Perekonomian hanya bisa digerakkan jika kondisi kesehatan sudah bisa diatasi. Jangan sampai pembukaan sektor ekonomi dilakukan terlalu cepat, sedangkan penanganan kesehatannya justru tersendat.
Oleh
A Prasetyantoko -- Rektor Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya
·5 menit baca
Pada Senin, 2 Maret 2020, Presiden Joko Widodo ditemani Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto dalam suasana santai mengumumkan secara resmi kasus pertama virus korona tipe baru di Indonesia. Setelah enam bulan bergulat dengan pandemi Covid-19, akhirnya kita harus menerima kenyataan hidup bersamanya. Upaya membengkokkan kurva jumlah kasus Covid-19 masih jauh dari harapan. Sampai dengan Senin (31/8/2020), sebanyak 7.417 orang meninggal dari 174.796 kasus terkonfirmasi positif Covid-19. Sementara penambahan kasus harian terus meningkat, bahkan pernah di atas 3.300-an kasus per hari.
Dari sisi kesehatan, puncak kurva sama sekali belum terlihat. Dalam situasi seperti ini, kita terhenyak mendengar wacana pemerintah membuka bioskop dan pusat kebugaran. Bisa saja pembukaan sektor yang tergolong paling berisiko ini dijadikan momentum yang menandai fase pembukaan penuh perekonomian sehingga kurva pemulihan ekonomi bisa diakselerasi agar segera mencapai fase seperti pada masa sebelum pandemi. Dilema antara menurunkan kurva kesehatan dan menaikkan kurva pemulihan ekonomi tak bisa lagi dihindari.
Dalam situasi seperti ini, kita terhenyak mendengar wacana pemerintah membuka bioskop dan pusat kebugaran.
Hari ini kita bahkan tidak tahu apakah pandemi akan berakhir; bukan lagi kapan akan berakhir. Mengembalikan perekonomian seperti pada fase sebelum pandemi mungkin juga bukan jawaban. Itulah esensi lompatan ekonomi menghadapi pandemi dan membajak krisis untuk kemajuan. Mungkin saja, ketika kita buru-buru membuka berbagai sektor ekonomi, seperti mal, bioskop, dan pusat kebugaran, kebutuhan masyarakat ternyata sudah berubah. Beberapa sektor memang hanya perlu menyesuaikan dengan proses bisnis baru melalui penerapan protokol kesehatan yang ketat sebagaimana disyaratkan dalam situasi normal baru. Namun, barangkali ada beberapa sektor yang harus mengubah model bisnis untuk bisa bertahan hidup, seperti bermigrasi total ke platform dalam jaringan.
Hidup bersama pandemi, masyarakat akan terbagi ke dalam tiga kategori, yaitu kelompok yang siap berdampingan dengan pandemi, kelompok yang berjuang mengikuti, dan kelompok yang menegasi dan ingin kembali ke masa lalu sebelum pandemi. Kelompok pertama melihat pandemi sebagai peluang atas perubahan, kelompok kedua memaknainya sebagai keharusan, dan kelompok ketiga melihat pandemi sebagai halangan. Kategori ini mirip dengan situasi menghadapi revolusi industri 4.0, ada generasi yang siap (digital natives), ada yang mencoba mengikuti (digital migrants), tetapi ada juga yang melarikan diri dari kenyataan.
Transisi dan transformasi
Pemerintah menyadari sepenuhnya bahwa masalah kesehatan dan perekonomian tak bisa dipisahkan. Pada akhir Juli lalu terbit Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 82/2020 yang mengatur pembentukan Komite Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional. Tim yang dipimpin Menteri BUMN Erick Thohir sebagai ketua pelaksana ini menyatukan Satgas Penanganan Covid-19 dengan Satgas Pemulihan dan Transformasi Ekonomi Nasional. Kurva kesehatan dan kurva pemulihan ekonomi dikelola dalam satu koordinasi.
Dalam rancangan komite ini, baru pada bulan keenam 2021 perekonomian akan memasuki fase transformasi. Sebelumnya, masih akan bergulat dengan penanganan kesehatan dan dampak ekonominya. Fase ini sangat krusial karena berhadapan dengan dua tantangan besar sekaligus, yaitu pandemi dan resesi. Kebijakan di satu sisi bisa menimbulkan implikasi negatif di sisi lainnya.
