Komoditas rotan perlahan ditinggalkan masyarakat Dayak karena ekspansi sawit dan tambang yang masif. Namun, ada sekelompok perempuan di pelosok Barito Utara yang tak menyerah.
Oleh
Dionisius Reynaldo Triwibowo
·4 menit baca
Mereka mempertahankan budaya menganyam rotan. Handep, sebuah perusahaan sosial, membantu mereka mempercantik kriya rotan hingga memasarkannya ke pasar internasional.
Popi Restani (26) sedang memotong rotan-rotan pilihan. Berbekal keahlian menganyam dari ibu dan neneknya, ia membuat anyaman untuk bahan dasar tas.
Tangannya begitu cekatan. Ia memilin, memasukkan potongan rotan dari satu lubang ke lubang lainnya, hingga membentuk pola. Pola itu disebut swagei dalam bahasa Dayak, yang artinya ibu menangis. Pola itu dinilai paling sulit karena satu kesalahan saja akan merusak semua pola.
”Kalau ada selisih yang berbeda, harus diulang dari awal. Makanya, pola ini butuh ketelitian. Saya sudah belajar pola ini sejak umur enam tahun,” kata Popi di Palangkaraya, Kalimantan Tengah, beberapa waktu lalu.
Selama ini, Popi dan keluarganya menganyam bahan baku menjadi tas dan berbagai kriya rotan lainnya untuk dijual ke tengkulak-tengkulak asal Kalimantan Timur. Namun, ia merasa masih ada yang kurang.
Rotan dengan pola swagei atau pola apa pun dibeli dengan harga murah. Selain itu, para tengkulak hanya datang pada bulan Agustus-September.
”Akhirnya banyak yang enggak mau menganyam lagi. Pola swagei saja hanya segelintir orang yang bisa bikin karena orang sudah tidak mau lagi membuat itu,” kata Popi.
Sampai akhirnya Popi dan 108 ibu-ibu dan perempuan di pelosok Kabupaten Barito Utara bertemu Handep. Pertemuan itu membawa harapan baru.
Popi berasal dari Desa Muara Mea, Kabupaten Barito Utara, Kalimantan Tengah. Desanya berjarak 302,7 kilometer dari Kota Palangkaraya. Padahal, Huma Handep atau kantor dari Handep di Palangkaraya.
Perjalanan darat selama lebih kurang tujuh jam dilalui Popi untuk menunjukkan hasil karyanya. Pola yang dibuat Popi menjadi bahan dasar bagi Handep untuk membuat tas, topi, dan kriya rotan lain.
Perjalanan sejauh itu juga ditempuh Randi Julian Miranda, CEO sekaligus Founder Handep, untuk bertemu dengan para penganyam. Ia ditemani Liza, Yoan, dan Rudi yang membantu menghidupkan kembali kriya rotan dan pola-pola anyaman rotan khas Dayak.
Randi melihat kriya rotan mulai ditinggalkan karena perubahan hutan menjadi perkebunan sawit dan lokasi pertambangan di Kalimantan Tengah, termasuk di Muara Mea, yang cukup masif. Ia pun tergerak untuk menghidupkan kembali kriya rotan dengan gaya yang berbeda dan modern.
Desain kriya rotan yang diusung Handep dibantu Yoan Tawai, seorang desainer. Dengan desain tersebut, kriya rotan buatan ibu-ibu di Muara Mea menjadi lebih eksotik dan elegan. Tas buatan Handep juga tampil beda saat dipadukan dengan bahan kulit.
Tanpa mengubah pola asli Dayak dari kriya rotan, Yoan mengombinasikan desain gaya tas masa kini dengan tambahan renda kulit, selempang, dan mode lainnya. Sentuhan modern membuat kriya rotan kembali dicintai masyarakat.
Rotan yang membutuhkan hutan akhirnya menjadi senjata bagi Handep untuk menjaga hutan. Jika hutan terjaga, rotan tidak akan punah.
”Cara berdonasi untuk membantu ibu-ibu ini menjaga rotan dan hutan dengan membeli produknya,” kata Randi.
Perbedaan produk Handep dengan kriya lain di Kalteng adalah teknik pembuatan anyaman lebih rapat dan pewarnaan tas rotan yang masih menggunakan cara tradisional, yakni dengan pewarna alam. Hal itu dilakukan Handep untuk menjaga kearifan lokal.
Handep adalah singkatan dari Handmade Ethical Products. Namun, dalam bahasa Dayak, Handep bermakna saling membantu, gotong royong, atau bersama-sama. Maka, tak ada atasan dan bawahan atau tak ada pimpinan dan karyawan dalam perusahaan sosial ini.
”Kami membangun solusi atas masalah sosial secara mandiri dan berkelanjutan. Di Handep, kami tak hanya mendampingi ibu-ibu dan perempuan, tetapi juga menempatkan mereka sebagai mitra sejajar,” kata Randi.
Mitra sejajar itu dalam banyak hal, termasuk keuntungan. Bersama Handep, para ibu itu mendapat keuntungan karena karya mereka dihargai dengan nilai tinggi.
Handep juga memiliki visi menjaga kearifan budaya Dayak. Mereka bahkan menamai semua produk mereka dengan bahasa Dayak, seperti tas selempang kecil dari rotan yang diberi nama kijil yang berarti centil. Centil, tetapi anggun.
Berbekal jaringan pertemanan Randi dengan rekan-rekannya di luar negeri, produk Handep sudah melanglang buana, antara lani ke Hong Kong dan Australia. Sementara di dalam negeri, konsumen di Jakarta dan Bali menjadi pelanggan Handep.
Berbagai cara dilakukan untuk melindungi hutan beserta isinya dilakukan baik pemerintah maupun masyarakat. Handep memiliki cara centil nan anggun dengan tetap memberikan dampak ekonomi bagi masyarakat yang juga merupakan penjaga hutan.