Bisnis sewa perkantoran diprediksi kian lesu hingga tahun depan. Permintaan terbatas, tetapi suplai perkantoran terus bertambah. Pengelola perkantoran dituntut kian fleksibel.
Oleh
BM Lukita Grahadyarini
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pandemi Covid-19 dan pembatasan sosial berskala besar berimbas pada melemahnya okupansi ruang sewa perkantoran. Tingkat okupansi bahkan diprediksi kian merosot seiring lonjakan suplai ruang baru perkantoran tahun depan. Para pengembang dan pengelola mesti lebih fleksibel agar bisa bertahan di tengah impitan pasar.
Senior Director Office Services Colliers International Indonesia Bagus Adikusumo, Jumat (2/10/2020), berpendapat, pandemi yang belum dapat dipastikan kapan berakhir telah membawa perubahan terhadap bisnis sewa perkantoran (office space). Seiring aktivitas perkantoran dan pertemuan fisik yang terbatas, permintaan sewa ruang perkantoran menurun dan jangka waktu sewa cenderung menjadi lebih pendek.
Penurunan okupansi ruang perkantoran juga mengimpit usaha ruang kerja bersama (coworking space). Sebagian pengelola ruang kerja bersama punya kewajiban membayar sewa ke pemilik gedung karena menempati gedung perkantoran. Sementara itu, 80 persen pengguna ruang kerja bersama merupakan usaha rintisan.
Bisnis ruang perkantoran di kota-kota besar, yang sudah melemah dalam dua tahun terakhir, diprediksi kian lesu. Di DKI Jakarta, misalnya, tingkat okupansi perkantoran hingga akhir tahun diperkirakan hanya 80 persen dan pada tahun 2021 menurun jadi sekitar 75 persen akibat penambahan suplai.
Berdasarkan data Colliers International Indonesia, kelebihan suplai ruang perkantoran akan berlangsung sampai tahun 2022. Pada 2020, suplai ruang perkantoran di DKI Jakarta mencapai 500.000 meter persegi (m2) atau tumbuh 3 persen dibandingkan 2019. Pada 2021, suplai baru ruang perkantoran diperkirakan 300.000 m2 dan pada tahun 2022 berkisar 200.000 m2.
Bagus mengemukakan, dalam keadaan yang tidak mudah diperlukan fleksibilitas pengembang untuk mengejar okupansi. Tingkat okupansi di sebagian gedung masih rendah, yakni 30-50 persen, dan perlu ditingkatkan setidaknya jadi 70 persen agar bisa menutup biaya operasional. Selain itu, fleksibilitas juga dapat diberikan dalam biaya penataan dan persiapan ruang kantor bagi penyewa yang akan disesuaikan dalam komponen tarif sewa.
Di sisi lain, sejumlah perusahaan yang sudah habis masa kontrak sewa kantor berencana mengurangi jangka waktu sewa dan mulai melirik ruang kerja bersama. Hal ini membuka peluang bagi pengelola ruang kerja bersama untuk mendorong tingkat hunian.
Menurut Bagus, pandemi Covid-19 membuat tren lokasi ruang kerja bersama di Amerika Serikat dan Eropa kian bergeser ke kota satelit pinggiran kota. Hal ini menjadi cara efektif untuk menekan laju pergerakan masyarakat di tengah pandemi Covid-19. Namun, tren serupa belum berkembang di Asia karena tidak banyak ruang kerja bersama yang dibuka di pinggiran kota.
”Tren ruang kerja bersama di pinggiran kota dapat berkembang di Indonesia sepanjang pengelola coworking space menyediakan ruang tersebut. Namun, hal itu bergantung pula pada permintaan pasar,” katanya.
Secara terpisah, Presiden Coworking Indonesia Faye Alund mengemukakan, usaha ruang kerja bersama skala kecil paling terdampak pandemi Covid-19 karena kesulitan menyesuaikan luas ruangan dengan kebutuhan protokol kesehatan. Sementara itu, beberapa kantor yang menempati ruang kerja bersama juga meminta penangguhan sewa sehingga pendapatannya terkoreksi.
Hingga saat ini, ruang kerja bersama tersedia di 300 lokasi di 45 kabupaten/kota. Di tengah menurunnya penyewaan ruang kantor, beberapa usaha ruang kerja bersama berhenti operasi untuk sementara. Sebagian usaha bisa bertahan dengan pendapatan dari kegiatan aktivitas virtual dan aktivasi kegiatan berbasis komunitas.
Ia memprediksi, bisnis ruang kerja bersama belum akan meningkat sampai akhir tahun. Muncul tren ruang kerja bersama berkembang di wilayah sekitar Jakarta. Tren pola bekerja perkantoran berubah dari perjalanan rumah ke kantor bergeser menjadi bekerja profesional, sebagian bekerja di rumah dan sebagian di kantor. Pengelola ruang kerja bersama dapat memanfaatkan peluang untuk membidik pasar sewa ruang kantor dengan perubahan pola kerja dengan tetap mematuhi protokol kesehatan.
”Tidak semua coworking space bisa menyediakan fasilitas seperti itu,” katanya.
Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat Real Estat Indonesia Paulus Totok Lusida mengemukakan, penurunan okupansi perkantoran perlu disikapi pengembang dengan melakukan upaya relaksasi, antara lain menurunkan tarif sewa atau memperkecil ruang sewa yang ditawarkan untuk bisa menyesuaikan kebutuhan permintaan.
Di sisi lain, pemerintah perlu menata ulang penempatan ruang perkantoran sesuai dengan peruntukannya. Penataan tata ruang perkantoran diperlukan agar lokasi kantor sesuai dengan peruntukannya. Saat ini, muncul kecenderungan masih banyak rumah tinggal yang dialihfungsikan menjadi ruang kantor.