RUU Otoritas Jasa Keuangan adalah salah satu dari 16 RUU yang resmi ditarik DPR dari Prolegnas 2020.
Oleh
DIMAS WARADITYA NUGRAHA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Koridor hukum saat ini dinilai masih memadai sebagai acuan Otoritas Jasa Keuangan untuk mengatur dan mengawasi lembaga keuangan. Namun, OJK dinilai masih perlu meningkatkan peran pengawasan karena selama ini sejumlah indikasi pelanggaran terkesan tidak terdeteksi.
Managing Director Political Economy and Policy Studies Anthony Budiawan menilai Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sudah memadai untuk mengawasi sektor keuangan. Namun, penegakan hukum belum dilakukan dengan baik.
”Permasalahan OJK bukan semata-mata permasalahan perundang-undangan, melainkan soal kelemahan peran lembaga pengawasan sehingga terkesan tidak profesional,” ujarnya saat dihubungi Kompas, Senin (6/7/2020).
Pada Januari lalu, DPR resmi memasukkan revisi Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang OJK dalam daftar Program Legislasi Nasional (Prolegnas) rancangan undang-undang (RUU) prioritas pada 2020. Namun, akhirnya ditunda hingga Prolegnas 2021. Agenda ini dibuat karena DPR menilai masih banyak pengaturan di internal OJK yang harus dibenahi. Selain itu, pengawasan OJK terhadap perusahaan sektor jasa keuangan juga dinilai perlu ditingkatkan.
Pada awal Juli 2020, Badan Legislasi DPR justru memasukkan RUU atas perubahan UU tentang Bank Indonesia ke dalam Prolegnas 2020.
Menurut Anthony, penetapan OJK sebagai lembaga pengawas pada 2012 lalu untuk memastikan agar industri keuangan bekerja lebih fokus dan baik. Namun, dalam pelaksanaannya, peran OJK dinilai kurang maksimal. Kasus gagal bayar investasi yang cukup banyak terjadi ditengarai akibat peran OJK selaku lembaga pengawasan masih lemah.
Dalam aturan undang-undang saat ini, OJK berfungsi menyelenggarakan sistem pengaturan dan pengawasan yang terintegrasi terhadap keseluruhan kegiatan di sektor keuangan. Sebelumnya tugas pengawasan perbankan di tangan BI.
Peran OJK selaku pengawas lembaga keuangan nonbank sangat penting untuk memperketat pengawasan terhadap perusahaan asuransi dan reksa dana agar tidak melanggar aturan saat melakukan investasi.
Namun, lanjut Anthony, selama ini tindakan-tindakan investasi spekulatif terkesan tidak terdeteksi. ”Di pasar modal banyak saham gorengan yang harganya bisa naik dan turun tiba-tiba tanpa sentimen pendukung. Meski terindikasi ada permainan harga dan insider trading, tetap saja seolah ada pembiaran dari lembaga pengawas,” ujarnya.
Dalam Kasus Asuransi Jiwasraya contohnya, Kejaksaan Agung turut menetapkan Deputi Pengawasan Pasar Modal OJK Fakhri Hilmi sebagai tersangka bersama 10 perusahaan manajer investasi. Berdasarkan perhitungan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), kerugian negara akibat kasus Jiwasraya ditaksir Rp 16,8 triliun.
Deputi Komisioner Humas dan Logistik OJK Anto Prabowo menegaskan, saat ini OJK fokus menjalankan fungsi dan tugas lembaga, termasuk menangani dampak Covid-19 di Indonesia. ”Hal itu lebih penting dari berbagai hal dan harus diutamakan karena negara ini sedang membutuhkan biaya untuk penanganan Covid-19,” katanya.
Anto memastikan OJK bekerja sesuai amanat UU No 21/2011 dengan konsisten sehingga amanat UU akan tercapai.
OJK fokus menjalankan fungsi dan tugas lembaga, termasuk menangani dampak Covid-19 di Indonesia
Sementara itu, Direktur Riset Center of Reform on Economics (Core) Indonesia Piter Abdullah berpendapat, kinerja OJK dalam menanggapi kondisi pandemi Covid-19 sudah cukup baik. Hal ini bisa dilihat dari OJK yang mengambil kebijakan pelonggaran restrukturasi yang mampu menahan lonjakan kredit macet. ”Dalam situasi pelemahan aktivitas ekonomi akibat pandemi Covid-19, diperlukan konsentrasi yang tinggi disertai kekompakan para pemangku kebijakan,” ujarnya.
Terkait inisiatif DPR memasukkan perubahan UU No 23/1999 tentang BI dalam Porlegnas 2020, menurut Piter, memang banyak hal mendesak yang perlu direvisi dalam UU BI. ”Tetap saja menurut saya tidak ada urgensi untuk mengembalikan pengawasan bank ke BI,” ujarnya.