Evaluasi Kartu Prakerja, Antisipasi Jumlah Penganggur Melonjak
Program Kartu Prakerja mestinya disesuaikan dengan kondisi terkini akibat pandemi Covid-19, antara lain jumlah penganggur yang akan melonjak.
Oleh
Agnes Theodora
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Jumlah penganggur diprediksi meningkat seiring pandemi Covid-19. Namun, pekerja yang terdampak, khususnya dari kalangan kelas menengah rentan miskin dan bukan penerima program bantuan sosial, belum terlindungi.
Pemerintah diminta mendengarkan desakan publik agar mengevaluasi Kartu Prakerja. Hingga kini, pelatihan dalam jaringan masih menimbulkan polemik karena dinilai tidak relevan dengan situasi terkini. Selain itu, penyaluran bantuan juga tidak tepat sasaran dan memakan waktu lama.
Program Kartu Prakerja menyasar 40 persen masyarakat kelompok menengah dengan pengeluaran Rp 3,12 juta-Rp 6,38 juta per bulan per rumah tangga. Namun, program itu dinilai tidak maksimal melindungi pekerja yang terdampak Covid-19.
Setelah dua pekan, hingga Minggu (3/5/2020), peserta gelombang pertama Kartu Prakerja belum mendapatkan bantuan insentif Rp 600.000. Insentif itu mestinya diterima setelah mengikuti satu kelas pelatihan. Padahal, insentif untuk peserta gelombang pertama dijanjikan akan diterima pada Jumat (1/5/2020). Kartu Prakerja juga tidak tepat sasaran karena justru disalurkan kepada pekerja yang masih bekerja dan mendapat gaji.
Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (Core) Indonesia Mohammad Faisal, Minggu (3/5/2020), menyampaikan, pemerintah kurang mengantisipasi ancaman gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) dan pekerja yang dirumahkan. Padahal, mengacu pada riset Core, jumlah penganggur pada tiga bulan mendatang diprediksi bertambah 4,25 juta orang (skenario ringan) hingga 9,35 juta orang (skenario berat).
Kartu Prakerja yang ditujukan khusus untuk menyasar kelompok masyarakat (pekerja dan pelaku usaha kecil) kelas menengah rentan mesti dievaluasi. Tujuannya agar sesuai dengan kondisi saat ini dan mengantisipasi kondisi pada masa mendatang. Apalagi, masyarakat yang menjadi sasaran Kartu Prakerja ini tidak termasuk dalam target penerima program bansos lain.
”Program Kartu Prakerja ini masih sangat terbatas, sementara jumlah orang yang di-PHK bertambah setiap hari. Nantinya, pengangguran akan semakin banyak,” katanya.
Data Badan Pusat Statistik menunjukkan, per Agustus 2019 ada 7,05 juta penganggur atau 5,28 persen dari angkatan kerja di Indonesia yang sebanyak 133,56 juta orang.
Lebih fokus
Faisal menambahkan, pemerintah harus bisa memprediksi, dalam tiga bulan mendatang akan ada gelombang pengangguran yang dahsyat. Sementara, program perlindungan bagi pekerja yang disiapkan belum maksimal, bahkan masih problematik, untuk menghadapi ancaman itu.
Maka, Faisal mendorong agar kelas-kelas pelatihan daring ditunda. Kemudian, mengalihkan anggaran kelas pelatihan daring untuk menambah jumlah penerima Kartu Prakerja.
”Semestinya Kartu Prakerja untuk enam bulan mendatang fokus diberikan sebagai jaring pengaman sosial atau bantuan langsung tunai untuk pekerja. Setelah lewat enam bulan, konsep program bisa kembali pada kelas pelatihan untuk mempersiapkan pekerja masuk dunia kerja lagi setelah situasi normal,” katanya.
Staf Ahli Badan Perencanaan Pembangunan Nasional Bidang Sosial dan Penanggulangan Kemiskinan Vivi Yulaswati menyampaikan, pemerintah belum memiliki program bantuan sosial yang secara spesifik menyasar masyarakat kelas menengah yang rentan miskin. Sejauh ini, program bansos baru menyasar 40 persen kelompok masyarakat terbawah.
Mengacu pada data Bank Dunia ”Aspiring Indonesia: Expanding the Middle Class”, ada 114,7 juta orang atau 44 persen penduduk Indonesia yang termasuk kelompok calon kelas menengah dan 53,6 juta orang masyarakat kelas menengah. Mereka adalah kelompok masyarakat yang rentan jatuh miskin di tengah pandemi Covid-19 ini. ”Faktanya, mereka ini, terutama masyarakat calon kelas menengah, sebagian juga menjadi korban,” ujar Vivi.
Vivi mengatakan, program Kartu Prakerja sudah sewajarnya dievaluasi agar bisa melindungi kelompok masyarakat yang rentan jatuh miskin itu. Kartu Prakerja seharusnya menjadi jaring pengaman sosial, tetapi penyalurannya lebih tersegmentasi untuk sektor tertentu yang lebih terdampak Covid-19. Di sisi lain, kelas-kelas pelatihan daring juga sudah sepatutnya digratiskan.
Program Kartu Prakerja sudah sewajarnya dievaluasi agar bisa melindungi kelompok masyarakat yang rentan jatuh miskin.
Indonesia, menurut Vivi, bisa mencontoh stimulus kebijakan bagi pekerja yang dikeluarkan Pemerintah Singapura. Di sana, pemerintah juga bekerja sama dengan perusahaan swasta untuk melaksanakan pelatihan bagi pekerja secara gratis. Uang yang didapat peserta murni untuk uang saku, bukan untuk membayar kelas pelatihan.
”Boleh saja kalau mau tetap ada kelas pelatihan, tetapi tidak usah berbayar. Ada banyak kelas pelatihan gratis dan diajar orang-orang yang ahli pada bidangnya. Anggaran bisa dialihkan untuk menambah jumlah orang yang mendapat bantuan,” katanya.
Deputi IV Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Rudy Salahuddin mengatakan, pendaftaran peserta pada program Kartu Prakerja bisa menjadi titik awal untuk mengidentifikasi kelompok masyarakat baru yang sebelumnya tidak pernah dikelompokkan dalam bantuan sosial mana pun.
Selama ini, program bansos menyasar 25 persen masyarakat terbawah yang termasuk kategori miskin dan rentan miskin. Namun, ada kelompok baru yang kondisi ekonominya terkena dampak Covid-19.
Rudy tidak menutup kemungkinan akan ada program lain yang didorong pemerintah untuk menyasar para pekerja kelas menengah tanggung ini. ”(Data) ini tidak akan kami diamkan. Walaupun Kartu Prakerja hanya diberikan satu kali seumur hidup, tetapi dengan identifikasi ini, di masa mendatang bisa ada program lain yang didorong pemerintah,” ujarnya.
Sebelumnya, dalam forum diskusi di Instagram, Jumat (1/5/2020), Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyampaikan, pemerintah akan mengevaluasi dan memperbaiki program Kartu Prakerja, salah satunya terkait biaya pelatihan daring yang dinilai terlalu mahal. (AGE)