Tantangan Tapal Batas Negeri dan Jantung Borneo di Kaltara
Setelah pemekaran wilayah pada 2012, struktur ekonomi Kaltara tak jauh berbeda dengan Kaltim yang didominasi sektor penggalian dan pertambangan. Pengembangan sektor lain yang berkelanjutan dinanti.
Bak buah yang jatuhnya tak jauh dari pohon, setelah pemekaran pada 2012, perekonomian Kalimantan Utara mirip Kalimantan Timur yang didominasi sektor penggalian dan tambang. Pengembangan sektor lain dinantikan.
Kontribusi sektor pertambangan dan penggalian dalam struktur perekonomian Kalimantan Utara pada 2019 menurut lapangan usaha cukup dominan, yakni 26,94 persen. Walakin, sektor ini hanya menyumbang pertumbuhan ekonomi kedua dengan 1,29 persen, di bawah usaha konstruksi sebesar 1,47 persen.
Pandemi Covid-19 turut memukul sektor pertambangan dan penggalian. Hal ini dipicu rendahnya harga patokan ekspor tambang internasional dan minimnya permintaan dari negara importir karena kebijakan lockdown. Di Kaltara, hal itu terlihat pada pertumbuhan ekonomi triwulan II-2020 yang terkontraksi minus 3,35 persen secara tahunan, lebih baik ketimbang nasional yang minus 5,32 persen.
Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Kaltara mencatat, terdapat 83 usaha pertambangan aktif di Kaltara. Meski pertambangan dominan berkontribusi bagi perekonomian, di sisi lain sektor itu juga menghadirkan ekses menurunnya kualitas air yang dikonsumsi warga. Di Kabupaten Malinau, misalnya, pada Juli 2017 warga di hilir Sungai Malinau kesulitan air bersih karena air sungai berangsur keruh.
Koordinator Jaringan Advokasi Tambang Kaltara Theodorus mengatakan, air Sungai Malinau merupakan bahan baku PDAM untuk masyarakat desa di hilir sungai. Akibatnya, setelah kejadian itu, selama beberapa hari PDAM tidak bisa mengolah air sungai karena tingkat kekeruhannya naik hampir 80 kali lipat.
”Saat itu di bagian hulu sungai terdapat tanggul lubang tambang yang jebol. Yang terjadi selama ini, pengelolaan limbah tambang batubara belum baik. Sistem penjernihan limbah tambang belum berjalan benar,” katanya.
Dengan kondisi itu, Kaltara perlu menyiapkan diri agar tidak terus bergantung pada sektor pertambangan dan penggalian. Sektor lain diperkuat untuk menopang ekonomi masyarakat yang berkelanjutan. Pengajar Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Bulungan Tarakan, Ana Sri Ekaningsih, berpendapat, sektor perikanan, perkebunan, dan pertanian perlu didorong agar berkembang.
”Kalau hanya bergantung pada pertambangan, suatu saat nanti akan habis dan ada dampak lingkungannya. Sektor pertanian, perkebunan, dan perikanan perlu dikelola dengan baik dari hulu ke hilir supaya memberi manfaat swasembada pangan dan juga perekonomian masyarakat,” ujar Ana saat dihubungi, Jumat (2/9/2020).
Baca juga : Bergantung pada Industri Ekstraktif, Perekonomian Kaltim Terpuruk
Luas Kaltara sekitar 7,5 juta hektar, hampir seluas Jawa Tengah ditambah Jawa Timur. Sekitar 13 persen wilayahnya berupa lautan. Adapun sekitar 80 persen merupakan kawasan hutan yang kerap disebut jantung Borneo. Dengan kondisi geografis seperti itu, Ana menilai, masyarakat seharusnya bisa memanfaatkan alam.
Kenyataannya, Kaltara masih kesulitan swasembada beras. Pada tahun 2018, Kaltara mengalami defisit produksi beras sekitar 36.870 ton. Pada tahun 2019, defisit neraca produksi beras semakin dalam menjadi 41.900 ton. Kekurangan beras disokong dari daerah lain seperti Sulawesi.
Kalau hanya bergantung pada pertambangan, suatu saat nanti akan habis dan ada dampak lingkungannya. Sektor pertanian, perkebunan, dan perikanan perlu dikelola dengan baik dari hulu ke hilir supaya memberi manfaat swasembada pangan dan juga perekonomian masyarakat. (Ana Sri Ekaningsih)
Ana menyarankan kelompok-kelompok nelayan dan petani diperkuat dan difasilitasi agar mampu berproduksi dengan baik dan berkualitas.
Tantangan di perbatasan
Kaltara berbatasan langsung dengan Malaysia, yakni Sabah di utara dan Sarawak di barat. Sebagai provinsi yang berbatasan langsung dengan negara tetangga, ragam persoalan masih menjadi pekerjaan rumah.
