Curhat Teten tentang UMKM Bisa Masuk Daftar Hitam Debitor dan Tekanan APBN
UMKM terpukul dari sisi permintaan. Ada sebagian yang sudah berhenti dan kalau ditawarkan pembiayaan lagi, nanti berpotensi menimbulkan kredit macet.
Oleh
CYPRIANUS ANTO SAPTOWALYONO
·4 menit baca
Usaha mikro, kecil, dan menengah turut terpukul oleh pandemi Covid-19. Potensi kredit macet sektor ini cukup besar sehingga para pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah bisa saja masuk daftar hitam debitor. Relaksasi kredit dan penyaluran bantuan sosial diharapkan jadi solusi.
Menteri Koperasi dan Usaha Kecil Menengah (UKM) Teten Masduki mengatakan, usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) terpukul di sisi permintaan. Ada sebagian pengusaha yang sudah berhenti. Jika ditawari pembiayaan lagi, mereka justru makin berisiko gagal membayar.
”Jika hal itu terjadi, nanti ketika masuk fase pemulihan serta butuh aktivasi usaha, mereka bisa masuk daftar hitam debitor,” ujarnya dalam diskusi yang digelar Infobank secara virtual bertema ”Peran Perbankan Mendukung UMKM Berdaya Tahan di Tengah Pandemi Covid-19”, di Jakarta, Selasa (19/5/2020).
Oleh karena itu, bantuan-bantuan yang diberikan untuk melindungi pelaku UMKM, termasuk relaksasi kredit, sangat diperlukan. Namun, kata Teten, saat ini pemerintah masih berfokus pada penyaluran bantuan sosial (bansos) dan bahan kebutuhan pokok murah. Tujuannya membantu daya beli dan konsumsi masyarakat yang turun.
”Dalam rapat terbatas, Presiden menegaskan perlunya percepatan penyaluran bansos. Apalagi saat ini program bansos diperluas, termasuk juga Kartu Prakerja yang digeser menjadi program jaring pengaman sosial. Dana desa pun digeser menjadi bantuan langsung tunai (BLT) desa,” kata Teten.
Chairman Infobank Institute Eko B Supriyanto mengemukakan, masalah bansos dan BLT adalah masalah yang dekat dengan UMKM. ”Begitu cair, begitu turun, mesin ekonomi akan bergerak. Kalau sudah bergerak, dia akan menciptakan konsumsi baru sehingga mendorong pertumbuhan ekonomi, termasuk UMKM,” ujarnya.
Menurut Teten, Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) juga tengah tertekan. Jika penanganan pandemi Covid-19 tak kunjung tuntas, APBN berpotensi semakin tertekan.
Hingga kini, pemerintah juga belum dapat memastikan sampai kapan pembatasan sosial berskala besar, termasuk menjaga jarak dengan berdiam diri di rumah akan berlangsung. Sebab, sampai sekarang belum ada penemuan vaksin Covid-19.
”Pemerintah mungkin sampai September 2020 masih punya uang dan sumber daya. Tapi, kalau kita tidak bisa menuntaskan penanganan Covid-19 sampai September dan berlanjut sampai tahun depan, saya kira tekanan terhadap APBN akan sangat berat,” ujar Teten.
Defisit APBN Tahun 2020 diproyeksi melebar jadi Rp 1.028,5 triliun atau 6,27 persen produk domestik bruto.
Sebelumnya, Kementerian Keuangan menyebutkan, defisit APBN Tahun 2020 diperkirakan Rp 1.028,5 triliun atau 6,27 persen produk domestik bruto. Pelebaran defisit disebabkan oleh penurunan pendapatan dan peningkatan belanja yang lebih tinggi.
Kementerian Keuangan untuk kedua kalinya mengoreksi proyeksi defisit APBN 2020. Proyeksi defisit awal April lalu diperlebar dari 1,76 persen produk domestik bruto (PDB) dalam UU APBN 2020 menjadi 5,07 persen PDB dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 54 Tahun 2020 tentang Perubahan Postur dan Rincian APBN 2020.
Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan, pelebaran defisit diperlukan untuk menangani dan mendorong ekonomi agar bisa bertahan menghadapi pandemi Covid-19. Karena itu, pemerintah menganggarkan dana pemulihan ekonomi nasional senilai total Rp 641,17 triliun.
”Anggaran pemulihan ekonomi ini diharapkan dapat menekan dampak Covid-19 di triwulan II hingga IV-2020,” ujarnya (Kompas, 19 Mei 2020).
Kepala Ekonom PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk Ryan Kiryanto menyatakan, ada narasi menarik terkait restrukturisasi kredit menurut Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Restrukturisasi kredit menggunakan satu pilar, yaitu kemampuan membayar. ”Dan untuk sektor yang terdampak, khususnya UMKM, ada keberpihakan dari otoritas, yakni relaksasi,” ujarnya.
Relaksasi itu bervariasi, tergantung diagnosis masalah yang dihadapi pelaku UMKM. Relaksasi bisa berupa penurunan suku bunga, perpanjangan jangka waktu kredit, pengurangan tunggakan pokok, pengurangan tunggakan bunga, dan penambahan fasilitas kredit atau pembiayaan.
Selain itu, pelonggaran juga bisa berupa konversi kredit atau pembiayaan menjadi penyertaan modal sementara. ”Kemewahan” yang diberikan OJK itu berlaku satu tahun ke depan, yakni akan berakhir pada 31 Maret 2021.
Pelonggaran diperlukan untuk memperkuat UMKM sehingga usahanya berkesinambungan. Perbankan diharapkan mematuhi aturan yang sudah ditetapkan oleh pemerintah maupun otoritas keuangan.
Perbankan juga mesti memonitor perkembangan kinerja debitor UMKM. Setiap bulan, bank diwajibkan melaporkan perkembangan proses restrukturisasi UMKM kepada OJK sehingga perlu kolaborasi dan sinergi yang baik antara bank dan debitor UMKM.
Dalam program Pemulihan Ekonomi Nasional, pemerintah memberikan dukungan fiskal terhadap UMKM. Pemerintah akan memberikan stimulus kredit kepada UMKM Rp 34,15 triliun berupa subsidi bunga untuk penerima bantuan sebanyak 60,66 juta rekening.