Dibayangi Kontraksi Ekspor-Impor, Surplus Tak Menggembirakan
Kondisi ekspor pada Mei 2020 ini tercatat paling rendah sejak Juli 2016. Saat itu, nilai ekspor tercatat 9,6 milliar dollar AS. Sementara, kondisi impor pada Mei 2020 mengalami penurunan paling dalam sejak 2009.
Oleh
Agnes Theodora
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Penurunan impor yang lebih dalam dibandingkan ekspor membuat neraca perdagangan pada Mei 2020 surplus 2,09 miliar dollar AS. Namun, di tengah kondisi rantai pasok global yang terdisrupsi Covid-19, capaian itu tidak menggembirakan. Ekspor dan impor yang sama-sama terkontraksi tajam menunjukkan lemahnya permintaan global dan terganggunya kegiatan produksi.
Badan Pusat Statistik mencatat, neraca perdagangan mengalami surplus bulanan pada Mei 2020 maupun pada Januari-Mei 2020. Surplus neraca perdagangan pada Mei 2020 tercatat 2,09 miliar dollar AS, sedangkan sepanjang Januari-Mei 2020 senilai 4,31 miliar dollar AS.
Surplus terjadi karena kinerja ekspor masih lebih tinggi dibandingkan kinerja impor. Pada Mei 2020, nilai ekspor tercatat 10,53 milliar dollar AS, sedangkan impor 8,44 miliar dollar AS.
Ekspor dan impor sama-sama mengalami penurunan. Ekspor menurun 28,95 persen dibandingkan kondisi Mei 2019 dan menurun 13,4 persen dibandingkan April 2020. Sementara impor menurun jauh lebih dalam, yakni 42,2 persen dibandingkan Mei 2019 dan menurun 32,65 persen dibandingkan April 2020.
Ekspor tumbuh negatif untuk pertanian, manufaktur, dan pertambangan, sementara impor turun curam untuk barang konsumsi, bahan baku, dan barang modal.
Kepala BPS Suhariyanto mengatakan, memasuki setengah tahun perjalanan, kondisi perekonomian masih sangat buruk. Perekonomian global diperkirakan akan mengalami kontraksi seiring dengan pelemahan daya beli, permintaan, dan produksi yang terganggu kebijakan pembatasan sosial.
Hal itu turut tergambar melalui kinerja perdagangan Indonesia pada Mei 2020. Oleh karena itu, meski neraca perdagangan mencatat surplus, ini bukan sesuatu yang menggembirakan.
”Ekspor mengalami pertumbuhan negatif dan impor Indonesia turun curam. Penurunan impor bahan baku dan barang modal khususnya perlu diperhatikan karena bisa berpengaruh besar pada pergerakan industri nasional,” kata Suhariyanto dalam telekonferensi pers di Jakarta, Senin (15/6/2020).
Ekspor mengalami pertumbuhan negatif dan impor Indonesia turun curam. Penurunan impor bahan baku dan barang modal khususnya perlu diperhatikan karena bisa berpengaruh besar pada pergerakan industri nasional.
Secara rinci, penurunan impor nonmigas terjadi untuk barang konsumsi, bahan baku/penolong, dan barang modal. Kemerosotan paling banyak terlihat untuk bahan baku/penolong dan barang modal, yang dibutuhkan untuk produksi dan keberlanjutan industri.
Pada Mei 2020, nilai impor bahan baku/penolong 6,11 miliar dollar AS. Meski masih mendominasi total impor, impor bahan baku merosot paling banyak dibandingkan kategori lain, yakni minus 34,66 persen jika dibandingkan April 2020, dan minus 43,03 persen dibandingkan kondisi Mei 2019.
Impor produk bahan baku yang berkurang cukup dalam adalah komponen telepon seluler, gula mentah, gandum, dan kacang kedelai.
Sementara itu, jika dibandingkan kondisi April 2020, impor barang modal merosot 29,01 persen menjadi 1,39 miliar dollar AS. Impor barang modal juga menurun drastis 40 persen jika dibandingkan kondisi pada Mei 2019. Penurunan barang modal paling tajam pada komponen radio, telepon, telegrafi, komputer, mesin pengepakan, mesin oven, dan komoditas lainnya.
Adapun impor barang konsumsi juga menurun, tetapi mencatat penurunan paling sedikit dibandingkan kateogori lain. Pada Mei 2020, impor barang konsumsi senilai 930 juta dollar AS, menurun 23 persen dibandingkan kondisi bulan lalu dan menurun 39,83 persen jika dibandingkan kondisi tahun lalu. Penurunan paling banyak terlihat pada produk mesin pendingin ruangan, jeruk mandarin, dan kurma.
”Jadi, impor barang konsumsi, bahan baku, maupun barang modal, semua mengalami penurunan, baik bulanan maupun tahunan,” ujar Suhariyanto.
Suhariyanto mengatakan, kondisi ekspor pada Mei 2020 ini tercatat paling rendah sejak Juli 2016. Saat itu, nilai ekspor tercatat 9,6 milliar dollar AS. Sementara, kondisi impor pada Mei 2020 mengalami penurunan paling dalam sejak 2009.
”Penurunan ekspor dan impor kita tidak terlepas dari kondisi Covid-19 yang melanda banyak negara. Setiap negara mengalami kontraksi pertumbuhan ekonomi akibat pembatasan sosial, pelemahan daya beli, dan juga penurunan permintaan,” katanya.
Kondisi ekspor pada Mei 2020 ini tercatat paling rendah sejak Juli 2016. Saat itu, nilai ekspor tercatat 9,6 milliar dollar AS. Sementara, kondisi impor pada Mei 2020 mengalami penurunan paling dalam sejak 2009.
Sepanjang tahun
Proyeksi ekonomi Organisasi untuk Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD) yang dirilis pada Juni 2020 menyebutkan, perdagangan dunia akan terkontraksi tajam selama pandemi Covid-19, setidaknya 18 bulan mendatang.
OECD memproyeksikan, kinerja ekspor dan impor Indonesia akan terkontraksi sepanjang tahun ini. Ada dua skenario pertumbuhan perekonomian global. Skenario pertama, dengan kondisi penyebaran virus berhasil ditekan, ekspor Indonesia diprediksi tumbuh minus 7,4 persen. Sementara, berdasarkan skenario kedua, dengan gelombang kedua muncul di akhir tahun dan diikuti penguncian wilayah, ekspor Indonesia bisa minus 9,1 persen.
Sejalan dengan itu, perdagangan global juga diproyeksi terkontraksi tajam. Pada skenario pertama, perdagangan global diprediksi anjlok ke level minus 9,5 persen sebelum kembali pulih pada 2021. Dalam skenario kedua, perdagangan global diprediksi menukik lebih tajam menjadi minus 11,4 persen.