Indonesia Butuh Tambahan Dana Perlindungan Sosial
Banyak warga terdampak Covid-19 yang butuh bantuan langsung. Namun, alokasi anggaran jaring pengaman sosial justru lebih kecil dari stimulus insentif dan pemulihan ekonomi.
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah perlu menyiapkan anggaran jaring pengaman sosial lebih tinggi seiring semakin masifnya penyebaran Covid-19. Peningkatan anggaran harus dibarengi perluasan data penerima dan penyaluran bantuan sosial.
Sejauh ini tambahan belanja untuk jaring pengaman sosial sebesar Rp 110 triliun atau 27 persen dari total anggaran penanganan dampak Covid-19, yang senilai Rp 405,1 triliun.
Mayoritas anggaran dialokasikan untuk bidang ekonomi, yaitu insentif perpajakan dan stimulus kredit usaha rakyat Rp 70,1 triliun, serta program pemulihan ekonomi nasional Rp 150 triliun (54 persen). Adapun anggaran bidang kesehatan Rp 75 triliun (19 persen).
Ekonom Universitas Indonesia, Faisal Basri, Jumat (24/4/2020), berpendapat, pemerintah jangan menafikan anggaran jaring pengaman sosial di tengah pandemi Covid-19. Banyak warga terdampak Covid-19 yang butuh bantuan langsung. Namun, alokasi anggaran jaring pengaman sosial justru lebih kecil dibandingkan untuk stimulus insentif dan pemulihan ekonomi.
”Program jaring pengaman sosial yang ada cukup baik. Namun, anggaran pengaman sosial acap kali dikorbankan untuk mengakomodasi yang lain-lain. Bahkan, dalam APBN, pertumbuhannya paling rendah,” ujar Faisal dalam diskusi virtual bertajuk ”Ongkos Ekonomi Hadapi Krisis Covid-19” di Jakarta.
Banyak warga terdampak Covid-19 yang butuh bantuan langsung. Namun, alokasi anggaran jaring pengaman sosial justru lebih kecil dibandingkan untuk stimulus insentif dan pemulihan ekonomi.
Dalam APBN 2020, anggaran untuk perlindungan sosial meningkat menjadi Rp 372,5 triliun dari Rp 369,1 triliun pada 2019. Pertumbuhan anggaran perlindungan sosial kurang dari 1 persen.
Faisal menambahkan, dampak ekonomi pandemi Covid-19 dapat diminimalkan apabila penanganan kesehatan dan pembatasan sosial berjalan efektif. Pemerintah harus memberikan kompensasi pendapatan bagi penduduk kelas menengah ke bawah yang kehilangan pekerjaan. Perlindungan sosial bukan hanya untuk penduduk termiskin dan miskin.
Staf Khusus Menteri Keuangan Bidang Perumusan Kebijakan Fiskal dan Makroekonomi Masyita Crystalin mengemukakan, kendala perluasan jaring pengaman sosial adalah data. Saat ini pemerintah hanya memiliki data penerima bantuan berdasarkan nama dan alamat untuk 20 persen penduduk termiskin.
”Akses langsung yang dimiliki pemerintah hanya 20 persen penduduk termiskin, sementara ada 40 persen-50 persen penduduk kelas menengah bawah yang ikut terpengaruh konsumsinya akibat Covid-19,” ujarnya.
Baca juga: ”Cancut Taliwondo” untuk Data Penerima Bantuan
Keterbatasan data menjadi kendala memperluas jaring pengaman sosial untuk penduduk menegah bawah. Untuk itu, pemerintah berusaha melakukan pendekatan data dari data-data program bantuan sosial (bansos) lain, seperti subsidi listrik, Data Terpadu Kesejahteraan Sosial nonpenerima bansos, dan koordinasi dengan pemerintah daerah.
”Pemerintah pusat juga tidak dapat menanggung besarnya anggaran jaring pengaman sosial terkait Covid-19. Keterbatasan fiskal nasional mesti diatasi dengan urun biaya bersama pemerintah daerah. Urun biaya antara pusat dan daerah salah satunya untuk bantuan langsung tunai khusus Jabodetabek,” kata Masyita.
Baca juga: Atasi Dampak Ekonomi Covid-19, Pemda Diminta Siapkan Bantuan Sosial
Desakan tambah anggaran
Anggota Komisi XI dari Fraksi PDI-Perjuangan, Hendrawan Supratikno, mengatakan, sudah sepatutnya anggaran bantuan sosial ditambah untuk melindungi lebih banyak kelompok masyarakat. Ia sepakat dengan usulan Kamar Dagang dan Industri Indonesia (Kadin) untuk menambah anggaran penanganan Covid-19 sampai Rp 1.600 triliun dan memprioritaskannya untuk jaring pengaman sosial.
