Hadapi Pandemi, Bisnis Ritel Modern Kembangkan Kanal ”Omnichannel”
Pandemi membuat bisnis ritel modern harus beradaptasi untuk bertahan, antara lain dengan memanfaatkan kanal penjualan daring dan digitalisasi pembayaran.
Oleh
ERIKA KURNIA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pandemi Covid-19 yang berpengaruh pada aktivitas ekonomi membuat bisnis ritel modern harus beradaptasi agar tetap bertahan. Strategi bertahan itu antara lain dilakukan dengan memanfaatkan kanal penjualan dalam jaringan dan digitalisasi pembayaran.
Dalam diskusi virtual ”Smart Technology: Produktivitas Bisnis Ritel di Era Pandemi”, Kamis (24/9/2020), Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) Roy Nicholas Mandey menyebut, industri ritel modern terus berusaha bertahan di tengah terbatasnya mobilitas masyarakat dan penurunan daya beli.
Salah satu strategi yang banyak dilakukan pelaku ritel modern adalah memanfaatkan kanal dalam jaringan (daring/online) dan luar jaringan (luring/offline) atau omnichannel. Situasi ini membuat ritel modern bekerja sama dengan perusahaan e-dagang untuk memindahkan unit barang jualan mereka di toko fisik ke toko daring.
”Dengan kondisi seperti itu, pelanggan bisa tetap belanja kebutuhan yang sebelumnya ada di toko fisik tanpa perlu keluar rumah. Jadi, sekarang modelnya ’O to O’, antara luring dan daring tidak ada lagi dikotomi,” kata Roy.
Menariknya, menurut Roy, peralihan penjualan ke toko daring banyak dilakukan melalui platform e-dagang kendati sejumlah peritel modern telah membangun platform daring sendiri. Daya tarik platform e-dagang dapat ditunjukkan dengan meningkatnya volume penjualan barang selama triwulan II-2020.
Berdasarkan data Bank Indonesia, volume transaksi belanja di e-dagang pada triwulan I-2020 hanya 275,8 juta kali. Sebulan setelah pandemi diumumkan dan pembatasan sosial diberlakukan, volume transaksi naik sampai 383,5 juta kali pada triwulan II-2020.
Tidak hanya adaptasi penjualan daring, pandemi juga mempercepat adaptasi digital oleh bisnis ritel modern. Rama Aditya, pendiri dan CEO Qlue, dalam acara diskusi yang sama mengatakan, adaptasi digital yang paling cepat diterapkan pelaku industri ritel saat ini adalah teknologi pembayaran digital.
”Pembayaran digital sangat dibutuhkan dengan semakin banyaknya peritel yang berjualan di e-dagang. Ini jadi terobosan saat ini karena pandemi menimbulkan kebiasaan baru, di mana orang kalau cari apa pun jadi serba online melalui ponsel pintar,” tuturnya.
Tidak hanya secara daring, teknologi pembayaran yang akan semakin cepat diadaptasi adalah kode respons cepat atau quick response (QR). Teknologi pembayaran teranyar lain yang mungkin dikembangkan adalah facial-recognition payment atau pembayaran atau metode pembayaran dengan deteksi wajah. Teknologi tersebut kini sudah populer digunakan di China.
Teknologi pintar
Tidak hanya digitalisasi, adaptasi teknologi pintar juga menjadi keniscayaan bagi ritel modern yang selama ini bergantung pada bisnis konvensional. Qlue sebagai perusahaan teknologi yang mengembangkan ekosistem kota pintar di Indonesia, telah memulai pendekatan dengan peritel untuk menghadirkan solusi bagi bisnis ritel.
Teknologi pintar yang bisa dikembangkan antara lain instalasi kecerdasan buatan (artificial intelligence/AI) di kamera pemantau atau CCTV. Teknologi itu bisa melakukan deteksi pengunjung. Hal itu seperti alat deteksi wajah yang kini banyak dipasang di gedung perkantoran dan bisnis untuk membantu mengecek suhu hingga disiplin penggunaan masker.
Kecanggihan teknologi dapat dimanfaatkan untuk membaca data yang dibutuhkan, seperti jumlah dan profil pengunjung, preferensi pengunjung, seperti yang dapat dilakukan platform e-dagang. ”Pembacaan data tersebut kemudian dapat digunakan untuk meningkatkan penjualan oleh pemilik toko hingga mengembangkan bisnis,” kata Rama.
Menanggapi hal tersebut, Roy berpendapat, peritel perlu menyediakan atau membuka peluang investasi untuk teknologi pintar. Selama ini, investasi terbesar oleh pelaku ritel berkaitan dengan ekspansi atau pembukaan cabang. Ia mengharapkan peritel mau menghabiskan 30-40 persen nilai investasi untuk penambahan teknologi pintar.
”Kalau tanpa teknologi, kita akan seperti dinosaurus yang punah atau dalam artian ditinggalkan. Peritel perlu mencadangkan anggaran untuk investasi teknologi atau cari investor yang bisa membantu mengembangkan teknologi pintar ini,” ujarnya.
Tidak hanya itu, dukungan dari pemerintah untuk meningkatkan infrastruktur jaringan internet dan regulasi lain yang mendukung implementasi teknologi pintar juga diharapkan.