TKDN Tak Lagi Diwajibkan, Pewaralaba Tetap Diminta Serap Produk UMKM
Kami memang sudah menghilangkan batasan persentase penggunaan produk dalam negeri, tapi penggunaan produk dalam negeri diharapkan tidak hanya terpaku pada persentase itu, tapi pemberdayaan UMKM itu sendiri.
Oleh
Agnes Theodora
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pelaku usaha waralaba diminta meningkatkan porsi penyerapan produk dalam negeri dari usaha mikro, kecil, dan menengah. Langkah ini diharapkan bisa membantu menggerakkan roda perekonomian yang bertumpu pada sektor UMKM.
Sebelumnya, pemerintah sebenarnya sudah melonggarkan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 71 Tahun 2019 tentang Waralaba dengan menghapus persentase kewajiban penggunaan tingkat komponen dalam negeri (TKDN) dan batasan kontrak waralaba (master franchise) bagi pewaralaba asing untuk memberikan kemudahan bagi pelaku usaha. Dari yang sebelumnya wajib 80 persen, kini tidak diatur lagi dan hanya dinyatakan wajib.
Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri Kementerian Perdagangan Syailendra mengatakan, pemerintah memang telanjur sudah menghilangkan batasan persentase penggunaan produk dalam negeri oleh bisnis waralaba. Namun, di tengah situasi pandemi ini, jika ingin menggerakkan lagi roda perekonomian, penyerapan produk UMKM sebagai bahan baku usaha harus ditingkatkan.
”Kami memang sudah menghilangkan batasan persentase penggunaan produk dalam negeri. Namun, penggunaan produk dalam negeri diharapkan tidak hanya terpaku pada persentase produk yang dipakai, tetapi juga pemberdayaan UMKM itu sendiri,” ujarnya, Jumat (28/8/2020), dalam acara konferensi virtual bisnis waralaba dan lisensi di Jakarta.
Kami memang sudah menghilangkan batasan persentase penggunaan produk dalam negeri. Namun, penggunaan produk dalam negeri diharapkan tidak hanya terpaku pada persentase produk yang dipakai, tetapi juga pemberdayaan UMKM itu sendiri. (Syailendra)
Menurut Syailendra, untuk mendorong kualitas produk UMKM agar memenuhi standar bisnis waralaba, UMKM perlu dibina. Selain produknya diserap untuk bahan baku, bisnis UMKM sendiri dapat dikembangkan, diberi merek baru, dan dibina agar menjadi produk-produk yang bisa diwaralabakan atau dilisensikan.
”Pemerintah akan memberikan dukungan terhadap rantai distribusi, tetapi kami juga minta dukungan dari pelaku usaha waralaba dan pemilik lisensi di dalam negeri untuk menyerap produk UMKM,” katanya.
Berdasarkan data Sensus Ekonomi Badan Pusat Statistik tahun 2016, jumlah pelaku usaha waralaba adalah 0,3 persen atau 81.441 orang dari 26,71 juta pelaku usaha yang terdaftar dalam sensus UMKM. Bisnis waralaba yang paling banyak menyerap tenaga kerja terdapat di Jawa Barat (128.662 orang), Jawa Tengah (108.348 orang), dan DKI Jakarta (96.494 orang).
Syailendra mengatakan, ke depan, potensi bisnis waralaba semakin berkembang. Warabala dalam negeri tumbuh cukup menggembirakan dan bisa bersaing dengan waralaba dari luar negeri.
”Di tengah kondisi sekarang, meski kita tidak menolak waralaba luar negeri, ekonomi harus dipulihkan berdasarkan basis dari kekuatan kita sendiri,” ujarnya.
Ia tidak menutup kemungkinan beberapa peraturan selaku payung hukum bisa direvisi mengikuti dinamika perkembangan pandemi. ”Peraturan bukan kitab suci yang tidak bisa kita ubah. Kita harus dinamis mengikuti perkembangan situasi,” kata Syailendra.
Pasar mancanegara
Ketua Asosiasi Franchise Indonesia (AFI) Anang Sukandar menuturkan, Indonesia selama ini menjadi pasar incaran waralaba luar negeri karena jumlah penduduknya yang besar. Ke depan, Indonesia harus mengubah posisi tidak sekadar menjadi incaran pasar, tetapi juga menjadi pelaku usaha.
Potensi ini terutama ada di sektor kuliner atau makanan-minuman karena kekhasan bumbu masakan Indonesia yang sulit ditiru negara lain. Ia mencontohkan, menu tahu telur khas Jawa Timur yang dijual oleh waralaba asing dengan menggunakan selai kacang kemasan dan ditambah bumbu kecap sebagai bahan dasar tidak akan bisa menyaingi kekhasan bumbu tahu telur orisinal.
Indonesia selama ini menjadi pasar incaran waralaba luar negeri karena jumlah penduduknya yang besar. Ke depan, Indonesia harus mengubah posisi tidak sekadar menjadi incaran pasar, tetapi juga menjadi pelaku usaha. (Anang Sukandar)
Namun, lanjut Anang, bisnis waralaba asing selama ini lebih diberi kemudahan untuk masuk dan memanfaatkan pasar Indonesia dibandingkan dengan memberdayakan waralaba lokal untuk menembus pasar mancanegara.
”Justru merek luar negeri yang masuk ke sini untuk menjual masakan Indonesia dan mengambil pasar kuliner dalam negeri. Tetapi, begitu pelaku usaha kita yang mau ke luar negeri dipersulit,” katanya.
Menurut Anang, pemerintah perlu memberikan dukungan dan pemberdayaan agar pengusaha waralaba dari dalam negeri tertarik menembus pasar mancanegara. Sebab, kendala yang muncul juga kerap datang dari pelaku warabala dalam negeri yang belum menunjukkan ketertarikan untuk merambah pasar luar negeri.
Dalam beberapa upaya penjajakan kerja sama, tidak banyak pelaku bisnis waralaba dalam negeri yang mau berekspansi ke luar negeri meski banyak dari waralaba luar negeri yang ingin masuk ke pasar Indonesia. ”Jadi, mungkin perlu diberi umpan juga untuk mau go abroad,” ujar Anang.