Harga acuan gula dinilai semakin jauh dari nilai keekonomian. Petani dan produsen gula berbasis tebu berharap acuan disesuaikan sebagai bentuk insentif.
Oleh
M Paschalia Judith J
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Harga acuan pembelian di tingkat petani ataupun penjualan di tingkat konsumen semakin jauh dari nilai keekonomian gula berbasis tebu. Penyesuaian harga dianggap penting sebagai insentif untuk mendorong produksi gula di dalam negeri.
Menurut Direktur Eksekutif Asosiasi Gula Indonesia (AGI) Budi Hidayat, Rabu (29/4/2020), harga acuan perlu ditinjau ulang karena nilai keekonomian berdasarkan ongkos produksi gula konsumsi sudah di atas Rp 12.500 per kilogram. Hal ini tecermin dari harga lelang gula PT Perkebunan Nusantara II (Persero) atau PTPN II yang sempat menyentuh Rp 12.900 per kg.
Ketentuan tentang harga acuan diatur dalam Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 7 Tahun 2020. Menurut regulasi itu, harga pembelian di tingkat petani ditetapkan Rp 9.100 per kg, sementara penjualan di tingkat konsumen Rp 12.500 per kg.
Corporate Secretary Holding Perkebunan Nusantara atau PT PN III (Persero) Irwan Perangin-Angin menyatakan, harga minimal lelang gula kristal putih dari tebu mencapai Rp 10.500 per kg. Dalam lelang yang digelar PTPN II pada 21 April 2020 ditetapkan pemenang yang akan membeli 5.000 kg gula dengan harga Rp 12.900 per kg.
Menurut Ketua Umum Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI) Soemitro Samadikoen, petani rugi jika harga penjualan mengacu harga acuan saat ini. Selama ini harga jual eceran yang dipatok Rp 12.500 per kg menekan harga gula di tingkat petani.
Padahal, tanpa insentif, petani dan produsen gula berbasis tebu tidak terpacu meningkatkan produksi. Dalam jangka panjang, situasi ini akan makin meningkatkan ketergantungan Indonesia pada gula impor.
Belum berdampak
Sementara itu, upaya pemerintah merealokasi gula rafinasi ke pasar gula konsumsi belum berdampak pada penurunan harga gula di pasaran. Sebanyak 99.000 ton gula dijadwalkan mengalir ke pasar dan ritel modern mulai Rabu (29/4). Namun, menurut Pusat Informasi Harga Pangan Strategis, harga rata-rata gula nasional masih Rp 18.200 per kg.
Menurut Ketua Umum Ikatan Pedagang Pasar Tradisional Abdullah Mansuri, pedagang pasar membeli gula dari pemasok rata-rata Rp 17.000 per kg. Distribusi gula hasil realokasi perlu diawasi secara ketat.
Gula impor dan rafinasi digadang-gadang jadi andalan untuk menstabilkan harga gula di tingkat konsumen. Terkait itu, pedagang pasar dan pelaku ritel menilai, pemerintah perlu mengawasi distribusi gula tersebut.
Menurut Mansuri, Kementerian Perdagangan perlu memperhatikan alur distribusi gula, terutama yang mengalir ke pasar tradisional. ”Caranya dengan menjual gula ke pedagang pasar dengan harga murah sehingga kami bisa menjualnya kepada masyarakat di sekitar harga acuan,” ujarnya.
Ketua Komite Ritel Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Tutum Rahanta mengatakan, peritel kesulitan mencari pasokan yang dapat dibeli dengan harga di bawah harga acuan. Mayoritas pemasok menjual gula dengan harga di atas Rp 12.500 per kg.
Dampaknya, kemampuan ritel menyerap dan menyediakan gula untuk konsumen pun terbatas. Peritel tak punya daya yang cukup untuk menstabilkan harga. ”Kalaupun ritel memiliki stok, biasanya langsung habis dalam hitungan jam,” ujarnya.
Kementerian Perdagangan telah meminta produsen menurunkan harga jual maksimal Rp 11.200 per kg ke distributor untuk gula dalam kemasan karung isi 50 kg dan sudah termasuk pajak. Ketetapan ini berlaku untuk semua produsen gula yang mendapatkan penugasan.
”Kami juga telah membentuk tim pengawas dan pemantau harga atau ketersediaan gula di pasar untuk memastikan distribusi gula ke 34 provinsi dengan harga sesuai harga eceran tertinggi yang sebesar Rp 12.500 per kg,” kata Menteri Perdagangan Agus Suparmanto dalam keterangan pers.