Harga gula di pasaran masih di atas Rp 12.500 per kilogram yang merupakan harga acuan pembelian konsumen. Apakah ada yang sengaja mempermainkan harga untuk sebuah keuntungan besar?
Oleh
Agnes Theodora
·6 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Strategi pemerintah menstabilkan harga gula di kisaran Rp 12.500 per kilogram belum berhasil. Gula rafinasi yang diolah sembilan pabrik gula, dalam penugasan pemerintah, lebih banyak dijual ke pasar tradisional dibandingkan dengan ke gerai ritel modern yang terikat menjual sesuai harga acuan.
Pemerintah telah menugasi delapan perusahaan yang tergabung dalam Asosiasi Gula Rafinasi Indonesia (AGRI) serta Pabrik Gula PT Kebun Tebu Mas untuk mengolah gula rafinasi menjadi gula konsumsi. Kendati bertentangan dengan peraturan Menteri Perdagangan yang selama ini melarang gula rafinasi dijual di pasar konsumsi, langkah itu ditempuh pemerintah untuk memenuhi pasokan gula dalam negeri.
Dengan penugasan itu, diharapkan harga penjualan gula di pasar lebih terkendali. Pabrik rafinasi yang mendapat penugasan pemerintah diwajibkan menjual sesuai harga eceran tertinggi, yakni Rp 12.500 per kilogram. Namun, kenyataannya, harga gula di pasaran kini masih mencapai Rp 17.500 per kilogram.
Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) Roy Mandey, Sabtu (16/5/2020), mengatakan, pabrik rafinasi belum menyalurkan pasokan gula rafinasi hasil olahan itu ke gerai-gerai ritel sesuai komitmen. Ada persoalan teknis dan nonteknis yang menghambat penyaluran gula ke gerai ritel.
Padahal, stok cadangan gula di gerai ritel minimarket, supermarket, dan hipermarket semakin menipis. Jika distribusi lancar, seharusnya setiap minimarket bisa menyimpan stok gula hingga 30-40 ton. Namun, saat ini estimasi stok relatif di bawah 10 ton. ”Kita sudah dalam keadaan darurat yang butuh langkah cepat, tetapi masih banyak hal-hal yang memunculkan masalah distribusi,” katanya.
Roy menyoroti kesepakatan kuantitas pasokan gula rafinasi ke gerai ritel yang terus berkurang dalam waktu dua pekan terakhir.
Pada 30 April 2020, Aprindo bersama AGRI, yang difasilitasi Kementerian Perdagangan, membuat nota kesepahaman. Isinya, perusahaan anggota AGRI harus menjual 92.900 ton gula kristal putih dalam kemasan 50 kilogram ke gerai ritel anggota Aprindo. Harga jualnya Rp 11.200 per kilogram sehingga harga jual ke konsumen Rp 12.500 per kilogram.
Sebelum jumlah itu disepakati, AGRI beberapa kali minta kuantitas dikurangi. Pertama kali, pada awal April 2020, pemerintah menugasi pabrik gula rafinasi untuk menjual stok gula rafinasinya menjadi gula kristal putih sebanyak 235.000 ton. Sementara 15.000 ton ditugaskan kepada Pabrik Gula PT Kebun Tebu Mas.
Pada 28 April 2020, AGRI melaporkan kepada Menteri Perdagangan Agus Suparmanto, Aprindo, Satuan Tugas Pangan, dan Bareskrim Polri bahwa, dari stok 235.000 ton gula yang dimiliki anggotanya, sebanyak 90.000 ton sudah terdistribusi. Dengan demikian, stok gula yang siap disalurkan ke gerai ritel sebanyak 145.000 ton.
Namun, ternyata, dari 145.000 ton stok gula rafinasi itu, sebanyak 52.000 ton di antaranya sudah dibeli distributor, dengan status pasokan barang masih berada di pabrik rafinasi selaku produsen. Pada 30 April 2020, AGRI kembali mengajukan pemangkasan kuantitas penjualan menjadi 92.900 ton. Kuantitas itu akhirnya disepakati dan dituangkan dalam nota kesepahaman dengan Aprindo.
Namun, angka itu belum final. Pada 4 Mei 2020, kesepakatan terakhir antara Aprindo, AGRI, dan Kemendag, kuantitas yang akan dijual ke ritel kembali berkurang menjadi 20.000-30.000 ton. Alasannya, itu batas kapasitas tiap gerai ritel untuk menampung stok dalam waktu dua minggu. Sisa stok hasil produksi sebanyak 63.000 ton diperintahkan agar dipasok ke pasar-pasar tradisional.
”Kami sudah tidak mau mempermasalahkan kuantitas yang sudah dua kali turun, yang penting, 20.000 ton itu dapat dipasok. Namun, ternyata, untuk yang 20.000 ton ini pun, masih banyak hal yang jadi kendala,” kata Roy.
