Indonesia disebut memiliki ketahanan energi yang baik saat ini. Skala ketahanan energi masih dapat ditingkatkan dengan mempercepat aplikasi energi baru dan terbarukan.
Oleh
ERIKA KURNIA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Indonesia disebut memiliki ketahanan energi yang baik, antara lain karena didukung sumber energi fosil yang masih banyak tersedia. Skala ketahanan energi masih dapat ditingkatkan dengan mempercepat aplikasi energi baru dan terbarukan.
Sekretaris Jenderal Dewan Energi Nasional (DEN) Djoko Siswanto, dalam acara Market Review IDX Channel bertajuk ”Menguji Ketahanan Energi Indonesia Saat Pandemi”, Rabu (29/7/2020), mengatakan, skala ketahanan energi Indonesia adalah ”tahan” atau berada di tingkat kondisi yang baik dengan skor 6,44.
Pengukuran yang dilakukan dengan metode Analytical Hierarchy Process (AHP) dinilai berdasarkan empat aspek utama, yaitu ketersediaan, aksesibilitas, jangkauan, dan penerimaan. Jenis energi yang digunakan publik, infrastruktur, tingkat pemanfaatan energi, dan lingkungan hidup juga jadi bahan pertimbangan.
”Batubara untuk listrik, ketersediaannya masih sampai 60 tahun ke depan, belum lagi kalau ada eksplorasi baru. Energi baru dan terbarukan (EBT) dari matahari tersedia sepanjang masa, demikian juga dengan geotermal, angin, air, nabati minyak sawit. Kita bahkan masih bisa ekspor solar dan avtur,” katanya.
Menurut dia, Indonesia sangat mungkin menyentuh nilai maksimal dalam skala ”tahan” dengan nilai 7,99, bahkan ke skala ”sangat tahan” dengan nilai 8-10. Menurut catatannya, nilai ketahanan energi Indonesia terus meningkat dari 6,38 tahun 2016 menjadi 6,40 tahun 2017 dan 6,44 pada 2018.
Ketahanan maksimal energi di Indonesia bisa dicapai dengan meningkatkan bauran EBT. Berdasarkan Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) pertumbuhan pembangkit EBT pada 2025, pemerintah melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) serta perusahaan listrik PT PLN Persero menargetkan pemanfaatan EBT sampai 23 persen.
Saat ini, sumber EBT baru menyumbang 12 persen total kebutuhan listrik. Adapun 88 persen masih disumbang energi tidak terbarukan, seperti batubara, gas, dan minyak bumi. Sejauh ini, mayoritas EBT di Indonesia diadopsi untuk pembangkit listrik tenaga air (PLTA) dan pembangkit listrik tenaga panas bumi (PLTPb).
Sementara itu, Djoko optimistis bauran EBT dalam lima tahun ke depan mencapai target. Optimisme tersebut didukung penerapan bahan bakar berbahan minyak kelapa sawit atau biodiesel 30 persen (B30). Program B100, bahkan, juga sudah diuji coba. Penggunaan bahan bakar nabati juga mulai diaplikasikan pada avtur.
”Pemerintah juga punya program untuk meningkatkan penerangan di daerah 3T (terdepan, terpencil, dan tertinggal) dengan memasang lampu jalan dan rumah yang bersumber sel surya, dengan anggaran APBN,” ucapnya.
Program yang, menurut rencana, ditujukan pada 500.000 rumah tangga miskin yang menerima subsidi tersebut diharapkan tidak hanya meningkatkan elektrifikasi, tetapi juga bauran EBT yang berimplikasi pada peningkatan ketahanan energi.
Mamit Setiawan, Direktur Eksekutif Energy Watch, pada kesempatan yang sama menilai, upaya meningkatkan bauran EBT masih memiliki banyak tantangan. Salah satu tantangannya adalah masih tingginya penggunaan energi berbasis batubara, yakni mencapai 90 persen.
Percepatan penggunaan EBT, menurut dia, perlu mendapat komitmen kuat dari pemerintah, termasuk perusahaan penyedia energi, seperti PT Pertamina.
”EBT jangan jadi anak tiri. Negara-negara di luar sudah banyak yang shifting ke sana. Di Belgia, misalnya, ada Statoil yang perannya bukan cuma sebagai end housing, tetapi juga perusahaan energi yang sudah memproduksi energi terbarukan,” katanya.
Penguatan komitmen pemerintah dan pemangku kebijakan perlu dijamin kepastian hukum, antara lain dengan memperbaiki Undang-Undang Minerba. Hukum dan kebijakan yang dibuat diharapkan memperbaiki biaya investasi EBT agar menarik investor.
”Pengusaha pasti akan berhitung kapan mencapai BEP (titik impas) karena ini dasar mereka beinvestasi dan melakukan pengembangan. Kalau enggak ekonomis, pasti mereka akan berpikir ulang. Makanya, perlu ada insentif,” katanya.
Insentif, menurut dia, juga tidak hanya diperlukan investor, tetapi juga untuk menarik masyarakat agar mau memanfaatkan EBT. Saat ini, biaya pengadaan EBT masih terbilang tinggi karena belum banyak digunakan.
”Kita mungkin perlu panggil tenaga ahli kita di luar negeri agar bisa membuat EBT lebih murah. Kita punya banyak potensi lain yang bisa digarap agar kita tidak ketergantungan dengan energi fosil,” pungkasnya.