Kedai kopi berupaya menjaga diri di kala pandemi. Gerakan berbagi kopi berbasis donasi, efisiensi produksi, hingga kembali ke kultur lama perdagangan bubuk dan biji kopi dilakukan.
Oleh
KARINA ISNA IRAWAN
·5 menit baca
Bisnis kedai kopi terimbas pandemi. Para pemiliknya berupaya bersiasat menjaga bisnisnya agar tak semakin terkontraksi. Gerakan berbagi kopi berbasis donasi, efisiensi produksi, hingga kembali ke kultur lama perdagangan bubuk dan biji kopi dilakukan.
Co-founder Bagi Kopi, Dalzi Danil (27), merintis bisnis kedai kopi bersama seorang temannya pada Maret 2019 di Bandung. Saat itu, kedai kopi yang dirintisnya menyewa toko berukuran 8 x 8 meter. Gelora pebisnis muda terus memuncak sampai akhirnya mengubah strategi pemasaran (rebranding).
Keputusan Dalzi memindahkan kedai kopinya ke salah satu kawasan strategis di Bandung dan mengubah jenama (brand) menjadi Bagi Kopi berbuah manis. Dalam sembilan bulan, Bagi Kopi berkembang menjadi tiga cabang. Kerja sama kemitraan juga dibuka hingga kini ada enam cabang Bagi Kopi dan tujuh cabang Bagi Kopi Express pada awal tahun 2020.
”Bisnis yang mulai naik daun kemudian dihantam Covid-19. Omzet setiap toko turun hampir 70 persen pada Maret 2020,” ujar Dalzi.
Bisnis yang mulai naik daun kemudian dihantam Covid-19. Omzet setiap toko turun hampir 70 persen pada Maret 2020. (Dalzi Danil)
Menyadari Covid-19 bukan tantangan kecil dan akan berlangsung lama, ia memutar otak agar bisnis kedai kopinya tetap berjalan. Terlebih, Bagi Kopi mulai dilirik banyak investor. Di masa awal Covid-19, pada Maret-April, Dalzi menggelar donasi kopi dan jamu untuk beberapa rumah sakit di Bandung. Hasilnya, 9.000 cup kopi dibeli oleh donatur.
Namun, program donasi tidak selalu efektif karena pasar kian sulit. Daya tarik konsumen berupaya ditumbuhkan dengan inovasi produk dan cara berjualan. Salah satunya kolaborasi dengan jenama komponen produk sehingga biaya produksi bisa lebih murah, tetapi kualitas tetap baik.
”Omzet yang sempat anjlok mulai menanjak lagi. Sekarang turun 20 persen per toko dari kondisi normal sebelum Covid-19,” kata Dalzi.
Menurut Dalzi, dalam kondisi berat seperti saat ini sistem kolaborasi dan kerja sama sangat diperlukan. Gerakan ekonomi berjemaah perlu terus dilakukan untuk menggeliatkan berbagai macam usaha.
Jangkauan pasar tetap bisa diperluas dengan kerja sama mitra yang efisien, tidak memberatkan mitra, dan berbagi keuntungan yang adil. Strategi yang hanya menguntungkan diri sendiri tidak akan membuat bisnis bertahan lama.
Geliat ekonomi kopi Indonesia terus berkembang mengikuti gerak zaman. Organisasi Kopi Internasional (International Coffee Organization/ICO) mencatat, produksi kopi di Indonesia pada 2019 sebanyak 565.000 ton dan konsumsi kopi di dalam negeri menembus 288.000 ton.
ICO juga menyebutkan, tingkat konsumsi kopi di Indonesia tumbuh 44 persen dalam sepuluh tahun terakhir (Oktober 2008-September 2019). Konsumsi kopi Indonesia per kapita 1,13 kilogram per tahun. Tak heran jika bisnis kopi tumbuh merebak hampir di setiap daerah di Nusantara.
