Penggunaan Kantong Plastik Sekali Pakai Masih Mudah Ditemui di Jakarta
Mulai 1 Juli 2020, Jakarta melarang penggunaan kantong plastik sekali pakai. Namun masih banyak pedagang pasar yang mengabaikan larangan penggunaan kantong plastik sekali pakai. Sosialisasinya pun dinilai kurang optimal.
Oleh
FAJAR RAMADHAN
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Peredaran kantong plastik sekali pakai masih mudah ditemui di sejumlah titik di DKI Jakarta. Hal ini ditengarai karena sosialiasi larangan penggunaan kantong plastik sekali pakai dinilai belum optimal, khususnya kepada para pedagang pasar.
Pada Rabu (1/7/2020), Pemerintah Provinsi DKI Jakarta resmi memberlakukan Peraturan Gubernur Nomor 142 Tahun 2019 tentang Kewajiban Penggunaan Kantong Belanja Ramah Lingkungan. Aturan ini berlaku untuk pusat perbelanjaan, toko swalayan, dan pasar rakyat.
Kamiyati (42), pedagang makanan ringan di Pasar Slipi, Jakarta Barat, mengaku sudah mendapatkan sosialisasi dari pengelola pasar untuk tidak menyediakan kantong plastik sekali pakai. Namun, pada Rabu siang, ia masih melayani pembeli menggunakan kantong plastik sekali pakai berwarna transparan.
”Sudah dapat pengumuman, makanya saya ganti pakai (plastik) yang bening. Kalau yang ini masih boleh karena tipis,” katanya.
Padahal, makanan ringan yang dijual oleh Kasmiyati semuanya sudah terbungkus kemasan plastik. Seharusnya, pembeli tidak memerlukan lagi kantong plastik sebagai wadahnya. Ia juga beranggapan, kantong plastik yang dilarang adalah kantong plastik tebal yang biasanya berwarna hitam atau merah.
Memang dalam Pergub Nomor 142 Tahun 2019 disebutkan bahwa pusat perbelanjaan, toko swalayan, dan pasar masih diperbolehkan menggunakan kantong kemasan plastik sekali pakai berupa kantong plastik transparan. Namun, kantong plastik ini hanya digunakan untuk mengemas bahan makanan yang belum dikemas plastik.
Sementara itu, Badrun (55), pedagang obat di Pasar Slipi, terang-terangan mengaku masih menyediakan kantong plastik untuk para pembelinya. Hal itu ia lakukan karena khawatir kiosnya dihindari para pembeli.
”Ya kalau mereka pada enggak mau datang ke sini bagaimana. Kuncinya, kan, sebenarnya pada pembeli. Kalau mereka enggak minta, kami enggak kasih,” katanya.
Ketua Umum Ikatan Pedagang Pasar Indonesia (Ikappi) Abdullah Mansuri menganggap masih banyak pedagang pasar yang belum memahami aturan ini. Sebab, sosialisasi yang diberikan oleh Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta ataupun pengelola pasar belum optimal.
”Banyak pedagang yang masih belum tahu. Cara sosialisasi di pasar tidak bisa hanya dengan surat edaran atau bahasa-bahasa yang sulit dimengerti,” katanya.
Banyak pedagang yang masih belum tahu. Cara sosialisasi di pasar tidak bisa hanya dengan surat edaran atau bahasa-bahasa yang sulit dimengerti
Selain itu, Abdullah juga menilai pandemi covid-19 membuat sosialisasi tersebut menjadi terhambat. Seperti diketahui, sosialisasi dan pembinaan kepada pedagang seharusnya dilakukan selama enam bulan, yakni pada Januari-Juni 2020.
”Aturan ini bagus diterapkan, tapi kalau bisa jangan ada paksaan atau ancaman. Mengingat sosialisasi yang belum optimal karena pandemi,” katanya.
Direktur Perumda Pasar Jaya Arief Nasrudin mengatakan, sosialisasi kepada pedagang pasar dan pengunjung tidak hanya dilakukan selama enam bulan terakhir, melainkan sejak pembahasan Pergub Nomor 142 Tahun 2019, dua tahun yang lalu. Sosialisasi dilakukan melalui kegiatan formal, kegiatan informal, serta media massa.
Misalnya, pada Desember 2018, sosialisasi dilakukan dengan cara membagikan kantong plastik ramah lingkungan kepada pengunjung di Pasar Kramat Jati, Jakarta Timur. Selain itu, forum diskusi terpumpun dengan para pakar juga pernah dilakukan di Pasar Kenari, Jakarta Pusat.