Salah satu kendala saat ini adalah proses pengemasan dari kemasan 50 kilogram menjadi kemasan 1 kilogram yang siap jual. Dari pabrik gula rafinasi, pasokan gula dalam karung harus melalui perusahaan pengemas terlebih dahulu. Proses itu memakan waktu lagi.
Saat ini, Aprindo sedang mengumpulkan data dari anggotanya di seluruh Indonesia untuk menghitung jumlah tonase gula rafinasi yang sudah disalurkan ke gerai-gerai ritel sejak April 2020.
Roy meyakini, baru sedikit pasokan gula yang disalurkan ke ritel dari target 20.000 ton tersebut. ”Kondisinya, 20.000 ton itu pun diangsur karena alasan kemasan 50 kilogram belum selesai dikemas, masih ada proses produksi lagi, ada juga kasus packers yang sudah kami tunjuk, tetapi ditolak oleh pabrik,” ujarnya.
Dijual ke pasar
Ketua Umum AGRI Bernardi Darmawan mengatakan, per 14 Mei 2020, dari total 235.000 ton gula rafinasi yang ditugaskan oleh pemerintah untuk diproduksi, sebanyak 209.000 ton sebenarnya sudah diproduksi dan sudah dijual ke distributor. Adapun stok gula yang sudah keluar dari pabrik sekitar 180.000 ton.
Ia membantah keanehan dan hambatan dalam proses distribusi gula. Menurut dia, kuantitas gula berkurang menjadi 20.000 ton karena disesuaikan dengan kapasitas rata-rata gudang gerai ritel.
”Kalau kami tetap salurkan 92.900 ton, habisnya bisa berbulan-bulan. Makanya, Kemendag mengalkulasi ulang, cukup maksimal 30.000 ton ke ritel dan didistribusikan akhir Mei ini,” katanya.
Sementara mayoritas stok gula yang masih dimiliki perusahaan rafinasi dialihkan untuk dipasok ke pasar tradisional melalui operasi pasar langsung.
”Sisanya, masih ada stok sekitar 60.000 ton yang diminta didistribusikan langsung saja ke pasar melalui distributor. Kami diminta pemerintah melakukan operasi pasar langsung, ada daftar pasar se-Indonesia yang dipantau Badan Pusat Statistik,” ujar Bernardi.
Menurut dia, dari 20.000 ton yang harus disalurkan ke ritel, sebanyak 60-70 persen di antaranya sudah diproduksi dan dijual. Namun, ia mengakui, prosesnya membutuhkan waktu karena harus melalui perusahaan pengemas.
Adapun penyaluran ke pasar tradisional, tambah Bernardi, operasi distribusinya baru dimulai. ”Kami baru memulai (ke pasar tradisional), sudah ada beberapa yang mendapat pasokan, ini dikasih waktu yang sama, akhir Mei sudah harus selesai,” katanya.
Masalah
Saat membuka rapat kabinet terbatas virtual, Rabu (13/5/2020), Presiden Joko Widodo sempat menyoroti harga gula yang masih mahal di pasaran, yakni masih terjual dengan harga Rp 17.500. Ia menduga ada oknum yang berupaya memainkan harga untuk mendapatkan keuntungan. Presiden pun menginstrusikan jajarannya untuk mendalami persoalan tersebut.
”Saya ingin ini dilihat masalahnya di mana, apakah masalah distribusi atau stoknya kurang atau adakah yang sengaja permainkan harga untuk sebuah keuntungan besar?” tutur Presiden.
Apakah masalah distribusi atau stoknya kurang atau adakah yang sengaja permainkan harga untuk sebuah keuntungan besar?
Peneliti dari Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI), Khudori, mengatakan, potensi penyelewengan atau moral hazard dalam proses penjualan gula rafinasi terhitung besar. Dalam proses produksi gula rafinasi menjadi gula konsumsi, ada disparitas harga yang bisa dinikmati produsen.
Produsen bisa menikmati keuntungan lebih besar lagi jika menjual stok gulanya ke pasar tradisional karena harga jualnya bisa melonjak di atas harga acuan. Sementara, jika menjual ke gerai ritel yang sudah diikat dengan MoU, harga jual maksimal ke ritel hanya bisa Rp 11.200 per kilogram.
Pemerintah seharusnya memperketat pengawasan. Di sisi lain, produsen gula rafinasi juga seharusnya transparan terkait data transaksi.
”Disparitas keuntungannya sangat besar. Peluang mendapat keuntungan kalau dibandingkan antara pasar tradisional dan ritel memang beda sekali. Hal seperti ini bisa berkembang jadi potensi penyimpangan, padahal tujuannya adalah mengontrol harga supaya terjangkau masyarakat,” kata Khudori. (AGE)