Keluhan masyarakat terhadap program Kartu Prakerja, khususnya mereka yang terkena PHK, terus bergulir. Mereka menyayangkan program yang ”belum matan”" ini tetap dilakukan meski tidak sesuai kebutuhan.
Oleh
Sharon Patricia
·4 menit baca
Jumlah penganggur kian bertambah di tengah pandemi Covid-19, tetapi solusi yang ditawarkan pemerintah dinilai tak menjawab persoalan. Para korban pemutusan hubungan kerja pun menyayangkan prosedur program Kartu Prakerja yang sebenarnya bagus, tetapi belum matang dan cenderung ”dipaksakan”.
Data Badan Pusat Statistik yang dikutip pada Kamis (7/5/2020) menunjukkan, tingkat pengangguran terbuka, hingga Februari 2020, sebesar 4,99 persen atau sebanyak 6,88 juta orang.
Jumlah ini belum termasuk para pekerja yang terkena pemutusan hubungan kerja (PHK) sejak pandemi Covid-19 terjadi di Indonesia sekitar Maret 2020.
Secara global, Organisasi Buruh Internasional (ILO) menyatakan, pandemi Covid-19 diperkirakan dapat memusnahkan 6,7 persen jam kerja di dunia dalam kuartal kedua tahun 2020. Jumlah ini setara dengan 195 juta pekerja penuh waktu yang berisiko terkena PHK.
Pengurangan jumlah pekerja terbesar diperkirakan terjadi di negara-negara Arab (8,1 persen, setara dengan 5 juta pekerja penuh waktu), Eropa (7,8 persen, atau 12 juta pekerja penuh waktu), serta Asia dan Pasifik (7,2 persen atau 125 juta pekerja penuh waktu). Di luar itu, masih ada sebanyak 1,25 miliar pekerja yang kini bekerja di sektor-sektor yang berisiko terkena PHK, pengurangan upah, dan jam kerja.
Belum matang
Kini, para pekerja yang terkena PHK di Indonesia ditawari program Kartu Prakerja, program bantuan bersyarat yang mengharuskan peserta mengikuti pelatihan sebelum mendapatkan insentif. Proses yang rumit dan tak sesuai kebutuhan menjadi keluhan para peserta.
”Sulit banget,” ujar Filla (18), salah satu peserta program Kartu Prakerja yang akhirnya lolos pada gelombang kedua. Ia berkomentar, saat dirinya mencoba gelombang pertama, ia kesulitan untuk memverifikasi e-mail, memverifikasi kartu tanda penduduk, hingga mengunggah foto.
”Saat semuanya sudah saya lakukan, eh, malah enggak lolos gelombang pertama. Katanya, kan, bisa langsung gabung ke gelombang kedua. Ternyata saya harus mengulang lagi proses pendaftarannya. Untungnya lolos dan saya sudah ikut pelatihan,” katanya saat dihubungi Kompas.
Filla memilih untuk mengikuti pelatihan marketing karena sesuai dengan jurusannya saat menempuh pendidikan sekolah. Namun, persoalan belum berakhir. Menurut dia, meskipun sudah selesai mengikuti pelatihan sejak seminggu lalu, hingga saat ini sertifikat belum juga didapatkan, artinya insentif pun turut tertunda.
Sebagai korban PHK dari sektor ritel di Semarang, Filla menilai, Kartu Prakerja merupakan program yang bagus untuk menambah kemampuan seseorang. Namun, di saat pandemi Covid-19, yang dibutuhkan korban PHK adalah bantuan sosial berupa bahan pokok atau bantuan langsung tunai.
”Sebenarnya prakerja bagus cuma kurang matang saja ini programnya. Jadi rakyat masih bingung, termasuk saya sendiri. Kalau ada kesulitan (Kartu Prakerja), jawabannya mohon ditunggu, ditunggu, dan ditunggu. Kan, jadi gemes sendiri,” kata Filla.
Begitupun yang dirasakan Marta Marisina Simorangkir (31), yang bahkan sudah mengikuti pendaftaran hingga tiga kali dan akhirnya berhasil lolos pada gelombang ketiga. Meski demikian, ia pun menyayangkan program Kartu prakerja yang malah menambah biaya.
”Lebih baik bantuan sosial saja karena program Kartu Prakerja itu sebelum mendapatkan insentif, kita malah harus mengeluarkan biaya paket internet data. Rasanya program ini belum benar-benar serius menolong para korban PHK,” kata Marta yang sebelumnya bekerja di perusahaan kontraktor di Jakarta, tetapi terkena PHK sejak Maret 2020.
Negara lain
Dalam artikel ILO berjudul ”Social Protection Responses to The Covid-19 Crisis Country Responses in Asia and the Pacific” menjelaskan, pada umumnya, negara menggunakan empat instrumen utama untuk melindungi korban PHK, mulai dari memperluas tunjangan pengangguran, memberikan subsidi upah, tunjangan pengangguran parsial, hingga layanan ketenagakerjaan untuk menambah pendapatan penganggur.
Sebagai contoh, Malaysia menggunakan skema bantuan moneter baru sebesar 600 ringgit per bulan atau setara Rp 2,1 juta per bulan hingga enam bulan untuk karyawan yang diberikan cuti tanpa gaji. Bantuan ini diberikan bagi mereka yang tidak digaji sejak 1 Maret 2020 dan dengan pendapatan di bawah 4.000 ringgit.
Sementara itu, Social Security Office Thailand menetapkan, peningkatan tunjangan pengangguran dan durasinya naik dari 50 persen dan 180 hari menjadi 70 persen dan 200 hari untuk pekerja yang terkena PHK. Subsidi juga diberikan kepada orang-orang yang sementara dirumahkan dengan penggantian hingga 50 persen selama 60 hari.
Begitupun di Filipina, Sistem Jaminan Sosial mengeluarkan hingga 1,2 miliar peso Filipina atau sekitar 23,5 juta dollar AS sebagai tunjangan bagi penganggur. Uang ini mencakup tunjangan asuransi penganggur dari 30.000 hingga 60.000 pekerja yang diperkirakan akan kehilangan pekerjaan.
Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Tauhid Ahmad menilai, Indonesia seharusnya dapat berkaca terhadap negara-negara lain bagaimana mereka mengatasi persoalan ketenagakerjaan di era pandemi Covid-19. Kebanyakan dari negara lain, bantuan yang diberikan bukanlah pelatihan.
”Indonesia ini terlalu gegabah mengambil program Kartu Prakerja untuk mengatasi persoalan PHK dalam keadaan seperti ini. Belum tentu juga pelatihan online yang sekarang dilakukan akan sesuai dengan kebutuhan dunia kerja nanti setelah pandemi berakhir,” kata Tauhid.
Meski begitu, Tauhid tidak memungkiri, Indonesia akan berat apabila menggaji para penganggur. Namun yang dimaksudkan, yaitu mengalihkan biaya pelatihan sebesar Rp 1 juta untuk menjadi bantuan sosial.