Inilah momentum bisnis perkantoran untuk menata pola bisnis semakin fleksibel untuk menjawab tren kebutuhan pasar. Harapannya, ketika perekonomian membaik, bisnis perkantoran yang sudah adaptif sudah bisa melaju kencang.
Oleh
BM Lukita Grahadyarini
·3 menit baca
Resesi ekonomi yang menghadang Indonesia menjadi pukulan berat bagi sektor properti. Bagai dua sisi mata uang, jika perekonomian membaik, sektor properti bergairah, sebaliknya, jika resesi yang terjadi, properti ikut merosot.
Salah satu subsektor properti yang paling terpuruk adalah perkantoran. Sebelum pandemi Covid-19 yang memicu resesi, bisnis perkantoran di DKI Jakarta sudah melemah dalam dua tahun terakhir. Pandemi yang berkelanjutan dan ekspansi bisnis yang tertahan mendorong efisiensi kebutuhan ruang kantor. Di lain pihak, pasokan ruang perkantoran terus bertambah dari proyek-proyek yang sudah bergulir sebelum pandemi.
Berdasarkan data Colliers International Indonesia, hingga saat ini ruang kantor yang belum terserap di DKI Jakarta sebanyak 1,9 juta meter persegi. Sebanyak 68 persen di antaranya di kawasan pusat bisnis (CBD). Sementara tambahan pasok ruang perkantoran di Jakarta pada 2020-2024 seluas 1,2 juta meter persegi.
Tahun depan, suplai kantor diperkirakan 400.000 meter persegi sehingga menyebabkan okupansi perkantoran akan mencapai titik terendah. Pada 2019, tingkat okupansi perkantoran di kisaran 83,7 persen dan pada 2020 diprediksi sekitar 81 persen. Kemudian pada 2021, okupansi turun menjadi 78 persen.
Penurunan okupansi ruang perkantoran juga mengimpit usaha ruang kerja bersama (coworking space). Sebagian pengelola ruang kerja bersama wajib membayar sewa ke pemilik gedung karena menempati gedung perkantoran. Sementara 80 persen pengguna ruang kerja bersama merupakan usaha rintisan.
Pada 2019, tingkat okupansi perkantoran di kisaran 83,7 persen dan pada 2020 diprediksi sekitar 81 persen. Kemudian pada 2021 okupansi akan menjadi 78 persen.
Keseimbangan baru kemungkinan terjadi pada 2022 ketika suplai kantor mulai menurun. Namun, tren perkantoran tak lagi sama. Sejumlah perubahan bakal terjadi dalam kebutuhan ruang kantor. Perubahan itu tak dimungkiri merupakan imbas pola bekerja dari rumah (work from home/WFH) yang berlangsung selama masa pandemi. Wajah perkantoran diprediksi berubah.
Pola bekerja dari rumah akan membuat sejumlah perusahaan melakukan efisiensi ruang kantor. Dalam jangka pendek, pola bisnis tidak lagi terlalu mengandalkan kantor. Kebutuhan sewa ruangan akan berkurang hingga penggunaan meja kerja bersama. Penyewa akan meminta pengurangan luas sewa kantor kepada pengelola gedung, sedangkan perusahaan yang baru mau menyewa kantor akan mencari ruangan lebih kecil.
Perubahan pola permintaan ruang kantor menjadi peluang bagi pengelola gedung untuk melakukan evaluasi dan penyesuaian terhadap desain ruangan. Efisiensi membuat kebutuhan ruang kantor akan menjadi berukuran lebih kecil dengan jangka waktu sewa yang lebih fleksibel.
Keringanan tarif sewa pun menjadi pertimbangan penyewa (tenant). Kebutuhan ruang kantor yang kecil atau jangka sewa yang lebih pendek membuka peluang bagi usaha ruang kerja bersama untuk bergerak lebih fleksibel.
Di sisi lain, sejumlah perusahaan yang sudah habis masa kontrak sewa kantor berencana mengurangi jangka waktu sewa dan mulai melirik ruang kerja bersama. Hal ini membuka peluang bagi pengelola ruang kerja bersama untuk mendorong tingkat hunian.
Di Amerika Serikat dan negara-negara Eropa, pandemi Covid-19 membuat tren lokasi ruang kerja bersama kian bergeser ke kota satelit pinggiran kota. Hal ini menjadi cara efektif untuk menekan laju pergerakan masyarakat di tengah pandemi Covid-19.
Namun, tren serupa belum berkembang di Asia karena tidak banyak ruang kerja bersama yang dibuka di pinggiran kota. Yang terjadi saat ini, terutama di Indonesia, sebagian bisnis ruang kerja bersama yang mengandalkan pasar meja-kursi-internet terpuruk akibat pandemi. Mereka yang bertahan umumnya fokus menggarap program komunitas, konten, dan kantor virtual.
Inilah momentum bagi bisnis perkantoran untuk menata pola bisnis semakin fleksibel untuk menjawab tren kebutuhan pasar. Harapannya, ketika perekonomian membaik, bisnis perkantoran yang sudah adaptif sudah bisa melaju kencang.
Keseimbangan baru parkantoran kini menunggu keseimbangan suplai dan permintaan. Akan tetapi, keseimbangan itu akan lebih cepat jika pengelola gedung bergerak cepat dan beradaptasi dengan kebutuhan pasar.