Amdal Disederhanakan agar Waktu dan Biaya Lebih Efisien
Pemerintah memastikan izin amdal disederhanakan, bukan dihapus, dalam RUU Cipta Kerja agar waktu dan biaya pengajuannya lebih efisien. Konsepnya disebut sama dengan UU Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Oleh
KARINA ISNA IRAWAN
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah memastikan izin analisis dampak lingkungan atau amdal dalam Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja tidak dihapus, tetapi disederhanakan. Proses pengajuan amdal disederhanakan agar waktu dan biaya lebih efisien.
Sekretaris Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Susiwijono Moegiarso mengatakan, persetujuan amdal tetap menjadi prasyarat dasar perizinan berusaha. Dalam UU Cipta Kerja, izin amdal tetap diperlukan, tetapi prosesnya dibuat lebih sederhana. Selama ini aturan amdal dinilai berbelit-belit.
”Amdal tidak dihapus dan tetap ada. Namun, prosesnya dibuat menjadi lebih sederhana sehingga waktu dan biaya yang dibutuhkan menjadi lebih efisien,” kata Susiwijono dalam keterangan tertulisnya, Jumat (9/10/2020).
Pemerintah berdalih aturan terkait prinsip dan konsep dasar amdal dalam UU Cipta Kerja sama dengan UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Perubahan hanya terkait pemberian kemudahan dalam memperoleh persetujuan lingkungan.
Susiwijono mengatakan, dalam UU Cipta Kerja, izin lingkungan akan diintegrasikan dengan perizinan berusaha sehingga prosedur lebih ringkas. Amdal dikembalikan ke fungsi dan proses sebenarnya sebagai dokumen teknis dan ilmiah studi kelayakan lingkungan hidup sebagai syarat perizinan berusaha.
”Tahapan izin lingkungan diringkas menjadi tiga tahap mencakup proses dokumen lingkungan, persetujuan lingkungan, dan perizinan berusaha,” kata Susiwijono.
Pemangkasan tahapan izin lingkungan tidak mengurangi marwah amdal. Dalam Pasal 1 Ayat 11 RUU Cipta Kerja, amdal ditegaskan sebagai kajian mengenai dampak penting pada lingkungan hidup dari suatu usaha dan atau kegiatan yang direncanakan untuk digunakan sebagai prasyarat pengambilan keputusan tentang izin penyelenggaraannya.
Susiwijono menambahkan, perizinan usaha dapat dibatalkan apabila persyaratan tidak terpenuhi, seperti Keputusan Kelayakan Lingkungan Hidup atau Pernyataan Kesanggupan Pengelolaan Lingkungan Hidup, kewajiban yang ditetapkan dalam dokumen amdal atau UKL-UPL tidak dilaksanakan oleh penanggung jawab usaha dan atau kegiatan.
Ketentuan amdal dalam RUU Cipta Kerja menimbulkan penolakan dari berbagai pihak. RUU Cipta Kerja dinilai menghapus beberapa pasal krusial dalam UU No 32/2009, antara lain Pasal 29, 30, dan 31 tentang Komisi Penilai Amdal. Komisi Penilai Amdal akan digantikan Lembaga Uji Kelayakan Pemerintah Pusat.
Mengutip pendapat Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Andri Gunawan Wibisana, dalam Kompas, Jumat (8/10/2020), dampak UU Cipta Kerja yang paling krusial adalah pelemahan partisipasi masyarakat terkait pengambilan keputusan dalam kegiatan yang berdampak pada lingkungan.
Proses penyusunan amdal yang menghilangkan peran Komisi Penilai Amdal berpotensi menjauhkan akses informasi bagi masyarakat lokal dan pelaku usaha di daerah dalam menyusun amdal. Hal ini karena Lembaga Uji Kelayakan pemerintah pusat tidak melibatkan unsur masyarakat.
”Tanpa partisipasi publik dalam kegiatan yang berkaitan dengan lingkungan, pada akhirnya UU Cipta Kerja berpotensi memperparah kerusakan lingkungan. Sebab, izin usahanya semakin mudah, tetapi di sisi lain konsekuensi-konsekuensi tertentu dihilangkan,” ujar Andri.