PSBB Kembali Ketat, Pedagang Kembali Khawatir
Pengetatan PSBB di wilayah Jakarta membuat pedagang kembali khawatir terhadap usahanya. Penanganan Covid-19 secara maksimal pun menjadi harapan agar ekonomi bisa pulih.

Ilustrasi pedagang toko kelontong
Pemberlakuan pembatasan sosial berskala besar atau PSBB secara ketat yang kembali diberlakukan di wilayah Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta membuat para pedagang kembali khawatir terjadi penurunan omzet. Mereka berharap penanganan Covid-19 dapat dilakukan secara maksimal sehingga ekonomi dapat benar-benar pulih.
Salahuddin Yusuf (56), pemilik toko bahan kue dan plastik di Pasar Lenteng Agung, Jakarta Selatan, kembali merasakan dampak pandemi seperti pada masa awal PSBB pada April hingga Juni 2020. Toko mulai sepi dan hanya mengandalkan pembelian dari pelanggan lama.
”Waktu masa PSBB transisi, omzet saya sudah mulai berangsur pulih dari yang awalnya merosot lebih dari 50 persen menjadi 35 persen. Tapi sudah dua hari ini sejak PSBB ketat, toko sepi lagi jadinya,” ujar Salahuddin saat dihubungi Kompas, Selasa (15/9/2020).
Para pelanggan Salahduddin umumnya terdiri dari penjual martabak dan penjual kue tradisional. Sebagai upaya menyiasati penjualan bahan kue dan plastik agar tidak merugi kini ia menyetok barang sesuai permintaan.
”Kalau waktu awal PSBB, stok barang saya numpuk dan enggak laku karena permintaan menurun. Jadi di PSBB kedua ini, (stok barang) saya sesuaikan dengan permintaan agar bisa habis terjual,” ujarnya yang telah berdagang selama sepuluh tahun.

Kepatuhan warga saat pakai masker agaknya tidak banyak berubah saat pembatasan sosial berskala besar (PSBB) secara ketat pada Senin (14/9/2020).
Selain permintaan yang menurun, Salahuddin juga menghadapi hambatan pemenuhan stok barang, khususnya fermipan atau ragi pengembang. Alhasil, ia mencoba mencari substitusi dari produk tersebut guna memenuhi permintaan pelanggan.
Dalam menghadapi dampak akibat pandemi Covid-19, Salahuddin dibantu anaknya berjualan secara dalam jaringan (daring) untuk meningkatkan permintaan pasar. Ia berharap Covid-19 segera berlalu agar penjualan kembali meningkat.
Adi Tambunan (40), pedagang kelontong di Pasar Senen Blok VI, Jakarta Pusat, juga menghadapi kondisi serupa. Menurut dia, PSBB yang kembali ketat tentu membawa dampak bagi para pedagang di pasar.
”Sekarang jadinya adem ayem lagi di toko liatin nyamuk lewat, bukan orang yang lewat, sepi banget. Apalagi toko saya di lantai atas jadi pembeli jarang yang mau ke atas untuk membeli sembako,” ujar Adi.
Menurut dia, para pembeli sekarang masih merasa takut berbelanja ke pasar. Terlebih, jam operasional toko pun dibatasi menjadi dari pukul 08.00 hingga 20.00 dari yang masa normal bisa membuka hingga pukul 22.00.

Sejumlah warga beraktivitas di kawasan Pasar Tanah Abang, Jakarta Pusat, Senin (14/9/2020).
Adi pun menyiasatinya dengan memanfaatkan platform e-dagang untuk berjualan dan membuka warung di rumah. Dengan berdagang di platform daring, ia menyampaikan, cukup membantu untuk pemasaran sehingga barang tidak menumpuk di toko.
”Stok barang sejauh ini aman tapi memang yang masih terganggu itu dari sisi distribusi untuk penjualannya. Menurun sekali, bisa sampai 50 persen penjualan turun karena restoran dan hotel juga masih banyak yang terdampak,” ucap Adi.
Dampak Covid-19 bagi pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) dari data Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah (Kemenkop dan UKM) menunjukkan, pada Juni 2020, penurunan penjualan, permintaan, dan pelanggan UMKM masih mendominasi iklim usaha (22,9 persen) meski membaik dibandingkan Mei 2020 (24,3 persen). Dalam periode yang sama, hambatan distribusi juga menunjukkan perbaikan dari 20,2 persen menjadi 20,01 persen.
Namun, iklim usaha yang berangsur membaik masih tersandung produksi yang terhambat (dari 18,1 persen menjadi 18,83 persen). Kondisi ini sebagai implikasi kurangnya permodalan (dari 18,8 persen menjadi 19,39 persen) dan sulitnya bahan baku (dari 18,6 persen menjadi 18,87 persen).
Baca juga: PSBB Jangan Ciptakan Pengangguran dan Penduduk Miskin Baru
Di sisi lain, data yang dihimpun Gojek menunjukkan, 3 juta warung kelontong telah berkontribusi hampir 80 persen dari pasar ritel Indonesia sebagai penggerak perekonomian. Namun lebih dari 80 persen atau sekitar 2,5 juta dari warung tersebut masih termasuk kategori underserved atau kurang terlayani.

