Petani dan pelaku bisnis kopi tengah terimbas pandemi. Sementara, tren impor terus meningkat sejak beberapa tahun terakhir. Ekonomi kopi dalam negeri perlu diselamatkan.
Oleh
C ANTO SAPTOWALYONO/M PASCHALIA JUDITH J/KARINA ISNA IRAWAN/AGNES THEODORA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Belum usai dampak anjloknya harga kopi global karena kelebihan stok sejak tahun lalu, kopi dalam negeri kini juga terimbas pandemi Covid-19. Ekosistem bisnis kopi Nusantara dari hingga hilir semakin meronta dirundung nestapa.
Kementerian Pertanian memperkirakan, produksi kopi nasional pada tahun ini akan turun 35 persen dari produksi kopi pada 2019 yang sebanyak 760.963 ton. Bisnis kopi global dan di dalam negeri diperkirakan anjlok 50-90 persen pada tahun ini.
Hingga Juni 2020, utilitas industri kopi olahan, mulai dari pengeringan, sangrai, penggilingan, hingga kemasan, turun 35 persen. Apalagi sejak 2010 harga kopi global terus turun dari 4,68 dollar AS per kg menjadi di bawah 2,5 dollar AS per kg selama pandemi.
Wakil Ketua Umum Asosiasi Eksportir dan Industri Kopi Indonesia Moelyono, Rabu (30/9/2020), mengatakan, pengaruh pandemi Covid-19 cukup besar dialami kafe, resto, dan hotel karena efek pembatasan sosial berskala besar. Penurunan omzetnya bisa sampai 70-80 persen pada saat kondisi terparah pada April-Mei lalu.
Hingga kini, bisnis kafe, resto, dan hotel belum pulih dengan perkiraan omzet maksimal 50 persen dibandingkan saat normal sebelumnya. Di hulu, efek pandemi, khususnya untuk kopi arabika, cukup besar. Permintaan kopi arabika Indonesia dari dalam dan luar negeri pada tahun ini turun sektiar 50 persen sehingga banyak panenan kopi arabika yang belum terjual.
”Hal ini karena kopi arabika Indonesia kebanyakan mengisi pasar horeka (hotel, restoran, dan kafe). Di Italia, misalnya, pandemi menyebabkan penjualan kopi ritel secara nasional turun sampai 30 persen,” katanya.
Permintaan kopi arabika Indonesia dari dalam dan luar negeri pada tahun ini turun sektiar 50 persen sehingga banyak panenan kopi arabika yang belum terjual.
Tak hanya Italia, kata Moelyono, sejumlah negara tujuan ekspor kopi, terutama Amerika Serikat, Jerman, Jepang, Italia, dan Inggris, juga mengalami kontraksi pertumbuhan ekonomi. Ini menyebabkan permintaan dari luar negeri turut tertekan.
Kementerian Perindustrian mencatat, ekspor produk kopi olahan pada 2019 menyumbang devisa sebesar 610,89 juta dollar AS, meningkat 5,33 persen dibandingkan 2018. Pada Januari-Juni 2020, saat masih di tengah pandemi, neraca perdagangan produk kopi olahan nasional masih surplus 211,05 juta dollar AS.
”Saat ini ekspor produk kopi olahan didominasi produk berbasis kopi instan, ekstrak, esens, dan konsentrat kopi yang tersebar ke sejumlah negara tujuan utama seperti di kawasan ASEAN, China, dan Uni Emirat Arab,” kata Direktur Jenderal Industri Agro Kemenperin Abdul Rochim.
Co-founder Bagi Kopi Dalzi Danil (27) mengaku, bisnis kopinya yang dirintis pada Maret 2019 terimbas pandemi. Padahal, dalam sembilan bulan, Bagi Kopi berkembang menjadi tiga cabang. Kerja sama kemitraan juga dibuka hingga kini ada enam cabang Bagi Kopi dan tujuh cabang Bagi Kopi Express pada awal 2020.
”Bisnis yang mulai naik daun kemudian dihantam Covid-19. Omzet setiap toko turun hampir 70 persen pada bulan Maret,” ujar Dalzi.
Rentetan rantai ekosistem bisnis kopi berimbas ke petani kopi di sejumlah daerah di Indonesia. Stok menumpuk di gudang dan harga kopi jatuh. Ketua Komunitas Petani Kopi Tanggamus, Lampung, Fajar Sasora menyebutkan, harga kopi robusta di tingkat petani saat ini tergolong rendah, yaitu sekitar Rp 15.000-Rp 17.000 per kilogram (kg).
”Padahal, harga kopi yang memenuhi nilai keekonomian berkisar Rp 25.000 per kg. Stok kini tertahan di gudang. Ada penurunan permintaan sekitar 30 persen,” katanya saat dihubungi, Rabu.
Belum lagi, ada satu perusahaan swasta yang berhenti bermitra langsung dengan petani kopi di salah satu wilayah sentra produksi di Lampung. Akibatnya, petani kopi tidak bisa menikmati keuntungan optimal karena adanya perantara.
Di Aceh, stok biji kopi mentah (green bean) hasil panen Maret-Juni 2020 sebanyak 15.000 ton menumpuk di pedagang, eksportir, dan petani. Pelaksana Tugas Gubernur Aceh Nova Iriansyah mengatakan, puncak panen kopi di Dataran Tinggi Gayo diperkirakan terjadi mulai akhir September 2020 sampai Januari 2021 dengan proyeksi total produksi 70 persen dari total produksi pada umumnya atau setara 52.052 ton.
”Hingga Januari 2021, diproyeksikan akan ada 67.000 ton kopi Gayo yang tersedia dan berpotensi tidak terserap jika permintaan kopi terus menurun,” kata Nova.
Sementara itu, tren impor kopi beberapa tahun terkahir ini semakin meningkat. Statistik Perkebunan Indonesia Komoditas Kopi 2018-2020 Kementerian Pertanian menunjukkan, tren impor kopi selama 10 tahun terakhir sangat fluktuatif dengan peningkatan yang cukup tajam. Pada tahun 2011, impor kopi tercatat 18.000 ton dengan nilai 49,1 juta dollar AS. Jumlah itu meningkat drastis tahun 2012, tetapi cenderung menurun pada periode 2013-2017.
Pada 2018, impor kopi tiba-tiba meningkat tajam hingga 454,9 persen sebanyak 78.800 ton dengan nilai 155,8 juta dollar AS. Kemudian pada 2019, impor kopi kembali turun menjadi 32.102 ton atau senilai 66,2 juta dollar AS. Pada Januari-Juli 2020, volume impor kopi mencapai 11.218 ton atau senilai 26,03 juta dollar AS.
”Ini aneh, kenapa kita sebagai produsen kopi masih mengimpor biji kopi? Padahal, kopi robusta Lampung memiliki kualitas bagus dan di internasional pun dikenal,” kata Gubernur Lampung Arinal Djunaidi.