Program Rasio Elektrifikasi Bisa Dipadukan dengan Pemulihan Ekonomi Nasional
Program pemulihan ekonomi akibat pandemi Covid-19 bisa dilakukan lewat peningkatan rasio elektrifikasi di ratusan desa di Indoneia yang sama sekali belum berlistrik. Begitu pula lewat program padat karya tunai desa.
Oleh
ARIS PRASETYO
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Program peningkatan rasio elektrifikasi oleh pemerintah bisa dipadukan dengan program pemulihan ekonomi nasional akibat pandemi Covid-19. Caranya, dengan mengalirkan listrik ke wilayah terpencil melalui pembangkit listrik tenaga surya atau PLTS atap yang sekaligus dapat mengurangi beban subsidi listrik.
Saat ini, masih ada 433 desa atau hampir 50.000 rumah tangga di Indonesia yang sama sekali belum menikmati listrik.
Rasio elektrifikasi adalah perbandingan jumlah penduduk yang mengakses listrik dengan jumlah populasi di suatu wilayah tertentu. Berdasarkan data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, rasio elektrifikasi per April 2020 adalah 98,93 persen. Pemerintah menargetkan rasio elektrifikasi tahun ini 99,99 persen.
Menurut Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa, program peningkatan rasio elektrifikasi bukan hanya soal penyediaan energi listrik, melainkan harus sekaligus bisa menjawab persoalan kemiskinan, keberlanjutan lingkungan, dan tepat sasaran. Program rasio elektrifikasi harus memiliki sifat yang bisa memulihkan kondisi ekonomi yang terpuruk akibat pandemi Covid-19. Ia mengusulkan, anggaran subsidi listrik dialokasikan untuk pemasangan PLTS atap.
”Dengan pemasangan PLTS atap berkapasitas minimal 1.000 watt pada 500.000 rumah tangga miskin yang menerima subsidi listrik, secara otomatis anggaran subsidi bisa berkurang dalam jangka panjang. Sebab, sumber energi primer PLTS tak perlu dibeli,” kata Fabby dalam webinar bertajuk ”Mendorong Penyediaan Akses Energi Berkelanjutan dan Berkualitas di Indonesia”, Selasa (28/7/2020).
Dengan pemasangan PLTS atap berkapasitas minimal 1.000 watt pada 500.000 rumah tangga miskin yang menerima subsidi listrik, secara otomatis anggaran subsidi bisa berkurang dalam jangka panjang.
Fabby menambahkan, contoh lain penyediaan akses terhadap energi yang berkelanjutan adalah program pemasangan biogas di tingkat rumah tangga atau sektor usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM). Pemanfaatan biogas bisa mengurangi penggunaan elpiji yang notabene harganya masih disubsidi. Biogas adalah bahan bakar gas hasil pemrosesan kotoran ternak.
Menurut Kepala Subdirektorat Pengembangan Listrik Perdesaan pada Kementerian ESDM Budianto Hari Purnomo, tahun ini ada 4.191 desa yang akan diperkuat pasokan listriknya. Dari jumlah tersebut, 433 desa sama sekali belum menikmati listrik, di antaranya di Papua dan Papua Barat.
”Program yang kami jalankan adalah dengan pemasangan lampu tenaga surya hemat energi (LTSHE) dan dengan pembagian tabung listrik,” ujar Budianto.
LTSHE adalah lampu yang daya listriknya dapat diisi ulang dengan panel surya. Adapun tabung listrik adalah suatu perangkat penyimpan daya listrik yang mampu menyimpan tenaga listrik hingga 500 watt. Tabung listrik bisa untuk menyalakan lampu bohlam maupun untuk mengisi daya baterai telepon seluler.
Pemerintah mengakui, upaya meningkatkan rasio elektrifikasi di Indonesia bukanlah hal mudah. Penyebabnya, kondisi geografis yang berat, seperti wilayah terpencil dengan akses dan medan yang sulit, serta anggaran yang terbatas. Salah satu strategi pemerintah dalam program meningkatkan rasio elektrifikasi adalah menggandeng badan usaha swasta.
Jumlah pekerja yang terserap dalam program PKTD sejauh ini sebanyak 840.715 orang. Pekerja tersebut datang dari anggota keluarga miskin, pengangguran, setengah pengangguran, dan dari kelompok marjinal.
Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi Abdul Halim Iskandar dalam telekonferensi pers, Selasa (28/7/2020), menyatakan, salah satu upaya merespons pandemi Covid-19 di perdesaan adalah menggalakkan program padat karya tunai desa (PKTD) yang mempekerjakan anggota keluarga miskin ataupun pengangguran. Selain itu, pemerintah menerbitkan kebijakan penyaluran bantuan langsung tunai (BLT) yang dialokasikan dari dana desa.
”Sampai dengan 27 Juli 2020, anggaran untuk program PKTD mencapai hampir Rp 2,8 triliun yang terdiri dari anggaran untuk upah sebesar Rp 752 miliar dan anggaran nonupah sebesar Rp 2 triliun,” ujar Abdul Halim.
Abdul Halim menambahkan, jumlah pekerja yang terserap dalam program PKTD sebanyak 840.715 orang. Pekerja tersebut datang dari anggota keluarga miskin, pengangguran, setengah pengangguran, dan dari kelompok marjinal. Adapun dana desa yang sudah digunakan untuk penyaluran BLT mencapai Rp 4,7 triliun bagi 7,8 juta keluarga penerima manfaat.