BI akan menanggung 53,9 persen dari total bunga utang pemerintah atau senilai Rp 35,9 triliun. Di sisi lain, penempatan dana pemerintah di empat bank BUMN dinilai untuk mengurangi potensi risiko likuiditas bank.
Oleh
KARINA ISNA IRAWAN/dimas waraditya nugraha
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kementerian Keuangan dan Bank Indonesia akan melakukan pembagian beban bunga utang untuk pembiayaan penanganan dampak Covid-19. Sekitar 53,9 persen dari total beban bunga utang pemerintah akan ditanggung Bank Indonesia.
Berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 72 Tahun 2020 tentang Perubahan Postur APBN 2020, kebutuhan pembiayaan utang tahun ini mencapai Rp 1.645,3 triliun yang terdiri dari pelebaran defisit APBN Rp 1.039,22 triliun, kebutuhan investasi neto Rp 181,24 triliun, dan utang jatuh tempo Rp 424,84 triliun.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan, kebutuhan pembiayaan utang tahun ini meningkat Rp 903,46 triliun dari proyeksi awal. Kenaikan pembiayaan utang berimplikasi pada tambahan bunga utang senilai Rp 66,5 triliun per tahun dengan asumsi suku bunga pasar surat berharga negara (SBN) tenor 10 tahun sebesar 7,36 persen.
”Kementerian Keuangan dan Bank Indonesia akan berbagi beban atau burden sharing bunga utang dengan tetap menjaga tata kelola masing-masing. Detail skema pembagian beban bunga utang akan selesai minggu ini,” kata Sri Mulyani dalam rapat kerja bersama Komisi XI DPR di Jakarta, Senin (29/6/2020).
Kementerian Keuangan dan Bank Indonesia akan berbagi beban atau burden sharing bunga utang dengan tetap menjaga tata kelola masing-masing.
Kenaikan pembiayaan utang senilai Rp 903,46 triliun untuk penanganan Covid-19 dibagi berdasarkan kelompok penggunaan publik Rp 397,6 triliun dan nonpublik Rp 505,86 triliun. Kelompok penggunaan publik mencakup bidang kesehatan, perlindungan, dan tambahan belanja kementerian/lembaga serta pemerintah daerah, sedangkan nonpublik berupa bantuan bagi dunia usaha.
Sri Mulyani mengatakan, BI akan menanggung 100 persen beban bunga utang untuk kelompok penggunaan publik dan memberikan diskon 1 persen dari suku bunga acuan BI 7-day Reverse Repo Rate untuk kelompok nonpublik khusus UMKM. Dengan demikian, BI akan menanggung 53,9 persen dari total bunga utang atau senilai Rp 35,9 triliun.
”Pemerintah dan BI sepakat untuk yang sifatnya manfaat publik ditanggung 100 persen bunganya oleh BI, sementara nonpublik akan diberikan diskon 1 persen dari suku bunga acuan BI,” kata Sri Mulyani.
Asumsi suku bunga acuan BI 7-day Reverse Repo Rate sebesar 4,3 persen, sementara suku bunga SBN yang diterbitkan Pemerintah Indonesia tenor 10 tahun sebesar 7,36 persen. Suku bunga 7,36 persen itu merupakan rata-rata tetimbang imbal hasil SBN tenor 10 tahun periode Januari-16 Juni 2020.
Menurut Sri Mulyani, hitungan pembagian beban bunga utang per komponen masih dalam tahap finalisasi, termasuk porsi penerbitan surat utang melalui mekanisme pasar dan penjualan secara bilateral (private placement). Perhitungan beban bunga utang tidak memasukkan biaya operasi moneter rupiah.
Bunga turun
Dalam kesempatan yang sama, Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo mengatakan, pembagian beban bunga utang antara pemerintah dan BI akan berdampak positif terhadap penurunan tingkat bunga kupon SBN. Total beban beban utang sebesar Rp 66,5 triliun diperkirakan akan turun menjadi sekitar Rp 50 triliun.
