelumnya sebesar Rp 6.260,4 triliun.
Fajri menyatakan, pemerintah sebaiknya mengevaluasi program bantuan sosial yang disalurkan dalam kerangka pemulihan ekonomi nasional agar dapat mendongkrak daya beli masyarakat. Penerima pun semestinya diperluas hingga menyentuh kelompok 20 persen menengah.
Program bantuan sosial itu minimal dapat memenuhi kebutuhan dasar masyarakat. Dalam hal ini, pemerintah daerah dapat berinisiatif menambahkan nominal bantuan yang disalurkan sesuai dengan karakteristik perekonomian wilayah dan anggarannya.
Selain itu, program bantuan sosial dari pemerintah mesti disertai dengan kemandirian ekonomi yang berporos pada geliat usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM). ”Upayakan masyarakat membeli produk-produk UMKM di wilayah sekitarnya sehingga peredaran uang dapat berputar di daerah tersebut,” ujarnya saat dihubungi, Senin.
Dari segi pengeluarannya, kelompok makanan, minuman, dan tembakau mengalami inflasi 0,29 persen dan memiliki andil 0,07 persen. Komoditas penyumbang inflasi dari kelompok tersebut ialah bawang merah dan cabai merah.
Di tengah cuaca yang terus-menerus hujan akibat La Nina, peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Rusli Abdullah, menilai, pergerakan harga pangan hortikultura patut diwaspadai. Komoditas ini tak tahan lama dalam kondisi lembab sehingga perlu disokong kelancaran distribusi untuk dapat sampai ke konsumen dengan kualitas terjaga.
Pusat Informasi Harga Pangan Strategis mencatat, rata-rata nasional harga bawang merah di pasar tradisional pada awal September 2020 sebesar Rp 30.600 per kilogram, sedangkan pada akhir Oktober 2020 mencapai Rp 33.200 per kg. Harga cabai merah juga naik dari Rp 29.400 per kg menjadi Rp 43.000 per kg.