Kesejahteraan nelayan pada 2020 kembali terpuruk, selain dampak pandemi Covid-19, penggunaan ”trawl” dan cantrang turut berimbas pada kesejahteraan nelayan, bahkan mengancam keberlanjutan ekosistem kelautan.
Oleh
SHARON PATRICIA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Dalam lima tahun terakhir, kesejahteraan nelayan menunjukkan perbaikan tetapi kembali terpuruk pada 2020. Selain dampak dari pandemi Covid-19, penggunaan trawl atau pukat harimau dan alat tangkap cantrang dinilai turut berimbas pada kesejahteraan nelayan kecil.
Badan Pusat Statistik mencatat, nilai tukar nelayan (NTN) dari rentang periode 2015 hingga 2019 pada bulan September terus meningkat, mulai dari 106,6, 109,23, 111,68, 114,69, hingga 114,79.
Namun pada September 2020, NTN turun menjadi 100,72 meski ada perbaikan dibandingkan bulan sebelumnya sebesar 100,38. Besaran NTN yang lebih dari 100 mengindikasikan, pendapatan nelayan lebih tinggi dari indeks harga yang dibayar nelayan.
Meski berada di atas angka 100, nelayan mengaku kondisi melaut saat ini semakin sulit, terlebih di tengah pandemi Covid-19. Dalam survei yang dilakukan Koalisi Ketahanan Usaha Perikanan Nelayan, ditemukan adanya penurunan volume penjualan hasil tangkapan yang berdampak pada penurunan pendapatan.
Hasil survei menunjukkan, terjadi penurunan volume penjualan hasil tangkapan sebesar 21 persen. Sebelum Covid-19, persentase keseluruhan tangkapan yang terjual mencapai 93 persen, tetapi sekarang menurun menjadi 72 persen.
Sebagian besar dari responden (90 persen) juga mengalami penurunan pendapatan di masa pandemi. Mayoritas responden merupakan nelayan kecil tradisional.
Survei dilakukan pada Mei hingga Juni 2020 di lima kampung nelayan, yakni Aceh, Medan, Semarang, Gresik, dan Lombok Timur. Ada 2.068 responden dan 200 auditor yang terlibat dalam survei ini.
Achmad Dany (23), nelayan di Desa Gedongmulyo, Kecamatan Lasem, Rembang, Jawa Tengah, menceritakan, sudah tiga bulan terakhir dirinya jarang melaut. Tidak balik modal menjadi alasan yang logis baginya yang memutuskan tidak melaut setiap hari.
Sekali melaut, Dany menjelaskan, butuh setidaknya 10-20 liter solar untuk mengoperasikan perahu berukuran 3 meter x 7 meter. Dengan biaya Rp 5.700 per liter, artinya butuh modal hingga Rp 114.000 untuk pulang pergi dalam satu hari.
Sementara hasilnya, hanya diperoleh sekitar 2 kilogram cumi-cumi dan rajungan dari keadaan normal bisa menjaring hingga 10 kilogram. Harga pun dikatakan turun drastis dari Rp 80.000 per kilogram kini hanya Rp 25.000 per kilogram.
”Untuk daerah Rembang ini sudah susah mencari ikan, apalagi ikan-ikan kecil dan terumbu karang hancur semua karena trawl. Ditambah sekarang ada pandemi, harga turun banyak dan enggak sebanding dengan modal,” ujarnya yang sudah menjadi nelayan sejak 2015.
Selain menangkap ikan-ikan kecil dan merusak terumbu karang, penggunaan trawl juga sering kali merusak jaring milik nelayan, termasuk Dany. Menurut dia, meski dijanjikan akan diganti, sampai sekarang tidak dilakukan.
Para pengguna trawl, kata Dany, sebenarnya juga merupakan nelayan tetapi berasal dari desa lain. Akibatnya, nelayan di Desa Gedongmulyo juga mulai banyak yang menganggur dan beralih profesi, serta berpindah ke Kabupaten Jepara untuk melaut di sana.
Dany pun sempat beralih menjadi petambak garam untuk menyambung hidup. Namun, ia tetap menghadapi hambatan dengan harga jual yang rendah sekitar Rp 300 per kilogram serta mulai memasuki musim hujan.
Larang penggunaan cantrang
Dalam waktu dekat, pemerintah akan mengesahkan revisi Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan tentang usaha penangkapan ikan untuk mendorong investasi. Dalam revisi itu, beberapa alat tangkap ikan yang sebelumnya dilarang dalam Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 71 Tahun 2016, termasuk cantrang, akan diizinkan untuk digunakan lagi.
Sebelumnya, Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo meminta pihak-pihak yang tidak setuju dengan rencana legalisasi cantrang untuk memberikan masukan secara langsung kepadanya. Menurut dia, legalisasi cantrang dilakukan untuk menyejahterakan nelayan.
”Setiap keputusan itu harus ada jawabannya, boleh atau tidak. Kalau tidak boleh, apa yang perlu diperbaiki? Kalau boleh, masyarakat bisa segera berusaha. Jadi bukan digantung begitu saja,” kata Edhy (Kompas, 7 Juli 2020).
Direktur Pengelolaan Sumber Daya Ikan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) Trian Yunanda juga berdalih. Menurut dia, selama ini alat tangkap perikanan cantrang masih tetap bisa beroperasi berbekal surat keterangan melaut (Kompas, 22 Juli 2020).
Secara terpisah, peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Rusli Abdullah, menyampaikan, penggunaan trawl, alat tangkap cantrang, dan sejenisnya yang tergolong pukat tarik sering kali tetap dilakukan dengan alasan tidak ada tambahan biaya variabel. Berbeda dengan menjaring secara tradisional yang membutuhkan lebih banyak nelayan dan waktu lebih lama.
”Tetapi alasan ini tetap tidak dapat dibenarkan. Penggunaan baik pukat harimau maupun cantrang harus tetap dilarang karena membunuh ikan-ikan kecil yang berpotensi untuk tumbuh dan bertelur serta merusak keberlanjutan ekosistem lautan,” ujarnya.
Perlu ada kajian yang komprehensif untuk lebih mengefektifkan penangkapan ikan dengan cara yang aman bagi ekosistem laut. Kolaborasi antarpemangku kepentingan pun penting dilakukan untuk memberdayakan nelayan dan memberi kepastian penyerapan hasil tangkap.
Penerapan zonasi wilayah tangkap bagi nelayan yang disesuaikan dengan besaran kapal, kata Rusli, dapat menjadi salah satu pilihan. Kebijakan ini untuk memberikan level playing field bagi nelayan kecil sampai besar, bukan berarti memberikan kesempatan yang sama tetapi bekerja dalam aturan yang sama.