Salah satu wilayah yang berbatasan langsung dengan Malaysia adalah Pulau Sebatik, Kabupaten Nunukan. Pulau Sebatik bagian utara merupakan wilayah administratif Malaysia. Sejumlah warga di sana masih bergantung hidup ke Malaysia serta tidak bisa mengenyam pendidikan dengan layak.
Suraidah (65), pendiri Sekolah Tapal Batas, sekolah gratis bagi anak-anak TKI di perbatasan Indonesia-Malaysia di Pulau Sebatik, mengatakan, pendidikan anak-anak di perbatasan masih perlu perhatian khusus. Pendidikan sangat berpengaruh bagi kelangsungan hidup warga di perbatasan.
Baca juga : Suraidah Mendidik Anak-anak TKI di Perbatasan Malaysia
Ia mendapati keluarga yang selama empat generasi bekerja di perkebunan sawit. Oleh karena mereka tinggal di tengah perkebunan dan jauh dari permukiman warga, anak-anak tidak sekolah. Keluarga itu tidak bisa keluar dari kehidupan di perkebunan sawit. Hanya mengulang siklus: bekerja, tumbuh, berkeluarga, dan kembali ke siklus awal.
”Di perbatasan, pendidikan anak-anak penting sekali diperhatikan. Jika contoh keluarga di kebun sawit itu terus berulang, kualitas hidup anak-anak di perbatasan akan tidak jauh beda dengan orangtua,” ujarnya.
Warga bekerja sebagai buruh harian di kebun sawit Malaysia karena tidak punya pilihan lain. Sebagian dari mereka putus sekolah dan minim keahlian.
Persoalan di perbatasan dan pengelolaan sumber daya alam yang berkelanjutan menjadi tantangan bagi calon gubernur dan wakil gubernur Kaltara yang maju dalam Pilkada 2020. Tiga pasang kandidat bersaing, yakni Udin Hianggio-Undunsyah, Irianto Lambrie-Irwan Sabri, dan Zainal Arifin Paliwang-Yansen Tipa Padan.
Udin Hianggio berpendapat, pembangunan infrastruktur di perbatasan perlu ditingkatkan, bekerja sama dengan pemerintah pusat agar berbagai kebutuhan dasar bisa diakses dengan mudah. Sementara untuk pemanfaatan sumber daya alam, ia akan mengevaluasi pemberian izin pertambangan dan memperketat pengawasan operasinya. Sektor lain di luar pertambangan akan diperkuat.
”Hutan yang ada diharapkan menjadi daerah wisata yang dikembangkan sehingga bisa mendatangkan manfaat ekonomi masyarakat. Selain itu, masih ada daerah-daerah yang bisa digarap untuk pertanian dan perkebunan tanpa harus merusak hutan karena wilayah kita cukup luas. Tinggal bagaimana pendampingannya agar masyarakat bisa mengelola dengan maksimal,” ujar Udin.
Adapun Irianto Lambrie berobsesi membuka keterisolasian di perbatasan dengan membangun infrastruktur dan akses komunikasi. Untuk pemanfaatan potensi alam, ia akan mewujudkan pembangkit listrik tenaga air dengan harapan investasi di industri manufaktur bisa masuk dan ekonomi Kaltara tak lagi bergantung pada pertambangan.
”Saya juga mengusulkan alih fungsi kawasan hutan sebesar 7,5 persen menjadi areal penggunaan lain. Tujuannya, untuk pertanian sebagai pendukung ketahanan pangan, perikanan, pertambakan, permukiman, pertahanan dan keamanan, serta investasi seperti PLTA sehingga akan berdampak positif pada ekonomi,” ujar Irianto.
Baca juga : Jalur Tak Resmi di Perbatasan Sulitkan Pemantauan Covid-19
Sementara Zainal Arifin berpandangan, sebagai etalase negeri, warga di perbatasan harus bisa menikmati akses yang baik sehingga tidak silau dengan negara tetangga. Gagasan lain yang diusungnya ialah mempertahankan hutan Kaltara sebagai pusat konservasi dan penelitian. Pengelolaan lahan yang akan dioptimalkan sebagai sumber perekonomian baru.
”Sektor perikanan dan pertanian masih perlu dikembangkan. Lahan yang menganggur perlu diberdayakan. Sementara untuk perikanan masih perlu tambahan gudang pendingin untuk menampung hasil tambak. Bisa menarik investor, tetapi untuk tujuan agar warga semakin berdaya,” ucap Zainal.
Provinsi baru seperti Kaltara ibarat pemuda yang tengah meniti arah kehidupan. Realisasi gagasan dan janji kandidat merupakan kemewahan bagi warga yang akan hidup lebih lama di etalase negeri dan jantung Borneo dibandingkan dengan masa kepemimpinan kepala daerah.