Lahan Baru untuk Cetak Sawah Dikhawatirkan Menimbulkan Bencana Baru
Program cetak sawah baru untuk memenuhi kebutuhan pangan di tengah pandemi diminta untuk mengoptimalkan lahan yang ada dibandingkan membuka lahan baru, apalagi di gambut. Pembukaan lahan baru akan timbulkan bencana.
Oleh
DIONISIUS REYNALDO TRIWIBOWO
·4 menit baca
PALANGKARAYA, KOMPAS — Program cetak sawah baru untuk memenuhi kebutuhan pangan di tengah pandemi diminta untuk mengoptimalkan lahan yang sudah ada dibandingkan membuka lahan baru, apalagi di gambut. Pembukaan lahan baru hanya akan menimbulkan bencana.
Sebelumnya, pemerintah pusat menyebutkan akan menyiapkan 900.000 hektar lahan untuk pemenuhan kebutuhan pangan, khususnya komoditas padi. Lahan seluas 300.000 hektar pun sudah disiapkan di Kalimantan Tengah.
Direktur Eksekutif Kemitraan Indonesia Laode M Syarif menjelaskan, pemerintah perlu belajar dari berbagai dampak alih fungsi lahan hutan menjadi perkebunan sawit ataupun hutan tanaman industri (HTI). Hal itu menyebabkan pengeringan jutaan hektar lahan gambut di Indonesia.
”Pengeringan itu menyebabkan kerugian ekonomi, kesehatan, bahkan sosial. Itu belum dihitung dengan kerugian pendidikan, plasma nutfah yang hilang, dan emisi karbon,” kata Laode saat dihubungi dari Palangkaraya, Kamis (7/5/2020).
Laode menambahkan, program cetak sawah atau food estate dengan membuka lahan baru juga tidak lagi sesuai dengan komitmen pemerintah untuk menurunkan emisi gas rumah kaca sebesar 29 persen pada tahun 2030 sebagai bagian dari Paris Agreement yang telah diratifikasi Pemerintah Indonesia.
Pengeringan itu menyebabkan kerugian ekonomi, kesehatan, bahkan sosial. Itu belum dihitung dengan kerugian pendidikan, plasma nutfah yang hilang, dan emisi karbon.
Laode mengatakan, kebutuhan pangan di tengah pandemi merupakan hal yang perlu diapresiasi dan didukung. Laode menilai banyak hal yang bisa dilakukan tanpa harus membuka lahan baru.
”Pemerintah bisa mengoptimalkan lahan-lahan kritis melalui program reforma agraria, lalu ada perhutanan sosial yang izinnya dikerjakan masyarakat,” ungkap Laode.
Laode menambahkan, pemerintah bahkan bisa menggunakan pola kemitraan dengan perusahaan perkebunan dan hutan yang memanfaatkan plasma 20 persen dari luas lahan perusahaan.
Pada lahan tersebut, tambah Laode, perusahaan bisa memberikan bantuan asistensi teknis dan sarana produksi pertanian bagi masyarakat sehingga dapat dioptimalkan untuk menghasilkan bahan pangan. Pada lahan-lahan kemitraan yang memungkinkan untuk dilakukan pencetakan sawah, maka pemerintah dapat melakukan kegiatan pencetakan sawah.
”Ini juga merupakan saat yang tepat untuk diversifikasi pangan karena secara tradisional masyarakat memiliki sejumlah alternatif makanan pokok sehingga memaksakan masyarakat Indonesia hanya mengonsumsi beras juga tidak sesuai dengan tradisi dan kearifan lokal yang beragam,” kata Laode.
Tanah gambut
Hal senada juga dikatakan Direktur Eksekutif Daerah Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Kalimantan Tengah Dimas Novian Hartono dalam webinar Kamis sore dengan tema ”Proyek Sawah di Gambut, Mengulang Kesalahan Masa Lalu?” di kanal media sosial.
Dimas menjelaskan, program 300.000 hektar di Kalteng untuk sawah mirip dengan proyek Satu Juta Hektar atau yang dikenal Proyek Lahan Gambut (PLG) di Kalteng pada zaman Orde Baru sekitar tahun 1995. Saat itu, bukannya menjadi lahan pertanian, justru lahan gambut itu menjadi terbengkalai dan membawa bencana.
”Bukannya lahan pertanian malah mengambil kayu-kayu yang ada. Sejak saat itu, kebakaran selalu terjadi hampir tiap tahun,” kata Dimas.
Dimas menambahkan, proyek cetak sawah yang pernah dibuat di Kalteng pada tahun 2016 juga gagal karena dari total 86 hektar hanya menghasilkan 5 ton beras. Menurut dia, program cetak sawah tidak menjadi solusi pemenuhan kebutuhan pangan Indonesia.
”Proyek ini (cetak sawah) akan menjadi PLG baru atau jilid kedua, kami khawatir ini menjadi sumber bencana baru, juga bakal menimbulkan konflik sosial baru,” ungkap Dimas.
Kepala Dinas Tanaman Pangan, Hortikultura, dan Peternakan (TPHP) Provinsi Kalteng Sunarti mengungkapkan, program tersebut merupakan rencana pembangunan food estate sebagai cadangan pangan yang sudah diusulkan ke pusat pada 2017, tetapi belum ada tanggapan.
Menurut dia, lahan seluas 300.000 hektar memang disiapkan untuk food estate, tetapi jika semuanya disetujui pemerintah pusat, total lahan untuk pertanian sebesar 663.287 hektar.
”Tetapi, pelaksanannya masih menunggu banyak perizinan dan mekanisme panjang lainnya,” kata Sunarti.
Sunarti menjelaskan, pengelolaan lahan seluas 300.000 hektar atau hampir lima kali luas DKI Jakarta itu, menurut rencana, menggunakan pola kerja sama dengan Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) yang ada di Kalteng. Lahan itu hanya digunakan untuk menanam padi.
Pemerintah Provinsi Kalteng mengajukan program food estate atau pencadangan pangan ke pemerintah pusat pada awal Februari 2017 dengan luas lahan mencapai 663.287 hektar. Rinciannya, 300.000 hektar untuk padi organik di Kabupaten Pulang Pisau, Kapuas, dan Kota Palangkaraya, lalu 273.387 hektar untuk tebu di Barito Utara, Barito Selatan, dan Barito Timur.
Sedangkan 40.000 hektar untuk singkong di Kabupaten Seruyan, 20.000 hektar untuk cokelat di Barito Selatan dan Barito Utara, serta 20.000 hektar untuk menanam bambu di Kabupaten Seruyan, juga 10.000 hektar untuk peternakan sapi.
Dari peta yang diusulkan, lokasi lahan 300.000 hektar di Kabupaten Pulang Pisau memang berada di kawasan gambut dalam. ”Kami sudah memiliki contoh beberapa lokasi pertanian milik warga yang produktif meski berada di lahan bekas rawa gambut,” kata Sunarti.