Berbagai program dirancang untuk menyubsidi sektor konsumsi. Namun, masih ada masalah dalam implementasinya yang perlu segera diperbaiki.
Oleh
A Prasetyantoko, Rektor Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya
·4 menit baca
Konsumsi adalah basic instinct. Dalam teori ekonomi Keynesian, konsumsi merupakan denyut nadi yang menentukan naik-turunnya siklus perekonomian. Maka, permintaan masyarakat menjadi fokus kebijakan ekonomi. Tanpa konsumsi, ekonomi akan mati sehingga upaya menghidupkannya kembali dengan cara menyubsidi konsumsi.
Pendapat ini begitu relevan saat ini. Badan Pusat Statistik baru saja mengumumkan pertumbuhan triwukan II-2020 mengalami kontraksi (negatif) 5,32 persen secara tahunan, turun drastis dari pertumbuhan triwulan I-2020 yang sebesar 2,97 persen. Realisasi pertumbuhan ini sedikit lebih buruk dari perkiraan meskipun kontraksi sudah diantisipasi. Pemerintah berupaya keras memitigasi agar pertumbuhan triwulan III-2020 tidak terkontraksi lagi sehingga Indonesia terhindar dari resesi.
Selama ini, pertumbuhan ekonomi ditopang pengeluaran konsumsi rumah tangga domestik yang peranannya 57,85 persen dalam perekonomian. Pada triwulan II-2020, konsumsi rumah tangga tumbuh negatif 5,51 persen secara tahunan. Dengan porsi yang dominan dalam perekonomian, pertumbuhan sektor konsumsi biasanya menjadi penentu besaran pertumbuhan agregat nasional. Proporsi terbesar kedua adalah investasi, yakni 30,81 persen dengan pertumbuhan minus 8,61 persen pada triwulan II-2020.
Selama ini, pertumbuhan ekonomi ditopang pengeluaran konsumsi rumah tangga domestik.
Selebihnya, perekonomian disumbang aktivitas ekspor-impor serta pengeluaran pemerintah. Pengeluaran pemerintah pada triwulan II-2020 terkontraksi 6,90 persen secara tahunan. Memang peran pengeluaran pemerintah hanya 8,67 persen, tetapi sangat penting karena bisa menjadi pengungkit. Ke mana pengeluaran pemerintah diarahkan, di situlah aktivitas ekonomi akan bergerak sehingga siklus perekonomian kembali naik. Kebijakan fiskal tak sekadar menahan resesi (kontrasiklus), tetapi juga menavigasi arah pemulihan ekonomi.
Bertumpu pada konsumsi
Menghadapi pandemi, anggaran pemerintah telah ditambah Rp 686,2 triliun untuk memastikan ancaman Covid-19 bisa diatasi, baik risiko kesehatan maupun risiko ekonominya. Atas alasan ini, defisit fiskal melebar menjadi 6,1 persen terhadap produk domestik bruto (PDB). Besaran dana stimulus mengatasi Covid-19 ataupun implikasi pada pelebaran defisit fiskal masih tergolong kecil dibandingkan dengan negara-negara lain. Tuntutan menambah biaya penanganan krisis datang dari berbagai penjuru, tetapi pemerintah memilih disiplin dalam hal fiskal.
Sikap itu bukan tanpa alasan. Dari anggaran yang sudah disetujui, penyerapannya masih tergolong rendah. Dari pagu Rp 87,55 triliun dana kesehatan, hingga akhir Juli baru terserap sekitar 7 persen. Mungkin saja beralasan, pengeluaran pemerintah harus memenuhi standar administrasi yang memadai seperti masuk dafar isian pelaksanaan anggaran (DIPA). Namun, dari DIPA sebesar Rp 49,6 triliun di sektor kesehatan baru terserap sekitar 13 persen.
Padahal, anggaran ini dialokasikan untuk penangangan Covid-19, seperti pemberian insentif kesehatan pusat dan daerah, santunan kematian tenaga kesehatan, insentif bea masuk sektor kesehatan, serta pendanaan Gugus Tugas Penanganan Covid-19. Penyerapan anggaran di sektor kesehatan yang lambat bisa jadi merupakan indikator penanganan krisis kesehatan di lapangan yang lambat.
