Lima Tahun Berjalan, Pemanfaatan MEA Dinilai Belum Optimal
Infrastruktur industri lokal di Indonesia belum siap dan biaya logistik relatif tinggi. Ini menjadikan kebutuhan di daerah-daerah Indonesia yang berdekatan dengan negara tetangga banyak dipasok dari negara tersebut.
Oleh
CYPRIANUS ANTO SAPTOWALYONO
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pelaku industri di Indonesia belum mendapatkan manfaat optimal dari pemberlakuan Masyarakat Ekonomi ASEAN yang sudah berjalan lima tahun ini. Hal ini tidak lepas dari ukuran pasar Indonesia yang memang lebih besar dibanding negara-negara tetangga. Daya saing industri dan biaya logistik juga masih menjadi faktor pembatas mengoptimalkan manfaat MEA tersebut.
Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) merupakan integrasi negara-negara anggota ASEAN di era perdagangan bebas yang diberlakukan pada 31 Desember 2015. Empat pilar MEA yang terus dibangun adalah menjadikan ASEAN sebagai pasar dan basis produksi tunggal, kawasan ekonomi berdaya saing tinggi, kawasan dengan pembangunan ekonomi yang merata dan berkeadilan, dan kawasan yang terintegrasi dengan ekonomi global.
Sekretaris Jenderal Asosiasi Industri Olefin, Aromatik, dan Plastik Indonesia (Inaplas) Fajar Budiyono, Senin (31/8/2020), mengatakan, pelaku industri bahan baku plastik dan turunannya di Indonesia tidak terlalu banyak mendapat manfaat dari MEA. Negara tetangga Indonesia di ASEAN yang dinilai justru lebih banyak mendapat manfaat karena pasar Indonesia yang besar.
”Produk-produk kita jarang yang diekspor. Di sisi lain, kita banyak mengimpor,” ujarnya saat dihubungi di Jakarta.
Pelaku industri bahan baku plastik dan turunannya di Indonesia tidak terlalu banyak mendapat manfaat dari MEA.
Fajar mencontohkan, impor bahan baku plastik berasal dari Thailand, Malaysia, Singapura, dan Vietnam. Impor kemasan setengah jadi dan kemasan jadi berasal dari Malaysia dan Thailand. Adapun impor produk jadi plastik dari Malaysia dan Filipina.
Fajar menilai, selama ini, pelaku industri negara lain di ASEAN lebih banyak mendapatkan kemudahan atau insentif proindustri dari pemerintahnya. Dukungan tersebut semisal berupa tarif listrik, pajak, suku bunga, dan lainnya yang lebih kompetitif.
Di sisi lain, infrastruktur industri lokal di Indonesia belum siap dan biaya logistik relatif tinggi. Ini menjadikan kebutuhan di daerah-daerah Indonesia yang berdekatan dengan negara tetangga, banyak dipasok dari negara tersebut.
Infrastruktur industri lokal di Indonesia belum siap dan biaya logistik relatif tinggi. Ini menjadikan kebutuhan di daerah-daerah Indonesia yang berdekatan dengan negara tetangga banyak dipasok dari negara tersebut.
Contohnya, masih banyak kebutuhan masyarakat di Medan, Sumatera Utara, dipasok dari Singapura, Malaysia, dan Thailand. Demikian pula di Manado yang akan lebih murah ketika mengambil dari Manila, Filipina.
”Jadi praktis, pelaku industri dalam negeri cuma menggarap pasar Sumatera bagian selatan, Jawa, Kalimantan, Maluku, Papua, Bali, dan sekitarnya,” kata Fajar.
Kementerian Perdagangan mencatat, total nilai perdagangan barang Indonesia-ASEAN pada 2019 senilai 55,72 miliar dollar AS atau turun sebesar 1,22 persen dibandingkan periode yang sama tahun 2018. Nilai ekspor Indonesia ke ASEAN pada 2019 sebesar 41,79 miliar dollar AS atau meningkat 6,42 persen dibandingkan 2018.
Sementara nilai impor Indonesia dari ASEAN pada 2019 sebesar 13,93 miliar atau turun 3,87 persen dibandingkan 2018. Sepanjang Januari-Juli 2020, ekspor nonmigas Indonesia ke ASEAN senilai 18,06 miliar dollar AS dan pangsanya berkisar 21,14 persen.
Harga gas
Ketua Umum Asosiasi Aneka Industri Keramik Indonesia (Asaki) Edy Suyanto mengatakan, Asaki selama ini belum dapat memanfaatkan MEA akibat kalah bersaing dari sisi sumber energi karena harga gas di Indonesia lebih mahal.
Pemerintah baru menurunkan harga gas pada awal April tahun ini, yaitu seharga 6 dollar AS per million metric british thermal unit (MMBTU). Industri keramik di Jawa bagian barat baru akan merasakan stimulus itu pada Agustus ini, sedangkan untuk Jawa bagian timur baru September nanti.
”Dengan harga gas yang lebih murah itu, Asaki optimistis dapat meningkatkan porsi ekspor, terutama ke pasar ASEAN dan Australia. Sementara ini di tengah pandemi Covid-19, kami terus mencari terobosan dan mencoba lebih agresif menggarap pasar ekspor,” katanya.
Direktur Eksekutif Indonesian Agency for Outbond Investment Development Guspiabri Sumowigeno berpendapat, instrumen kebijakan untuk mendukung kiprah investasi Indonesia di kawasan ASEAN sangat diperlukan pelaku industri nasional. Jangan sampai hanya menempatkan Indonesia sekedar menjadi tujuan investasi.
Di dalam traktat atau perjanjian MEA itu, Indonesia dan negara-negara ASEAN juga saling berharap bisa menjadi sumber investasi di wilayah ASEAN. Langkah ini ditujukan memandirikan ASEAN agar tidak tergantung investasi dari luar ASEAN.
”Keberadaan investasi Indonesia di luar negeri juga dapat menjadi peluang meningkatkan ekspor Indonesia,” kata Guspiabri.