Petani dan Nelayan Berkeberatan dengan RUU Cipta Kerja
Perubahan sejumlah substansi undang-undang dalam RUU Cipta Kerja dinilai merugikan petani dan nelayan. Tak hanya usaha mereka, pelonggaran mengancam kedaulatan pangan.
Oleh
M Paschalia Judith J/Mukhamad Kurniawan
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sejumlah organisasi petani dan nelayan yang tergabung dalam Badan Musyawarah Tani dan Nelayan Indonesia menolak Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja. Selain dinilai menabrak beberapa putusan Mahkamah Konstitusi, sejumlah pasal RUU mengubah substansi undang-undang yang ada serta berpotensi melanggar hak petani, nelayan, dan orang-orang yang bekerja di perdesaan.
Ketua Umum Serikat Petani Indonesia (SPI) Henry Saragih, Jumat (16/10/2020), mengatakan, Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Kerja berimplikasi besar karena mengubah, menghapus, dan menambahkan pasal-pasal baru dalam peraturan perundang-undangan yang sudah ada.
Selain SPI, organisasi lain yang tergabung dalam Badan Musyawarah Tani dan Nelayan Indonesia adalah Aliansi Petani Indonesia (API), Wahana Masyarakat Tani dan Nelayan Indonesia (Wamti), Ikatan Petani Pengendalian Hama Terpadu Indonesia (IPPHTI), dan Serikat Nelayan Indonesia (SNI).
Menurut Henry, RUU Cipta Kerja secara nyata menabrak beberapa putusan Mahkamah Konstitusi (MK), seperti Pasal 30 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan. RUU Cipta Kerja mengabaikan Putusan MK Nomor 138/PUU-XIII/2015 yang, antara lain, memutuskan bahwa Pasal 30 UU No 39/2014 tidak berlaku bagi varietas hasil pemuliaan petani kecil dalam negeri untuk komunitas sendiri.
RUU Cipta Kerja juga mempermudah impor pangan karena mengubah, menghapus, atau menetapkan norma baru yang sebelumnya diatur dalam UU No 19/2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani serta UU No 18/2012 tentang Pangan. Pasal 32 RUU Cipta Kerja mengubah beberapa pasal krusial dalam UU Perlindungan dan Pemberdayaan Petani.
Dalam Pasal 15, misalnya, frasa ”mengutamakan produksi pertanian dalam negeri untuk memenuhi kebutuhan pangan nasional” dihilangkan, sementara larangan impor apabila ketersediaan dalam negeri cukup juga diubah sehingga impor jadi semakin longgar. Hal ini jelas berdampak pada petani dalam negeri.
Terkait peternakan, RUU Cipta Kerja juga mengubah pasal-pasal dalam UU No 41/2014 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan yang mengamanatkan pengutamaan produk dalam negeri, penciptaan nilai tambah di dalam negeri, serta kemitraan peternak dengan industri. Perubahan itu membuat peluang mendapatkan nilai tambah melalui usaha peternakan di dalam negeri makin berkurang.
Sekretaris Jenderal SNI Budi Laksana mengatakan, RUU Cipta Kerja membatalkan ketentuan UU No 45/2009 tentang Perikanan serta UU No 7/2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudidaya Ikan, dan Petambak Garam. ”Sebelumnya, nelayan kecil jadi prioritas dalam pemberdayaan dan keleluasaan para nelayan kecil mengakses sumber daya perikanan di wilayah Indonesia. Namun, UU Cipta Kerja mengubahnya,” ujarnya.
Terdampak impor
Perubahan dalam UU Pangan, menurut Guru Besar Fakultas Pertanian IPB University sekaligus Ketua Umum Asosiasi Bank Benih dan Teknologi Tani Indonesia Dwi Andreas Santosa, dapat melonggarkan impor yang memukul petani di dalam negeri.
”Sejak impor bawang putih dari China, yang harganya sepertiga produk lokal, dibuka tahun 1990-an, petani bawang putih tertekan. Sejak keran impor kedelai dari Amerika Serikat dibuka, petani kedelai nasional pun sekarat karena harus bersaing dengan produk yang harganya setengah dari ongkos produksi,” ujarnya dalam diskusi Hari Pangan Sedunia yang digelar Yayasan Bina Swadaya, Jumat (16/10/2020).
Masalah itu bersumber dari harga pangan impor yang lebih murah di tingkat konsumen dibandingkan dengan ongkos produksi petani di dalam negeri. Dia menduga ada mekanisme subsidi yang diterapkan oleh pemerintah negara pengekspor.
Secara terpisah, Kepala Biro Humas dan Informasi Publik Kementerian Pertanian Kuntoro Boga mengatakan, kebijakan pangan di Indonesia tetap mengacu pada Pasal 3 UU Pangan yang tidak diubah oleh RUU Cipta Kerja. Pasal itu berbunyi, penyelenggaraan pangan dilakukan untuk memenuhi kebutuhan dasar manusia yang memberikan manfaat secara adil, merata, dan berkelanjutan berdasarkan kedaulatan pangan, kemandirian pangan, dan ketahanan pangan.
Menurut dia, urutan kata pada pasal itu menunjukkan prioritas pemerintah. Artinya, pemerintah tetap mengutamakan produksi pangan dalam negeri sebagai sumber pemenuhan kebutuhan.
Boga menambahkan, kepentingan petani berkaitan dengan harga jual dan kesejahteraan. ”Contohnya, saat panen raya, tentu pemerintah tidak akan impor karena melihat ada kepentingan petani terhadap harga jual produknya yang harus tetap stabil. Dengan demikian, mereka bisa mendapatkan harga jual yang layak serta pendapatan yang memadai sebagai salah satu indikator kesejahteraan petani,” kata Boga melalui keterangan tertulis.
Kemerdekaan petani
Saat ini, Ketua Yayasan Bina Swadaya Bayu Krisnamurthi menilai, petani memiliki kreativitas dan inovasi dalam mengolah lahannya. Petani tidak harus bergantung pada pemerintah. Sebaliknya, tanpa adanya petani, tidak akan ada pangan.
Sementara itu, Guru Besar Antropologi Universitas Indonesia Yunita Triwardani Winarto menilai, terdapat pergeseran konsepsi di antara produsen dari ”petani merdeka” menjadi ”petani yang diatur pemerintah”. Petani merdeka dulu memiliki pemikiran, ”Saya bisa menentukan sendiri apa yang mau ditanam, kapan mau tanam, serta di mana dan bagaimana menanamnya. Meski hasilnya cuma 1-2 ton, hidup terasa tenang: habis tanam, tandur, memupuk, dan tinggal menunggu panen”.
Di sisi lain, petani saat ini umumnya berpikir, ”Sekarang semua diatur pemerintah: apa yang ditanam serta kapan, di mana, dan bagaimana menanam. Hasilnya bisa mencapai 5-7 ton, tetapi tidur tidak tenang. Kalau tidak ke sawah sehari saja, apakah akan ada hawa menyerang?”.
Nurkilah, anggota Perkumpulan Petani Tanggap Perubahan Iklim Indramayu, menceritakan, dirinya tetap bertahan di pertanian selama tidak ada yang mengaturnya. ”Petani punya lahan sendiri sehingga dapat melakukan inovasi yang aman, sehat, murah, dan ramah lingkungan,” katanya.