Terkait resesi, kalaupun tidak bisa dihindari, yang akan kita alami relatif ringan. Pertumbuhan ekonomi di triwulan II-2020 mengalami kontraksi 5,32 persen jika dibandingkan dengan triwulan II-2019 atau secara tahunan. Jika kinerja triwulan II-2020 dibandingkan dengan triwulan I-2020, kontraksinya 4,9 persen. Tampaknya, pertumbuhan triwulan III sudah mulai positif jika dibandingkan dengan triwulan II. Artinya, siklus resesi sudah mencapai dasar dan mulai meniti fase pemulihan. Tentu saja, jika dibandingkan dengan kinerja tahun lalu, masih akan negatif.
Fase resesi lebih berat dialami banyak negara lain. Singapura terkontraksi 42,9 persen pada triwulan II-2020 dibandingkan dengan kinerja triwulan I-2020. Sementara Malaysia terkontraksi 17,1 persen, Thailand minus 12,2 persen, Amerika Serikat terkontraksi 32,9 persen, Inggris 20,5 persen, dan Jepang 27,8 persen. Selain sangat parah, banyak negara di dunia yang diramalkan tidak akan mampu bangkit dari resesi.
Sekretaris Jenderal Organisasi Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD) Jose Angel Gurria memperingatkan kerumitan situasi menghadapi pandemi. Menurut perhitungan OECD, perekonomian global baru akan pulih paling cepat dalam dua tahun mendatang. Perekonomian kelompok negara-negara terkaya di dunia yang terdiri dari 37 negara ini terkontraksi 9,8 persen pada triwulan II-2020. Jalan pemulihannya diwarnai ketidakpastian dan sangat mungkin menghadapi infeksi gelombang kedua sehingga selain lebih dalam juga lebih lama resesinya.
Menghadapi peliknya situasi, Gurria menawarkan tiga strategi besar. Pertama, memastikan kebijakan fiskal terus dilakukan guna menopang perekonomian, khususnya dengan memberikan subsidi pada konsumsi. Belajar dari pengalaman krisis 2007-2008, banyak negara telalu cepat menarik stimulus fiskal sehingga perekonomian mengalami fase penurunan kembali. Dalam hal stimulus fiskal, persoalan kesehatan (lives) dan dampak ekonominya (livelihoods) bukanlah dilema. Perekonomian hanya bisa digerakkan jika kondisi kesehatan sudah bisa diatasi.
Kedua, memberi pelatihan kembali bagi kelompok pekerja rentan agar mampu beradaptasi dengan jenis keahlian baru yang muncul akibat pandemi. Di satu sisi, diperlukan untuk mengurangi angka pengangguran, di sisi lain menyediakan tenaga kerja terampil dengan kompetensi baru yang relevan. Ketiga, mempertahankan rantai nilai global dengan cara menghindarkan diri dari kebijakan protektif. Rantai nilai global harus didiversifikasi dengan meningkatkan perdagangan global, bukan sebaliknya.
Perekonomian hanya bisa digerakkan jika kondisi kesehatan sudah bisa diatasi.
Pemerintah kita menghadapi dilema yang sama. Di satu sisi ingin segera membuka kembali perekonomian; di sisi lain kurva penambahan kasus masih terus terjadi. Dilema ini bisa dipecahkan dengan menyatukannya. Selanjutnya, penanganan kesehatan harus diakselerasi secara optimal karena realisasi anggaran dana kesehatan Rp 87,55 triliun baru sekitar 7 persen hingga pertengahan Agustus. Padahal, kebutuhan melakukan 3 T (testing, tracing and treatment) masih tinggi. Organisasi Kesehatan Dunia menetapkan standar 1 tes per 1.000 penduduk per minggu. Dengan standar tersebut, mestinya ada 267.000 tes per minggu. Faktanya, masih jauh dari angka tersebut.
Jika penanganan kesehatan sudah maksimal, pembukaan sektor ekonomi bisa dilakukan secara optimal. Jangan sampai pembukaan sektor ekonomi dilakukan terlalu cepat, sedangkan penanganan kesehatannya justru tersendat. Jika belum mampu menangani kesehatan secara memadai, pembukaan sektor ekonomi dengan risiko tinggi, seperti bioskop dan tempat kebugaraan, sebaiknya dihindari.