”Per hari ini, seluruh pimpinan baik manajer dan kepala pasar akan mengawasi pelarangan plastik sekali pakai ini,” katanya.
Tetap beri plastik
Pada Rabu siang, di salah satu gerai aksesori di pusat perbelanjaan Slipi Jaya, Jakarta Barat, tampak imbauan untuk tidak menggunakan kantong plastik sekali pakai di meja kasir. Di bawahnya juga terdapat catatan bahwa gerai tidak lagi menyediakan kantong plastik sekali pakai.
Meski demikian, petugas kasir tetap memberikan kantong plastik sekali pakai untuk membungkus sebuah bando yang sebenarnya bisa dimasukkan ke dalam tas. Apalagi, mereka juga menyediakan kantong belanja berbayar seharga Rp 6.000 untuk ukuran kecil dan Rp 10.000 untuk ukuran besar.
Meski demikian, beberapa tenant sudah melakukan praktik yang baik. Gerai minuman Chatime, misalnya, mulai Rabu ini tidak menyediakan kantong plastik sekali pakai. Sebagai gantinya, mereka menawarkan kantong belanja berbahan spundbond seharga Rp 10.000.
Namun, hal ini dikeluhkan Andi, pengemudi ojek daring yang melayani jasa antar makanan. Kini, ia terpaksa harus menyediakan kantong belanja sendiri jika mengambil pesanan. Hal ini untuk menghindari para pemesan yang keberatan membeli kantong belanja dari tenant.
”Jadi harus komunikasi dengan pemesan karena mau enggak mau mereka harus beli kantong belanjanya. Tapi, buat jaga-jaga biar enggak dibatalin pesanannya, ya, harus siap sendiri,” katanya.
Erna (37), pengunjung di Supermarket Giant, Slipi Jaya, mengaku mulai membawa kantong belanja sendiri sejak Rabu ini. Inisiatif itu ia lakukan setelah melihat pengumuman larangan tersebut pada minimarket di dekat rumahnya.
”Baru hari ini bawa sendiri. Sebelumnya enggak pernah bawa. Pasti minta kantong plastik sama penjaga kasirnya,” katanya.
Menurut Ketua Asosiasi Pengelola Pusat Belanja Indonesia (APPBI) DKI Jakarta Ellen Hidayat, sosialisasi kepada para penyewa untuk menyediakan kantong plastik ramah lingkungan sudah dilakukan secara gencar selama ini. Para pengunjung pusat perbelanjaan juga diingatkan melalui media promosi dan media sosial.
”Umumnya penyewa di pusat perbelanjaan menengah ke atas sudah menaati aturan. Tapi, para UKM yang ada di Trade Mall menganggap penyediaan kantong plastik ramah lingkungan menambah biaya penjualan,” katanya.
Namun, pandemi Covid-19 ini, lanjut Ellen, menimbulkan kebingungan di kalangan tenant di pusat perbelanjaan. Mereka bertanya-tanya apakah kantong plastik dari bahan singkong dan kentang higienis sebagai kemasan makanan.
Sebab, mereka kebingungan mencari bahan pengganti untuk membungkus makanan pesan antar yang lebih higienis. Di saat bersamaan, tuntutan dari masyarakat masih tinggi. ”Perlu arahan yang lebih jelas lagi dari Dinas LH DKI Jakarta tentang hal ini meskipun penggunaan plastik untuk makanan yang belum dikemas masih diperbolehkan,” katanya.
Ellen juga menilai sanksi pada Pergub Nomor 142 Tahun 2019 kurang tepat. Sebab, sanksi lebih berat dibebankan pada pengelola pusat perbelanjaan ketimbang pelaku usaha. Padahal, pengelola hanya menyewakan tempat dan tidak bersinggungan langsung dengan pemakaian kantong plastik.
Seperti diketahui, pengelola pusat perbelanjaan, toko swalayan, dan pasar yang tidak mengindahkan aturan ini akan dikenai sanksi berupa sanksi tertulis, denda Rp 5 juta-Rp 25 juta, pembekuan izin usaha, dan pencabutan izin usaha. Adapun pelaku usaha hanya diberi sanksi tertulis.
Ellen menambahkan, sanksi pencabutan izin di saat ekonomi melesu menjadi tidak tepat. Para tenant dan karyawannya juga tengah berusaha untuk beroperasi kembali di tengah risiko penularan Covid-19.
”Sanksi kepada pusat perbelanjaan perlu ditinjau ulang. Meskipun ada insentif fiskal daerah bagi pelaku usaha, hal itu belum terperinci,” katanya.