Teknologi dan Letak Geografis Pengaruhi Daya Tahan Rantai Pasok
Dalam peralihan rantai pasok global, regional Asia memiliki potensi tinggi ditinjau dari faktor kedekatan geografis. Sebab, ekosistem manufaktur bisa menekan biaya logistik.
Oleh
M Paschalia Judith J
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pandemi Covid-19 menguji daya tahan rantai pasok industri. Agar berdaya tahan, pelaku mesti mempercepat peralihan pola industri, yakni memanfaatkan teknologi dan mendekatkan jarak produksi dengan permintaan atau konsumen.
Senior Partner McKinsey&Company Matteo Mancini memaparkan, berdasarkan data yang dihimpun, 93 persen pemimpin rantai pasok global hendak meningkatkan daya tahan. ”Pelaku usaha mesti memikirkan peralihan rantai pasok global yang berorientasi pada kedekatan antara permintaan dan produksi ketika menghadapi disrupsi,” katanya dalam Industrial Transformation Asia-Pacific 2020 (a Hannover Messe Event) yang diadakan secara virtual, Selasa (20/10/2020).
Peralihan rantai pasok tersebut dapat menimbulkan keseimbangan ulang aliran perdagangan dunia dalam lima tahun mendatang. Nilainya dapat mencapai 2,9 triliun dollar AS hingga 4,6 triliun dollar AS.
Menurut Matteo, dalam peralihan rantai pasok global, kawasan Asia memiliki potensi tinggi dari sisi kedekatan geografis. Kondisi ini memungkinkan perusahaan menjaga kedekatan dengan permintaan konsumen sekaligus membentuk ekosistem manufaktur yang bisa menekan biaya logistik.
Pertumbuhan permintaan Asia juga menopang potensi tersebut. Menurut data yang dipaparkan, pada 2000-2017, perdagangan di dalam kawasan Asia meningkat empat kali lipat, sedangkan perdagangan dunia meningkat 2,8 kali lipat. Oleh karena itu, komposisi permintaan Asia terhadap konsumsi dunia pada 2040 diprediksi mencapai 40 persen, naik dari posisi saat ini 28 persen.
Kawasan Asia memiliki potensi tinggi dari sisi kedekatan geografis.
Sementara itu, Presiden Singapore Manufacturing Federation Douglas Foo berpendapat, negara-negara di kawasan Asia Tenggara dapat memanfaatkan Masyarakat Ekonomi ASEAN sebagai ekosistem manufaktur regional. Pemanfaatan Masyarakat Ekonomi ASEAN dan kawasan perdagangan bebas ASEAN dapat menopang daya tahan rantai pasok melalui kolaborasi dalam penerapan Revolusi Industri 4.0 serta merundingkan keseimbangan permintaan dan penawaran.
Menanggapi hal tersebut, Wakil Ketua Umum Bidang Hubungan Internasional Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Shinta Widjadja Kamdani menilai, saat ini AEC menjadi salah satu hub manufaktur yang dilirik dunia. Hal ini disebabkan tren diversifikasi pusat perindustrian yang akan terus berlangsung hingga pascapandemi Covid-19. Akan tetapi, Thailand dan Vietnam menjadi kawasan yang paling diuntungkan dalam situasi saat ini.
Indonesia berpotensi menjadi salah satu titik kumpul manufaktur di kawasan ASEAN yang mendongkrak ketahanan industri nasional. Kuncinya ada di daya saing Indonesia, baik dari segi iklim usaha maupun stabilitas pasar tenaga kerja.
Indonesia berpotensi menjadi salah satu titik kumpul manufaktur di kawasan ASEAN yang mendongkrak ketahanan industri nasional.
Minister of State for Digitalisation at the Federal Chancellery, Federal Republic of Germany, Dorothee Bär menyatakan, kawasan Asia merupakan salah satu penggerak vital implementasi Revolusi Industri 4.0. ”Pembatasan jarak sosial dan lockdown (karantina wilayah) mendorong pemanfaatan teknologi digital, khususnya Revolusi Industri 4.0. Hal ini turut mengubah batas-batas industri yang memengaruhi jaringan rantai nilai,” katanya saat pembukaan acara.
Pemanfaatan teknologi
Pergeseran rantai pasok global juga melibatkan pemanfaatan teknologi digital di tataran pelaku industri. Menurut Matteo, pandemi Covid-19 membuat sejumlah pelaku manufaktur mengakselerasi pemanfaatan teknologi Revolusi Industri 4.0.
Adopsi teknologi tersebut berfungsi untuk meninjau kerentanan dan mengurangi biaya dalam proses industri. Ia mencontohkan, salah satu bentuk adopsi teknologi Revolusi Industri 4.0 dalam manufaktur berupa sistem analisis otomatis dan proses audit jarak jauh. Dampaknya, biaya manufaktur dapat ditekan 7-15 persen.
Terkait dengan pemanfaatan teknologi di industri Indonesia, Shinta menyatakan, transformasi sumber daya manusia (SDM) menjadi kunci. SDM Indonesia merupakan aktor penting dan subjek dalam pemanfaatan teknologi. ”Untuk mendukung transformasi ini, Indonesia mesti memperkuat penelitian dan pengembangan teknologi secara mandiri. Sebab, adopsi teknologi akan mengubah investasi yang mengalir ke Indonesia dari padat karya menjadi padat modal,” tuturnya.