Kontraksi perekonomian cukup dalam pada triwulan II-2020 disebabkan penurunan konsumsi rumah tangga. Dengan demikian, salah satu cara menahan agar resesi terjadi secara ringan adalah menyangga konsumsi. Pemerintah punya kesempatan menahan laju resesi dengan menambah subsidi pada sektor konsumsi selain mendorong agar anggaran dipercepat realisasinya. Politik anggarannya sudah benar, dengan mengalokasikan anggaran terbanyak (Rp 165,3 triliun) untuk perlindungan sosial dan sudah terserap 51,6 persen.
Berbagai program dirancang untuk menyubsidi sektor konsumsi, mulai dari pembagian bahan kebutuhan pokok, bantuan langsung tunai, sampai Kartu Prakerja. Masalahnya ada di tahap implementasi, seperti kasus pembagian bahan kebutuhan pokok yang salah sasaran dan Kartu Prakerja yang pelaksanaannya masih perlu diperbaiki.
Di mana pun di seluruh dunia, mekanisme transfer langsung semacam ini diadopsi dengan berbagai macam program yang juga diwarnai tumpang tindih. Meski terjadi banyak persoalan pada fase implementasi, pendekatan ini dianggap paling baik untuk menahan resesi. Oleh karena itu, dengan menyadari masih begitu banyak hal yang perlu diperbaiki, program perlindungan sosial perlu dilanjutkan.
Berbagai program dirancang untuk menyubsidi sektor konsumsi.
Pembagian bahan kebutuhan pokok dikritik karena ketidakakuratan data. Inilah saat terbaik memperbaiki data dengan mengerahkan birokrasi. Perangkat teknologi bisa dimanfaatkan untuk membantu menyalurkan bantuan sosial secara tepat sasaran. Penduduk yang tak tercatat akan menjadi kelompok paling rentan sehingga diperlukan pendekatan ekstra.
Resesi global akibat Covid-19 ini menyadarkan masih banyak masalah yang harus diperbaiki. Masalahnya, apakah respons kebijakan berupaya memitigasi kelemahan tersebut. Mungkin inilah yang dimaksud Presiden Joko Widodo, diperlukan sense of crisis menghadapi pandemi ini.
Pandemi Covid-19 tak hanya menjungkirbalikkan kebijakan ekonomi yang di saat normal sulit dipahami. Teori baru juga bermunculan, mencoba mencari jalan keluar, salah satunya Teori Moneter Modern. Salah satu pelopornya, Stephanie Kelton, baru saja menerbitkan buku berjudul The Deficit Myth.
Argumen utama buku ini, sistem keuangan pemerintah berbeda dengan rumah tangga. Jika utang rumah tangga harus dilunasi, tak begitu dengan pemerintah. Dalam rangka memastikan kesejahteraan masyarakatnya, pemerintah berhak mencetak uang dengan cara menerbitkan surat utang. Dan surat utang pemerintah hanya perlu dicatat, tak perlu dilunasi. Pendekatan ini merujuk praktik di Jepang dengan rasio utang pemerintah terhadap PDB mencapai 280 persen. Pelunasan dilakukan dengan penerbitan surat utang baru.
Pandangan tersebut sangat erat dengan konsep Universal Basic Income/UBI, yakni pemerintah bisa melakukan transfer tunai langsung kepada individu tanpa syarat apa pun. Wacana UBI juga mengemuka di tengah resesi ini. Bisa saja pandangan ini terlalu radikal dan tak relevan, apalagi untuk konteks negara kita. Namun, bisa jadi sebagian prinsip tersebut sebenarnya sudah diimplementasikan dalam rangka memerangi pandemi ini.
Apa pun itu, tampaknya tak bisa dihindari, fokus utama kebijakan ekonomi hari ini adalah menyubsidi sektor konsumsi. Alasannya bukan semata-mata mendorong siklus ekonomi, tetapi karena di sana ada begitu banyak kisah tentang penderitaan manusia menghadapi situasi sulit di masa pendemi ini.