Hasil riset Toffin, perusahaan penyedia solusi bisnis berupa barang dan jasa di industri hotel, restoran, dan kafe, menunjukkan, jumlah kedai kopi di Indonesia pada Agustus 2019 sebanyak 2.950 gerai. Jumlah ini meningkat hampir tiga kali lipat dibandingkan pada 2016 yang hanya sekitar 1.000 gerai.
Penjualan produk kopi siap minum atau ready to drink (RTD) terus meningkat. Data Euromonitor menunjukkan, volume penjualan ritel kopi RTD pada 2013 di Indonesia sekitar 50 juta liter, kemudian pada 2018 meningkat menjadi hampir 120 juta liter.
Toffin memperkirakan, nilai pasar bisnis kedai kopi di Indonesia mencapai Rp 4,8 triliun per tahun. Angka itu didapat dari hitungan jumlah gerai kedai kopi yang terdata saat ini dan asumsi penjualan rata-rata per gerai sebanyak 200 gelas per hari dengan harga rata-rata kopi Rp 22.000 per gelas. Namun, pandemi Covid-19 menjadi halangan melesatnya pertumbuhan bisnis kopi di Tanah Air.
Irvan Helmi, co-founder Anomali Coffee, mengatakan, pandemi Covid-19 adalah momen untuk mengelola ekspektasi. Hal terpenting yang harus dilakukan saat ini adalah membuat bisnis tetap bertahan, bukan peningkatan penjualan atau inovasi berlebihan. Terlebih, Anomali Coffee kini sudah ada di lima provinsi.
”Sekarang kita enggak tahu jalan ke depan tanjakan, turunan, atau jalan tol. Karena itu, beban harus seringan-ringannya. Ambil risiko paling kecil,” kata Irvan.
Sekarang kita enggak tahu jalan ke depan tanjakan, turunan, atau jalan tol. Karena itu, beban harus seringan-ringannya. Ambil risiko paling kecil.
Harus diakui, pandemi Covid-19 mengakibatkan penjualan Anomali Coffee turun tajam. Bahkan, beberapa outlet merugi. Fungsi sosial yang selama ini menjadi daya jual juga berhenti. Selama ini mayoritas pelanggan Anomali Coffee bukan sekadar penikmat kopi, melainkan juga mereka yang butuh ruang bersosial dan bekerja.
Irvan menuturkan, efisiensi tentu strategi mendasar untuk bertahan di masa pandemi. Efisiensi dilakukan dengan cara-cara kreatif. Misalnya, mengelaborasi teknik untuk menghasilkan 200 mili espreso dalam satu menit pada mesin yang sama. Normalnya, satu mesin hanya menghasilkan 30 mili espreso.
”Efisiensi dan inovasi dengan cara-cara kreatif tidak akan mengurangi kualitas. Definisinya tetap espreso,” ujar Irvan.
Selain efisiensi, Anomali Coffee juga kembali ke kultur sebagai bisnis kopi. Penjualan kopi bubuk dan biji kopi kini menjadi prioritas. Banyak konsumen lebih membeli kopi bubuk atau biji kopi ketimbang kopi yang sudah siap. Penjualan kopi bubuk dan biji kopi selama pandemi meningkat 20 persen.
Irvan menambahkan, selain berbagai strategi untuk menyelamatkan bisnis dari sisi internal. Kolaborasi dengan berbagai pihak juga dibutuhkan demi meraup pasar yang kian terbatas. Saat ini Anomali Coffee tengah bekerja sama dengan salah satu pencipta konten (content creator) untuk produk kopi turbo.
Inovasi bertahan pada masa pandemi juga dilakukan Lidya Kembaren (27), pemilik Kopi Senayan, Depok. Salah satu cara untuk menyiasati penjualan yang anjlok adalah dengan menjual kopi ukuran lebih besar mulai dari 1 liter. Sebelum pandemi Covid-19, kopi dijual dalam bentuk cup.
”Penjualan literan sedikit membantu. Selain itu, untuk dine in sering menggunakan promo sehingga menarik minat pembeli,” kata Lidya.