Jadi Pemain Global Bidang Energi, Peran Pertamina Perlu Diperkuat
Lini bisnis Pertamina tak cukup di sektor minyak dan gas bumi saja. Pertamina perlu didorong menjadi perusahaan energi global yang harus terjun di sektor energi terbarukan. Perlu dukungan regulasi.
Oleh
ARIS PRASETYO
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Peran PT Pertamina (Persero) perlu diperkuat sebagai BUMN penyedia energi di Indonesia. Lini bisnisnya juga mesti ditambah, tak melulu menangani minyak dan gas bumi, tetapi sekaligus memperbesar lini bisnis di sektor energi terbarukan.
Di bisnis energi, pengembangan sektor energi terbarukan mulai dilakukan sejumlah perusahaan minyak kelas dunia.
Tantangan yang dihadapi Pertamina di antaranya perkembangan teknologi kendaraan listrik, konsumsi minyak yang bakal berkurang seiring penggunaan energi terbarukan yang kian pesat, dan harga minyak mentah yang fluktuatif. Di samping itu, Pertamina mendapat penugasan dari pemerintah untuk mewujudkan ketahanan energi Indonesia.
Pertamina sudah merespons dengan menata ulang organisasi lewat pembentukan subholding (sub-induk usaha).
Penasihat Ahli Kepala Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) Satya Widya Yudha menyatakan, dengan visi menjadi perusahaan migas kelas dunia, Pertamina harus didorong agar benar-benar mampu menjadi pemain global di bidang energi. Di dalam negeri, Pertamina sudah sangat dominan untuk sektor migas. Pertamina perlu mengembangkan perannya di sektor energi terbarukan.
Pertamina harus didorong agar menjadi perusahaan yang kompetitif di sektor energi terbarukan di dalam negeri.
”Saat ini sedang ada pembahasan rancangan undang-undang tentang energi baru dan terbarukan di DPR. Nah, sebaiknya peran BUMN, khususnya Pertamina, dapat diperkuat lewat rancangan tersebut. Pertamina harus didorong agar menjadi perusahaan yang kompetitif di sektor energi terbarukan di dalam negeri,” ujar Satya, saat dihubungi di Jakarta, Senin (27/7/2020).
Pengembangan energi terbarukan dilakukan salah satu anak usaha Pertamina di bidang pengeboran panas bumi, yakni PT Pertamina Geothermal Energy (PGE). Perusahaan ini mengelola 14 wilayah kerja panas bumi di seluruh Indonesia dengan kapasitas terpasang 1.877 megawatt. Pertamina juga tengah mengembangkan baterai untuk kendaraan dengan menggandeng beberapa perguruan tinggi.
Dukungan regulasi
Direktur Eksekutif ReforMiner Institute Komaidi Notonegoro menambahkan, untuk mendorong Pertamina menjadi perusahaan energi, pengaturannya tak cukup lewat undang-undang (UU) tentang minyak dan gas bumi semata. Sebab, UU tersebut hanya fokus pada aspek bisnis yang memperlakukan Pertamina sebagaimana badan usaha pada umumnya. Pertamina memerlukan dukungan regulasi untuk pengembangan energi terbarukan di Indonesia.
”Cakupan wilayah usaha Pertamina harus diperluas jika menginginkan menjadi perusahaan energi global. Tak cukup di sektor migas,” ujar Komaidi.
Selain itu, dari sisi finansial, imbuh Komaidi, harus dipisahkan antara kerugian bisnis dan kerugian keuangan negara. Apabila kerugian bisnis Pertamina selaku BUMN dianggap sebagai kerugian negara yang berujung pada masalah hukum, hal itu akan membatasi gerak investasi Pertamina. Ia mencontohkan kasus hukum yang menimpa mantan Direktur Utama Pertamina terkait akuisisi sebuah perusahaan migas.
Pertamina membutuhkan investasi 133 miliar dollar AS hingga enam tahun ke depan untuk sejumlah pembiayaan proyek-proyek raksasa.
Pada 2019, Pertamina masuk dalam daftar Global Fortune 500 di peringkat 175. Global Fortune 500 adalah pemeringkatan perusahaan dengan indikator pendapatan, laba bersih, nilai kapitalisasi pasar, hingga jumlah karyawan. Hingga 2024, Pertamina menargetkan masuk dalam peringkat 100 besar Global Fortune 500 dengan nilai kapitalisasi pasar 100 miliar dollar AS.
Dalam webinar, Minggu (26/7/2020), Direktur Utama Pertamina Nicke Widyawati menyatakan, Pertamina membutuhkan investasi 133 miliar dollar AS hingga enam tahun mendatang untuk sejumlah pembiayaan proyek-proyek raksasa. Proyek tersebut di antaranya pembangunan kilang baru, peningkatan kapasitas kilang yang ada, pembiayaan proyek bioenergi, dan pembangunan sejumlah infrastruktur gas. Proyek lain yang juga butuh biaya besar adalah proyek gasifikasi batubara untuk dijadikan metanol dan dimetil eter (DME).
”Kemampuan kas perusahaan hanya cukup mendanai 47 persen dari total investasi yang dibutuhkan. Salah satu cara untuk menggalang dana adalah dengan melakukan penawaran saham perdana (IPO) pada anak usaha,” kata Nicke.
Nicke menambahkan, perubahan signifikan pada industri migas dunia membuat Pertamina melakukan perubahan struktur organisasi. Sebagai perusahaan induk, Pertamina membentuk enam perusahaan sub-induk usaha di bidang hulu migas, infrastruktur kilang, bisnis komersial, energi terbarukan, infrastruktur gas bumi, dan pelayaran (shipping). Tiap-tiap sub-induk usaha tersebut membawahkan sejumlah anak usaha.
”Perubahan di kancah global, seperti energi terbarukan yang tumbuh pesat, meningkatnya kebutuhan produk petrokimia, dan rencana jangka panjang pengembangan bioenergi di Indonesia, maka perlu restrukturisasi di dalam organisasi Pertamina. Restrukturisasi ini akan membuat organisasi Pertamina kian ramping dan lebih lincah merespons perubahan global,” ujar Nicke.