”Pemerintah akan ada efisiensi atau cost saving dari penurunan tingkat bunga kupon SBN tenor 10 tahun,” kata Perry.
Sejauh ini diskon 1 persen dari suku bunga acuan BI 7-day Reverse Repo Rate baru disepakati untuk beban bunga utang UMKM. Saat ini BI dan Kementerian Keuangan masih mempertimbangkan skema yang sama untuk beban bunga utang korporasi. Sementara beban bunga utang di luar UMKM dan korporasi akan ditanggung pemerintah.
Perry menambahkan, sejauh ini BI sudah melakukan pelonggaran kuantitatif (quantitative easing) sebesar Rp 614,8 triliun. Pelonggaran kuantitatif dilakukan untuk mendukung sektor ekonomi sehingga pemulihan nasional bisa lebih cepat. BI dan pemerintah akan mendorong penyerapan anggaran lebih cepat dan melakukan pendanaan bersama.
”Untuk pembagian beban dengan pemerintah, BI siap tidak hanya dalam pendanaan, tetapi bebannya secara lebih besar,” kata Perry.
Untuk pembagian beban dengan pemerintah, BI siap tidak hanya dalam pendanaan, tetapi bebannya secara lebih besar.
Sebelumnya, Kepala Departemen Ekonomi CSIS Yose Rizal Damuri berpendapat, BI tidak bisa menyerap SBN terlalu tinggi kendati ada mekanisme pembagian beban. Penyerapan SBN pemerintah oleh BI dalam jumlah besar akan berbalik merusak kepercayaan pasar. Terlebih, karena pembelian SBN di pasar pemerintah tidak melalui mekanisme pasar.
Hal terpenting yang justru harus dilakukan pemerintah adalah menumbuhkan kepercayaan investor agar tertarik membeli SBN Indonesia. Kepercayaan investor ditumbuhkan dengan kejelasan program dan kalkulasi kebijakan yang matang. Jika hal itu tidak dilakukan, daya tahan fiskal akan terancam dalam jangka menengah panjang.
Penempatan dana
Sebelumnya pemerintah akan menempatkan dana di empat bank anggota Himpunan Bank Milik Negara (Himbara) sebesar Rp 30 triliun. Penempatan dana akan dilakukan selama tiga bulan dengan bunga 3,42 persen.
Keempat bank itu adalah PT Bank Mandiri (Persero) Tbk, PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk, PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk, dan PT Bank Tabungan Negara (Persero) Tbk. Dengan tambahan penempatan dana itu, BTN menargetkan menyalurkan kredit sebesar Rp 30,3 triliun, Bank Mandiri Rp 21 triliun, BNI Rp 15,04 triliun, dan BRI Rp 122,5 triliun.
Pengamat perbankan Paul Sutaryono menilai, tantangan bank pemerintah makin berat ketika menerima kucuran penempatan dana itu. Pasalnya, hingga saat ini permintaan kredit baru dari masyarakat masih amat rendah.
”Ada kesan penempatan dana pemerintah terhadap bank pelat merah sebagai upaya strategis untuk mencegah supaya bank pemerintah tidak menderita potensi risiko likuiditas,” ujarnya.
Ada kesan penempatan dana pemerintah terhadap bank pelat merah sebagai upaya strategis untuk mencegah supaya bank pemerintah tidak menderita potensi risiko likuiditas.
Menurut Paul, tantangan lain bagi perbankan adalah peraturan yang melarang penggunaan penempatan dana pemerintah di bank untuk membeli surat berharga negara dan transaksi valuta asing. Padahal, di sisi lain, lanjut Paul, kepemilikan obligasi dari bank per Maret 2020 menipis 0,64 persen dibandingkan bulan sebelumnya.
”Lebih dari itu, NIM (margin bunga bersih) dan potensi laba perbankan tahun ini akan tertekan. Belum lagi kredit macet yang berpotensi terus mendaki naik hingga akhir tahun,” katanya.