Status SKK Migas yang sifatnya sementara memberi ketidakpastian dalam bisnis hulu migas. Posisi negara menjadi sejajar dengan perusahaan dalam kontrak hulu migas. Perlu dibentuk BUMN khusus menggantikan SKK Migas.
Oleh
ARIS PRASETYO
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah dituntut merealisasikan pembentukan badan usaha milik negara atau BUMN khusus di sektor hulu minyak dan gas bumi. BUMN khusus ini nanti menggantikan peran Satuan Kerja khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi atau SKK Migas. PT Pertamina (Persero) diwacanakan sebagai entitas BUMN khusus tersebut.
BUMN khusus disinggung dalam Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja Pasal 41. BUMN khusus disebut dapat mengerjakan sendiri wilayah kerja hulu minyak dan gas bumi atau bekerja sama dengan badan usaha berdasarkan kontrak. Selama ini, kontrak kerja sama dibuat antara pemerintah (SKK Migas) dan badan usaha.
”Kontrak antara pemerintah, yang diwakili SKK Migas, dan badan usaha itu sama saja mendegradasi negara yang diposisikan sejajar dengan badan usaha atau korporasi,” ujar Ketua Pusat Studi Hukum Ekonomi dan Pembangunan Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin Makassar Prof Juajir Sumardi dalam seminar virtual, Jumat (15/5/2020).
Juajir menambahkan, selain mendegradasi posisi negara, negara dirugikan apabila terjadi sengketa dengan badan usaha terkait kontrak hulu migas. Sengketa itu, apabila berujung pada kegagalan kontrak, bisa menggerus APBN atau aset milik negara. Oleh karena itu, ia mendorong pembentukan BUMN khusus.
Proses bisnis yang sifatnya B to B lebih cepat dan lebih efisien atau terbebas dari faktor-faktor birokrasi yang mata rantainya panjang.
Hal senada diutarakan Direktur Eksekutif ReforMiner Institute Komaidi Notonegoro. Ia berpendapat, BUMN khusus akan melahirkan kelaziman bisnis seperti yang berlaku di banyak negara, yaitu hubungan yang bersifat business to business (B to B). Keberadaan SKK Migas yang berkontrak dengan badan usaha menciptakan hubungan yang bersifat government to business.
”Hubungan pemerintah dengan badan usaha, iklim kerjanya tidak sebaik badan usaha dengan badan usaha. Proses bisnis yang sifatnya B to B lebih cepat dan lebih efisien atau bebas dari faktor-faktor birokrasi yang rantainya panjang. Dengan proses bisnis yang lebih cepat, tak menutup kemungkinan berdampak pada peluang meningkatnya produksi migas di dalam negeri,” kata Komaidi.
Komaidi berharap proses RUU Cipta Kerja ataupun revisi UU Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi bisa ditempuh dengan cepat sehingga rencana pembentukan BUMN khusus segera terealisasi. Berkaca dari proses revisi UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara yang disahkan pada Selasa (12/5/2020), di mana publik disibukkan masalah pandemi Covid-19, seharusnya revisi UU Nomor 22 Tahun 2001 bisa terwujud.
Dari sisi pekerja Pertamina, Presiden Federasi Serikat Pekerja Pertamina Bersatu (FSPPB) Arie Gumilar menyatakan, pihaknya setuju menjadikan Pertamina sebagai BUMN yang memiliki hak penguasaan dan pengusahaan migas yang sahamnya dimiliki 100 persen oleh negara. Dengan menjadikan Pertamina sebagai BUMN khusus, Pertamina diperlakukan lewat pengaturan khusus dari hulu hingga hilir.
”Tak perlu lagi dibentuk badan baru yang sifatnya sebagai BUMN khusus untuk menghindari pemborosan keuangan negara. Sebab, membentuk BUMN khusus membutuhkan sumber daya yang besar,” ucap Arie.
Langkah pemerintah sudah positif dengan membentuk perusahaan induk migas yang dikendalikan Pertamina.
Sementara itu, Direktur Indonesia Resources Studies Marwan Batubara menambahkan, konstitusi mengamanatkan bahwa negara berdaulat atas pengelolaan sumber daya alamnya. Oleh karena itu, badan usaha yang mengelola sumber daya alam tersebut haruslah badan usaha yang diatur secara tegas dan terukur, berupa badan usaha khusus, bukan lembaga yang sifatnya sementara seperti SKK Migas.
”Langkah pemerintah sudah positif dengan membentuk perusahaan induk migas yang dikendalikan Pertamina. Akan lebih baik lagi apabila BUMN khusus yang menggantikan peran SKK Migas diintegrasikan ke dalam perusahaan induk migas,” ujar Marwan.
Kondisi hulu migas Indonesia dalam dekade terakhir ada di situasi yang tidak menggembirakan. Produksi migas cenderung turun dari tahun ke tahun. Cadangan minyak terbukti Indonesia yang tersisa sekitar 3 miliar barel tak pernah berubah dan nyaris tak ada lagi penemuan cadangan minyak raksasa, seperti di Blok Cepu di era 2000-an.