Presiden Jokowi Minta Bantuan Auditor dan Penegak Hukum
Presiden Jokowi meminta bantuan auditor dan penegak hukum agar penanganan krisis akibat pandemi Covid-19 berjalan baik tanpa ada masalah di kemudian hari. Anggaran harus dikelola secara baik, transparan, dan akuntabel.
Oleh
FX LAKSANA AS
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kecepatan dan ketepatan eksekusi program pemerintah menjadi faktor krusial di tengah krisis akibat pandemi Covid-19. Untuk itu, Presiden Joko Widodo meminta auditor internal pemerintah untuk mengintensifkan pendampingan dan meminta aparat penegak hukum untuk mengedepankan pencegahan.
Dalam acara penyampaian Laporan Hasil Pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) atas Laporan Keuangan Pemerintah Pusat 2019 di Istana Negara, Jakarta, Senin (20/7/2020), Presiden Joko Widodo mengatakan pemerintah dan BPK memiliki komitmen yang sama dalam hal keuangan negara.
”Pertama, setiap rupiah uang rakyat dalam APBN harus digunakan secara bertanggung jawab, harus dikelola dengan transparan, dikelola sebaik-baiknya, serta sebesar-besarnya digunakan untuk kepentingan rakyat,” kata Presiden.
Komitmen kedua, Presiden melanjutkan, tata kelola dan manajemen pengelolaan anggaran harus baik. Program harus dijalankan dengan prosedur yang sederhana dan ringkas melalui proses yang cepat dengan manfaat yang maksimal untuk rakyat. Sasarannya harus tepat.
”Kecepatan itu sangat penting, apalagi di era krisis kesehatan dan krisis perekonomian sekarang. Percuma kita memiliki anggaran, tetapi anggaran tersebut tidak bisa secara cepat dibelanjakan untuk rakyat. Padahal, rakyat menunggu. Padahal, rakyat membutuhkan pada saat perekonomian juga sangat membutuhkan,” tutur Presiden.
Kecepatan itu sangat penting, apalagi di era krisis kesehatan dan krisis perekonomian sekarang. Percuma kita memiliki anggaran, tetapi anggaran tersebut tidak bisa secara cepat dibelanjakan untuk rakyat.
Oleh karena itu, Presiden Jokowi menekankan perlu langkah cepat, tepat, efisien, dan akuntabel. Apalagi di saat pemerintah harus banyak melakukan terobosan untuk kepentingan rakyat dan bangsa di tengah krisis kesehatan dan krisis perekonomian akibat Covid-19.
Untuk percepatan penanganan Covid-19, pemerintah telah mengalokasikan anggaran Rp 695,2 triliun. Sejalan dengan itu, Presiden Jokowi mengajak seluruh kementerian dan lembaga berani menjalankan program secara cepat, tepat, dan akuntabel.
”Saya mengharapkan dukungan dan bantuan dari BPK agar penanganan krisis ini berjalan baik tanpa ada masalah di kemudian hari. Saya juga telah perintahkan seluruh Aparat Pengawasan Intern Pemerintah, BPKP, LKPP, harus mampu menjadi bagian dari solusi percepatan,” kata Presiden Jokowi.
Sementara itu, kepada aparat penegak hukum, seperti kejaksaan, kepolisian, dan juga Komisi Pemberantasan Korupsi, Presiden Jokowi meminta agar aspek pencegahan lebih dikedepankan. Hal itu dilakukan dengan memperkuat tata kelola yang baik, transparan, dan akuntabel.
Ketua BPK Agung Firman Sampurna dalam sambutannya pada penyampaian Laporan Hasil Pemeriksaan BPK mengatakan, BPK memberikan opini wajar tanpa pengecualian (WTP) atas Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) Tahun 2019. Namun, hal ini tidak berarti LKPP bebas dari masalah.
Menurut dia, BPK mengidentifikasi 31 masalah yang berkaitan dengan sistem pengendalian internal dan kepatuhan terhadap ketentuan perundang-undangan, di antaranya kelemahan dalam penatausahaan piutang perpajakan pada Direktorat Jenderal Pajak.
BPK juga menemukan permasalahan pada penyaluran dana peremajaan perkebunan kelapa sawit (PPKS) periode 2016-2019 pada Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit. Kementerian Keuangan belum sepenuhnya dapat menjamin penggunaannya sesuai tujuan yang ditetapkan karena identitas pekebun penerima dana PPKS belum seluruhnya valid dan adanya dana PPKS yang belum dipertanggungjawabkan.
Ada pula masalah pada kewajiban pemerintah selaku pemegang saham pengendali PT Asabri (Persero) dan PT Asuransi Jiwasraya (Persero). BPK menilai kewajiban tersebut belum diukur atau diestimasi. Secara khusus, BPK mengangkat permasalahan pengungkapan kewajiban jangka panjang atas program pensiun pada LKPP Tahun 2019 sebesar Rp 2.876,76 triliun. BPK menilai hal itu belum didukung standar akuntansi.
Agung juga menggarisbawahi bahwa khusus untuk temuan program pensiun, masalah tersebut telah terjadi bertahun-tahun, bahkan berpuluh-puluh tahun. Menurut dia, temuan pemeriksaan tahun ini telah membuka jalan bagi perubahan besar-besaran, bahkan reformasi dalam pengelolaan dana pensiun.
”Reformasi pengelolaan dana pensiun selanjutnya merupakan bagian penting yang harus dilakukan untuk mengatasi persoalan yang terjadi pada Asuransi Jiwasraya dan Asabri,” kata Agung.