Selain problem data, regulasi dianggap dinilai turut menyulitkan pelaku sektor informal di tengah pandemi Covid-19. Selain menggeser struktur lapangan kerja ke informal, pandemi menyurutkan ruang di sektor formal.
Oleh
Agnes Theodora
·2 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sebagai salah satu pihak yang paling terdampak pandemi Covid-19, pelaku sektor informal dinilai masih sering kali luput dari perhatian pemerintah. Selain problem data, regulasi dianggap turut menyulitkan pelaku sektor informal.
Sektor informal masih mendominasi struktur ketenagakerjaan di Indonesia. Badan Pusat Statistik mencatat, per Februari 2020, jumlah pekerja informal di Indonesia mencapai 56,5 persen atau 70,04 juta orang. Gambaran ini sejalan dengan kondisi global. Data Organisasi Buruh Internasional (ILO), 62 persen dari pekerja di seluruh dunia atau 2 miliar orang bergerak di sektor informal.
ILO memperkirakan, akibat pandemi Covid-19, jumlah pekerja informal akan menjadi lebih banyak. Pandemi diproyeksikan menggeser struktur ketenagakerjaan jangka panjang dari sektor formal ke sektor informal. Hal itu karena banyaknya kasus pemutusan hubungan kerja serta semakin sedikitnya lowongan kerja di sektor formal.
Pengajar di Fakultas Ekonomi Universitas Parahyangan, Indrasari Tjandraningsih, Jumat (24/7/2020), berpendapat, lepas dari kontribusi sektor informal dalam menggerakkan ekonomi, perhatian pada sektor ini masih minim. Kendala utama dalam upaya memberdayakan sektor informal, termasuk usaha mikro dan kecil, adalah konsolidasi data nasional.
Problem data membuat penyaluran beberapa program bantuan sosial, seperti pelatihan dan insentif Kartu Prakerja, belum bisa menyentuh para pelaku sektor informal secara luas dan merata.
Berdasarkan hasil penyisiran Manajemen Pelaksana Kartu Prakerja, sejak program semibantuan sosial itu dibuka pada April 2020, baru 1 persen pelaku usaha mikro dan kecil yang jadi peserta atau 7.396 orang dari total 680.918 peserta program.
Data Kementerian Ketenagakerjaan terkait pekerja yang terdampak pandemi Covid-19 pun dinilai gagal menangkap kondisi pekerja informal secara keseluruhan. Dari total 3,06 juta pekerja terdampak, hanya 10,4 persen pekerja informal yang terdata.
Dalam berbagai kesempatan, pemerintah kerap mengeluhkan buruknya pendataan bagi pelaku sektor informal sehingga beberapa program sulit terealisasi. Salah satu penyebab sulitnya pendataan adalah karena pekerja informal umumnya bergerak pada jenis pekerjaan serabutan yang bergantung pada pemasukan harian, seperti pedagang kaki lima, pedagang asongan, penarik becak, dan kuli bangunan.
Korban regulasi
Selain tak tersentuh bantuan karena problem data, pekerja sektor informal menjadi korban regulasi pasar tenaga kerja. Menurut anggota Divisi Riset dan Edukasi Serikat Pekerja Media dan Industri Kreatif untuk Demokrasi, Fathimah Fildzah Izzati, masalah itu semakin menjadi-jadi dengan pasal-pasal di Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Kerja.
Dalam RUU sapu jagat itu, tren hubungan industrial menjadi lebih fleksibel dengan longgarnya pengaturan penggunaan tenaga kerja alih daya (outsourcing) dan pekerja kontrak atau pekerja dengan waktu tertentu (PKWT). Seiring dengan mekanisme pemutusan hubungan kerja (PHK) yang dipermudah, definisi pekerja alih daya dan PKWT diperluas dengan batas waktu hubungan kerja yang fleksibel. ”Ini membuat pekerja informal semakin rentan tanpa perlindungan,” katanya.
Pekerja sektor informal memerlukan perlindungan dan posisi yang lebih pasti dalam hubungan industrial. Namun, hal itu tidak berarti pekerja sektor informal perlu diformalisasi. ”Banyak orang yang memilih jadi pekerja lepas karena fleksibel waktu dan tempat kerjanya. Dalam konteks ini, formalisasi kerja tidak dibutuhkan, tetapi perlindungan dan jaminan sosial yang sama dengan pekerja formal diperlukan,” kata Fathimah.