Wacana Perppu Reformasi Sektor Keuangan Bisa Ganggu Stabilitas Pasar
Rencana pemerintah mereformasi undang-undang sistem keuangan dikhawatirkan menciptakan ketidakstabilan pasar. Pemerintah sebaiknya fokus pada masalah aspek pengawasan, misalnya risiko konglomerasi sistem keuangan.
Oleh
KARINA ISNA IRAWAN
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Rencana pemerintah mereformasi undang-undang sistem keuangan dikhawatirkan menciptakan ketidakstabilan pasar. Di tengah tren lonjakan kasus positif Covid-19 dan ancaman resesi ekonomi, pemerintah sebaiknya tidak melontarkan isu yang membuat pasar bereaksi negatif.
Pemerintah tengah mengkaji kembali berbagai undang-undang dan perangkat hukum terkait dengan stabilitas sistem keuangan untuk mengantisipasi krisis. Sepekan terakhir beredar wacana pemerintah akan menerbitkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu) tentang reformasi sistem keuangan.
Ekonom senior Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Drajad H Wibowo, berpendapat, tidak satu pun negara di dunia yang merombak struktur dan sistem otoritas moneter dan keuangan dalam kondisi krisis akibat pandemi Covid-19. Perubahan struktur dan sistem dilakukan justru setelah krisis berakhir.
”Situasi saat ini ibarat rumah yang sedang dihantam badai. Jika pemilik rumah membongkar dapur, kamar mandi, ketika badai, maka semakin hancurlah rumahnya,” ujar Drajad dalam webinar bertajuk ”Stabilitas Sektor Finansial dan Perppu Reformasi Keuangan”, Selasa (1/9/2020).
Perubahan struktur dan sistem dilakukan justru setelah krisis berakhir.
Dampak Covid-19 terhadap perekonomian Indonesia tidak sedalam negara-negara tetangga yang bergantung pada sektor eksternal. Kondisi sektor keuangan bank ataupun non-bank dalam negeri juga relatif baik dan mampu menahan tekanan Covid-19. Jangan sampai regulasi baru justru merusak daya tahan perekonomian saat ini.
Menurut Drajad, wacana penerbitan perppu reformasi sistem keuangan tidak logis dan tidak jelas efektivitasnya. Bahkan, pada titik tertentu dikhawatirkan membahayakan stabilitas sistem keuangan. Penerbitan perppu berpotensi dilihat sebagai sinyal kebingungan dan kepanikan pemerintah yang berdampak buruk bagi sentimen pasar.
”Perppu memberi kesan pemerintah bingung dan panik karena segala hal ditabrak. Penerbitan perppu tidak bisa sembarang karena nantinya pasar akan membaca efek psikologis yang negatif,” kata Drajad.
Ketua Bidang Kajian dan Pengembangan Perhimpunan Bank-bank Umum Nasional (Perbanas) Aviliani menilai, reformasi sistem keuangan sebaiknya dilakukan pada masing-masing institusi, bukan dalam satu kerangka hukum. Misalnya, UU Lembaga Penjamin Simpanan yang perlu ditambah wewenang mengantisipasi bank gagal.
Selain itu, perbaikan perlu dilakukan pada UU Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan. Wewenang Menteri Keuangan sebagai ketua Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) hanya sebagai koordinator, bukan pengambil kebijakan. Padahal, sosok pengambil kebijakan dibutuhkan agar tidak semua hal dilimpahkan kepada presiden.
”Pengalaman masa lalu menciptakan kekhawatiran adanya superpower sehingga tidak diberi wewenang pengambil kebijakan. Namun, jika tidak ada yang memutuskan, justru akan semakin berbahaya,” kata Aviliani.
Pengawasan konglomerasi
Direktur Manajemen Risiko Bank Mandiri Ahmad Siddik Badruddin menuturkan, ketimbang memperdebatkan perlu atau tidaknya perppu reformasi sistem keuangan, pemerintah sebaiknya fokus meningkatkan pengawasan dan regulasi pada masa depan. Tantangan sistem keuangan semakin berat setelah pandemi.
Salah satu risiko yang perlu diantisipasi adalah peningkatan konglomerasi sistem keuangan. Data per Desember 2018, ada 48 konglomerasi keuangan yang menguasai Rp 6.930 triliun aset jasa keuangan atau sekitar 65,8 persen dari total aset jasa keuangan di Indonesia yang sebesar Rp 10.539 triliun.
Dari 48 konglomerasi keuangan tersebut, 34 konglomerasi dari industri perbankan yang menguasai Rp 6.743 triliun atau 84 persen dari total aset perbankan nasional. Adapun 11 konglomerasi dari industri keuangan non-bank dan 3 konglomerasi dari pasar modal.
”Perlu ada peningkatan pengawasan terhadap standardisasi kerangka kerja regulasi dan pengawasan konglomerasi keuangan,” kata Ahmad.
Menurut Siddik, risiko muncul karena semakin banyak interkoneksi dan interdependensi antarkonglomerasi di antara industri perbankan. Oleh karena itu, pemangku kebijakan yang kini dimotori OJK harus memperbarui dan meningkatkan pengawasan dalam rangka mitigasi risiko. Efek domino dari konglomerasi berbahaya.
Managing Director Political Economy and Policy Studies (PEPS) Anthony Budiawan menambahkan, regulasi di dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan sudah cukup mengakomodasi kewenangan di masa pandemi.
Pemerintah sebaiknya memitigasi risiko sistem keuangan masa depan di masing-masing institusi, tidak perlu menerbitkan perppu reformasi sistem keuangan. Syarat penerbitan perppu harus ada hal atau dalam situasi kegentingan yang memaksa. Sementara reformasi sistem keuangan harus dilakukan jangka panjang, bukan dalam situasi pandemi.