Indonesia adalah pemilik potensi tenaga panas bumi terbesar di dunia. Sayangnya, pemanfaatan panas bumi belum optimal. Salah satunya disebabkan kebijakan pemerintah yang terus berubah-ubah.
Oleh
ARIS PRASETYO
·3 menit baca
Indonesia diberkahi sumber energi terbarukan yang luar biasa, dari tenaga surya, bayu, hidro, hingga panas bumi atau geotermal. Ditambah berbagai jenis sumber energi terbarukan lain, total potensinya mencapai 439.000 megawatt. Khusus panas bumi, dari potensi 25.400 megawatt, kini baru termanfaatkan 2.200 megawatt atau 8 persen saja.
Tenaga panas bumi terbilang istimewa dibandingkan dengan sumber energi terbarukan yang lain. Listrik yang dihasilkan dari pembangkit listrik tenaga panas bumi (PLTP) lebih stabil ketimbang yang dihasilkan pembangkit listrik tenaga air (PLTA), pembangkit listrik tenaga bayu (PLTB), ataupun pembangkit listrik tenaga surya (PLTA). Musim atau kondisi cuaca berpengaruh besar terhadap mutu pasokan listrik yang dihasilkan oleh PLTA, PLTB, atau PLTS. PLTS, misalnya, hanya menghasilkan listrik di siang hari, tetapi tidak di malam hari (intermittent).
Indonesia disebut pemilik potensi tenaga panas bumi terbesar di dunia. Sumber panas bumi Indonesia adalah 40 persen dari total sumber panas bumi di dunia. Namun, kenapa pemanfaatannya masih sangat kecil? Apa yang membuat tenaga panas bumi pemberian alam ini belum optimal diberdayakan?
Harga listrik dari PLTP, khususnya di Indonesia, adalah yang termahal. Bisa dua kali lipat dari harga listrik yang dihasilkan oleh pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) dengan bahan bakar batubara. Pembangunan PLTP dalam skala besar pun harganya di kisaran 12 sen dollar AS-13 sen dollar AS per kWh. Dengan harga tersebut, sisi keekonomiannya tidak terpenuhi, apalagi harga beli listrik dipatok lebih murah.
Dengan harga yang mahal tersebut, padahal tarif listrik di Indonesia dipatok murah, tentu dari sisi keekonomian tidak masuk akal.
Tingginya harga listrik dari PLTP disebabkan oleh biaya produksi yang juga tidak murah. Pengeboran sumber panas bumi mirip dengan pengeboran untuk mencari minyak di perut bumi. Rasio keberhasilannya pun tidak jauh beda. Apabila gagal dalam sekali mengebor, modal jutaan dollar AS pun melayang percuma.
Selain itu, letak sumber panas bumi di Indonesia umumnya berada di kawasan konservasi atau di hutan lindung. Urusan perizinan untuk pemanfaatannya lebih berliku dan berbelit ketimbang yang ada di luar kawasan tersebut. Artinya, perlu biaya, tenaga, dan waktu ekstra. Belum lagi penolakan dari masyarakat sekitar.
Penolakan tersebut umumnya dipicu oleh kekhawatiran masyarakat akan dampak pembukaan wilayah kerja panas bumi yang ada di kawasan konservasi. Misalnya, pembukaan lahan atau dampak pengeboran yang mengakibatkan kondisi lahan menjadi tidak stabil. Selain itu, pembukaan lahan dikhawatirkan mengganggu keseimbangan ekosistem atau flora dan fauna yang dilindungi dan ada di dalam kawasan.
Padahal, penolakan bisa diatasi apabila perencanaan pembukaan wilayah kerja panas bumi dilakukan dengan tepat. Dalam sebuah webinar tentang transisi energi pada awal Agustus 2020, seorang sosiolog mengungkapkan bahwa masyarakat sekitar lokasi proyek energi terbarukan punya peran penting terhadap keberhasilan proyek. Masyarakat harus mendapat pemberitahuan yang jelas dan lengkap tentang proyek yang hendak dikerjakan tersebut. Intinya, sosialisasi adalah kunci.
Salah satu hal penting lainnya yang ditunggu investor adalah kepastian kebijakan atau regulasi. Pemerintah Indonesia dikenal gemar mengubah-ubah kebijakan yang membuat bingung pelaku usaha.
Beberapa faktor di atas adalah yang menjadi ganjalan kenapa pengembangan energi terbarukan, khususnya panas bumi di Indonesia, menjadi lamban. Bagaimana mengatasinya? Kuncinya ada di tangan pemerintah. Persoalan-persoalan administrasi dan kebijakan harga energi terbarukan adalah persoalan yang menjadi ranah pemerintah.
Selain itu, pemerintah juga memberikan insentif fiskal untuk menjaga minat investor mengembangkan energi terbarukan di Indonesia. Insentif itu antara lain penghapusan bea masuk, pemberian tax holiday dan tax allowance, serta skema jaminan pemerintah untuk pembiayaan. Namun, segala insentif itu belum cukup.
Hal penting lain yang ditunggu investor adalah kepastian regulasi. Pemerintah Indonesia dikenal gemar mengubah-ubah kebijakan yang membingungkan pelaku usaha. Aturan harga listrik energi terbarukan panas bumi saja, menurut penelitian Institute for Essential Services Reform, dalam kurun 2008-2017 terbit tujuh aturan setingkat menteri. Tentu ini membuat bingung investor.
Target-target kontribusi energi terbarukan dalam bauran energi nasional sebaiknya disertai terobosan nyata pemerintah. Perlu komitmen politik agar pengembangan energi terbarukan tak sekadar slogan.