Di tengah minimnya peluang kerja, para pelamar dihinggapi kekhawatiran akan perlindungan mereka sebagai tenaga kerja kelak. Daya tawar calon pekerja ini lemah.
Oleh
Fransiskus Wisnu Wardhana Dhany / Fajar Ramadhan
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Para pencari kerja memoles diri semaksimal mungkin demi memperebutkan lowongan kerja yang teramat terbatas. Kelak bila diterima kerja, belum tentu mereka mendapatkan status dan upah yang sesuai.
Raphi Aji Sunan (21) tengah mencari pekerjaan seusai berhenti dari proyek pembangunan pada bulan lalu. Ia mengaku cemas akan menjadi pegawai kontrak seumur hidup setelah membaca poin-poin penolakan masyarakat terhadap RUU Cipta Kerja. ”Saya hanya lulusan teknik dari sekolah menengah kejuruan. Poin-poin itu buat dengkul lemas,” ucapnya, Rabu (7/10/2020).
Warga Jakarta Utara ini juga khawatir tingkat pendidikan yang ditamatkannya tidak mampu bersaing dengan para sarjana. Untuk mengimbangi persaingan ini, Raphi sebisanya mengikuti lokakarya, seperti latihan pemadam kebakaran. ”Saya siap belajar kalau ada (pelatihan) yang lain supaya jadi nilai tambah,” ujarnya.
Sebulan belakangan, Lathifah (22) juga rutin mengecek lowongan pekerjaan di platform LinkedIn, Jora, JobStreet, dan Indeed. Calon wisudawati salah satu perguruan tinggi di Bandung, Jawa Barat, ini mengincar pekerjaan di bidang editorial dan kebahasaan karena berkaitan dengan jurusan kuliahnya. Akan tetapi mengingat lesunya perekonomian saat ini, ia tidak menutup kemungkinan melamar ke perbankan ataupun penyelenggara acara.
Beragam kemampuan juga diasahnya demi menembus dunia kerja. Salah satunya kemampuan berbahasa Inggris yang kerap menjadi syarat dari perusahaan. ”Saya sering ngobrol sama Ibu menggunakan bahasa Inggris. Aku juga sedikit-sedikit belajar bahasa Korea, dibantu teman-teman dari jurusan Bahasa Korea,” ucap Latifah.
Di tengah persiapan, Latifah mengaku takut akan bekerja dalam kondisi beban berlipat dan upah seadanya pengalaman orangtua dan kenalannya. Ayahnya tidak dibayar selama lima bulan seusai mengerjakan suatu proyek. Ibunya tidak digaji sesuai upah minimum regional (UMR). Ada lagi gaji kenalannya yang acapkali dibayarkan melewati jadwal. Ketakutan kian bertambah karena aturan upah minimum dihapus dalam RUU Cipta Kerja.
Adapun Fitria Widiastuti (22) tengah menjalani masa uji coba selama tiga bulan ke depan. Apabila lulus, ia akan dikontrak perusahaan. Akan tetapi, ia tidak tahu berapa lama masa kontrak itu.
”Anak magang upahnya setengah dari upah karyawan tetap, tetapi kerjanya bisa dibilang sama,” ujarnya.
Dalam media gathering secara daring, Rabu, Country Manager JobStreet Indonesia Faridah Lim menyampaikan, sepanjang April hingga Juni 2020, terjadi lonjakan pencari kerja pada situs mereka. Saat itu, pengakses mereka mencapai lebih dari 300 juta orang atau naik 11 persen dibandingkan periode yang sama pada 2019. Bersamaan dengan kenaikan ini, Indonesia memasuki pandemi Covid-19 yang juga berimbas pada lesunya dunia usaha.
Faridah mengatakan, satu posisi pada JobStreet, saat ini dilamar oleh rata-rata 800 pencari kerja. Jumlah ini meningkat dua kali lipat dibandingkan masa sebelum pandemi. Saat itu, satu posisi hanya diminati rata-rata 400 pencari kerja.
Di sisi lain, saat banyak perusahaan mengurangi pekerja, ada juga perusahaan yang aktif merekrut karyawan. Lima industri yang membuka lowongan paling banyak adalah manufaktur (5.273 lowongan), grosir (2.703 lowongan), perbankan (2.497 lowongan), ritel (2.485 lowongan), dan informasi teknologi (2.232 lowongan).
Beberapa posisi pekerjaan yang paling banyak dicari kemungkinan adalah sales/customer service (27 persen), admin dan human resource (27 persen), serta akuntan (23 persen).
”Ada 32 persen perusahaan yang akan merekrut pencari kerja terdampak pandemi. Sementara, 56 persen perusahaan tidak akan menjadikan dampak pandemi sebagai bahan pertimbangan,” katanya.