Dorong produktivitas usaha
Dalam wawancara bersama media, CEO dan Direktur Utama GoToko Gurnoor Singh Dhillon mengatakan, para pelaku UMKM perlu mendapatkan dukungan layanan sekalipun lokasi warung sulit dijangkau dan cakupan usaha kecil. Untuk itu, Gojek meluncurkan aplikasi GoToko yang merupakan platform digital business to business untuk menghubungkan antara pelaku usaha warung kelontong dan produsen barang.
Pelaku usaha warung kelontong, kata Gurnoor, selama ini menghadapi sejumlah tantangan karena terbatasnya ragam produk yang mereka tawarkan, harga produk kulakan yang tidak kompetitif, minimnya dukungan promosi dari produsen, dan kurangnya layanan pengiriman barang. Mereka masih menyetok barang secara manual yang mengharuskan mereka menutup warung dan mengunjungi berbagai agen distributor, melunasi pembayaran yang sebagian besar secara tunai, serta mengatur pengiriman sendiri.
Aplikasi GoToko pun dihadirkan sehingga memungkinkan pelaku usaha warung berbelanja stok barang secara daring dengan harga kompetitif dan transparan. Beberapa kategori produk yang ditawarkan, antara lain makanan, minuman, kebutuhan rumah tangga, perlengkapan mandi, kecantikan dan kesehatan, serta kebutuhan bayi dari berbagai produsen.
Selain memudahkan dalam pemesanan barang, GoToko mendorong produktivitas pengusaha warung. Dukungan diberikan melalui fitur-fitur pemantauan riwayat pesanan, pelacakan pengiriman barang pesanan, manajemen inventaris, akses data penjualan dan keuangan, serta rekomendasi produk yang sesuai dengan permintaan pasar.
”Pemilik warung hanya perlu memiliki ponsel dengan spesifikasi minimum sperti Android 6 untuk bisa memanfaatkan GoToko dengan mengunduhnya di Google Play Store. Target kami adalah membantu digitalisasi bagi warung-warung underserved dan memberikan dampak sosial yang luas,” ujar Gurnoor.

CEO dan Direktur Utama GoToko Gurnoor Singh Dhillon
GoToko juga turut mengundang kolaborasi para produsen barang konsumsi memperluas jangkauan produk agar visibilitas produk yang relevan bagi konsumen warung kelontong dapat semakin meningkat. Produsen akan memperoleh akses analis pasar (market intelligence) secara waktu riil hingga ke tingkat warung yang mencakup seluruh merek produk.
”Layanan GoToko akan mendukung para produsen dalam meningkatkan efektivitas dan efisiensi penjualan dan pemasaran produk yang baru diluncurkan. Hubungan hulu ke hilir ini diharapkan dapat meningkatkan kemajuan industri,” kata Gurnoor.
Kepala Logistik Grup Gojek Junaidi menyampaikan, ekosistem Gojek yang sudah terbangun dalam layanan logistik Gojek akan menjadi nilai tambah bagi GoToko untuk mengirim barang tepat waktu melalui solusi middle mile, pergudangan, dan last mile, produk akan sampai di warung kelontong maksimal satu hari berikutnya dengan layanan pengiriman di hari berikutnya atau di hari yang sama.
”GoToko juga didukung sistem pembayaran cash on delivery (pembayaran di tempat) dari Gojek. Dengan begitu, pelaku usaha warung dapat mengoptimalkan biaya operasional dengan menghemat biaya, waktu, dan kerumitan yang sebelumnya dihadapi saat berbelanja secara manual,” ujar Junaidi.

Deputi Bidang Produksi dan Pemasaran Kemenkop dan UKM Victoria Simanungkalit juga mengapresiasi inovasi dari Gojek yang memberikan layanan bagi pelaku usaha warung kelontong. Inovasi ini selaras dengan prioritas pemerintah mendorong pemanfaatan teknologi guna mengakselerasi roda perekonomian, khususnya bagi UMKM.
Baca juga: Berpacu Melawan Resesi
”Kami mengapresiasi Gojek yang terus berinovasi untuk memberikan solusi bagi pelaku UMKM agar siap go digital melalui peluncuran layanan GoToko. Kami berharap layanan GoToko dapat memberikan kemudahan akses untuk membantu pelaku usaha warung dalam menjalankan bisnis dengan efisien dan produktif,” ujar Victoria.