Insentif bagi dunia usaha hendaknya disinkronkan dengan kebutuhan untuk menjaga kondisi perekonomian.
Oleh
KARINA ISNA IRAWAN
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Dunia usaha memerlukan insentif yang berdampak langsung terhadap pengurangan biaya operasional. Oleh karena itu, insentif yang diberikan pada masa pandemi Covid-19 sebaiknya mempertimbangkan struktur biaya perusahaan.
Pemerintah berencana menerbitkan sejumlah stimulus baru bagi dunia usaha, antara lain penundaan iuran BPJS Ketenagakerjaan serta pembebasan biaya beban atau abonemen listrik bagi pelanggan sosial, bisnis, dan industri. Tahun ini, alokasi anggaran insentif bagi dunia usaha Rp 120,61 triliun.
Ekonom bidang industri, perdagangan, dan investasi Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Ahmad Heri Firdaus, berpendapat, pemberian insentif mesti melihat struktur biaya dunia usaha. Jika tidak, insentif akan sia-sia karena tidak dimanfaatkan pengusaha.
”Setiap sektor memiliki ’penyakit’ yang berbeda sehingga obatnya harus berbeda. Namun, yang dibutuhkan saat ini arahnya ke pengurangan biaya operasional,” ujar Heri yang dihubungi, Minggu (23/8/2020).
Dilihat dari struktur biaya, pengeluaran terbesar dunia usaha adalah konsumsi energi dan tenaga kerja. Stimulus pemerintah mesti diarahkan untuk meringankan pengeluaran dunia usaha di kedua aspek tersebut. Keringanan beban biaya operasional setidaknya membuat perusahaan dapat bertahan di tengah pandemi.
Setiap sektor memiliki ’penyakit’ yang berbeda sehingga obatnya harus berbeda.
Pemerintah memetakan dampak negatif dan positif sektor-sektor yang terkena dampak Covid-19, termasuk potensi pembiayaan perbankan. Pemetaan itu seharusnya jadi landasan untuk menghitung skema insentif bagi dunia usaha.
”Yang terjadi saat ini, pengusaha mengeluhkan masalah apa, tetapi pemerintah memberikan solusi apa. Tidak sinkron,” kata Heri.
Menurut Heri, pemberian insentif berupa pengurangan pajak, terutama Pajak Penghasilan (PPh), belum efektif saat ini. Banyak perusahaan tidak meraup penghasilan sehingga tidak memanfaatkan insentif. Insentif berupa pembebasan biaya beban listrik dan penundaan iuran BPJS Ketenagakerjaan dinilai lebih diperlukan.
Akhir pekan lalu, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati saat membuka Kongres II Asosiasi Media Siber Indonesia secara dalam jaringan menyampaikan, pemerintah menyiapkan insentif baru berupa penundaan iuran BPJS Ketenagakerjaan. Payung hukum penundaan iuran BPJS Ketenagakerjaan berupa peraturan pemerintah yang kini sedang disusun.
”Penundaan iuran sampai Desember 2020 sehingga bisa meringkankan beban perusahaan,” kata Sri Mulyani.
Selain BPJS Ketenagakerjaan, pemerintah juga menerima masukan dari pengusaha terkait penundaan iuran BPJS Kesehatan. Namun, usulan penundaan iuran BPJS Kesehatan tidak diakomodasi.
Sri Mulyani menekankan, pemerintah berupaya mengakomodasi seluruh kebutuhan dunia usaha. Sejumlah insentif sudah diberikan untuk meringankan beban dan melancarkan arus kas perusahaan, di antaranya penghapusan biaya minimum penggunaan listrik dan pembebasan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) kertas.
Pemerintah berupaya mengakomodasi seluruh kebutuhan dunia usaha.
Usulan pengusaha
Dihubungi terpisah, Minggu, Wakil Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Shinta Widjaja Kamdani menuturkan, penundaan iuran BPJS Ketenagakerjaan atas usulan pengusaha. Usulan itu sudah diajukan sejak lama, tetapi baru akan direalisasikan pemerintah.
Menurut dia, banyak perusahaan yang terbantu dengan penundaan iuran ini.
Selama ini, biaya operasional perusahaan tertinggi untuk energi dan tenaga kerja. Penundaan iuran BPJS Ketenagakerjaan akan berdampak signifikan bagi perusahaan padat karya karena dapat mengalihkan sebagian biaya untuk modal transformasi perusahaan.
”Banyak perusahaan melakukan efisiensi biaya untuk diahlihkan ke komponen teknologi informasi. Paling tidak, mereka harus mengubah strategi pemasaran menjadi berbasis digital,” kata Shinta.
Ia menambahkan, pemerintah sebaiknya tidak menetapkan tenggat penundaan iuran sampai akhir tahun. Dampak Covid-19 terhadap setiap sektor usaha berbeda sehingga perlu intervensi khusus. Beberapa insentif, termasuk penundaan iuran BPJS Ketenagakerjaan, untuk sektor paling terdampak Covid-19 perlu diperpanjang.
Pemerintah juga diharapkan mengubah regulasi terkait dana jaminan hari tua di BPJS Ketengakerjaan. Korban pemutusan hubungan kerja sebaiknya dapat segera mencairkan jaminan hari tua, tidak perlu menunggu 10 tahun masa kerja.