Usulan itu disampaikan Ketua Umum Kadin Rosan Roeslani dan sedang dipertimbangkan di level pemerintah. Kadin mengusulkan, dari Rp 1.600 triliun itu, sebanyak Rp 600 triliun diprioritaskan untuk jaring pengaman sosial.
Menurut Hendrawan, jika dibandingkan dengan negara lain, anggaran yang dialokasikan pemerintah untuk menghadapi pandemi dalam rasio terhadap produk domestik bruto (PDB) memang masih sangat rendah, yakni 2,4 persen. Alokasi untuk jaring pengaman sosial sebesar Rp 110 triliun pun masih di bawah 30 persen dari total Rp 405 triliun anggaran penanganan Covid-19.
Dengan melihat perkembangan penyebaran Covid-19 saat ini dan dampak ekonomi yang dibawa, anggaran jaring pengaman sosial perlu ditingkatkan. ”Untuk bulan-bulan awal, bantuan langsung secara masif sangat vital. Kelompok masyarakat rentan jangan dibiarkan terus menukik ke bawah garis kemiskinan. Prinsipnya, selamatkan yang rentan, baru setelah itu, stimulus untuk dunia usaha,” katanya.
Kelompok masyarakat rentan jangan dibiarkan terus menukik ke bawah garis kemiskinan. Prinsipnya, selamatkan yang rentan, baru setelah itu, stimulus untuk dunia usaha.
Dengan dilonggarkannya batas defisit APBN di atas 3 persen, Hendrawan meyakini pemerintah bisa lebih leluasa menambah anggaran. Di sisi lain, pemerintah juga bisa menempuh kebijakan lain untuk menjaga sumber pembiayaan APBN, misalnya dengan menerbitkan lagi surat utang negara dalam denominasi mata uang rupiah.
Bank Indonesia juga bisa melakukan kebijakan pelonggaran kuantitatif (quantitative easing) secara selektif untuk menambah jumlah uang yang beredar di pasar. ”Bisa melalui mencetak uang, tambahan uang beredar dalam kondisi kritis seperti ini pengaruhnya seharusnya rendah terhadap inflasi,” kata Hendrawan.
Beberapa lembaga memprediksi angka kemiskinan dan pengangguran akan melonjak tahun ini akibat dampak Covid-19 terhadap ekonomi. SMERU Research Institute, misalnya, memprediksi, dalam skenario paling ringan (pertumbuhan ekonomi 4,2 persen), angka kemiskinan akan naik 9,7 persen atau muncul 1,3 juta orang miskin baru. Sementara, dalam skenario terberat (pertumbuhan ekonomi 1 persen), angka kemiskinan melonjak 12,4 persen sampai 8,45 juta orang.
Direktur SMERU Research Institute Widjajanti Isdijoso mengemukakan, saat ini ada banyak kelompok masyarakat yang belum terlindungi karena tidak termasuk penerima program bansos yang ada saat ini. Cakupan penyaluran bansos memang perlu diperluas untuk masyarakat yang selama ini hidup di atas garis kemiskinan, tetapi berpotensi jatuh miskin akibat pandemi ini.
Masih banyak pula pekerja dan pelaku usaha di sektor informal yang selama ini sulit dideteksi dan didata sehingga tidak mendapat bansos. Hal penting lain yang disoroti adalah menjaga supaya tidak ada penambahan angka pengangguran lagi. Bentuknya, perlu ada program baru berupa subsidi upah pekerja dari pemerintah agar pekerja tidak usah sampai di-PHK.
”Kalau ada perusahaan yang sudah tidak kuat, lapor ke pemerintah, nanti dicek kondisinya. Kalau memang tidak sanggup, pemerintah yang membayarkan gaji separuh dari UMR supaya pegawai tidak sampai di-PHK. Pendataan untuk pekerja sektor formal seharusnya tidak sulit,” kata Widjajanti.
Baca juga: Waspadai Lonjakan Kemiskinan dan Pengangguran
Untuk itu, lanjut Widjajanti, penambahan anggaran jaring pengaman sosial menjadi hal mutlak. Seiring dengan penggunaan anggaran yang akan semakin besar itu, ujarnya, pendataan pemerintah harus lebih teliti dan tepat sasaran. Bansos harus benar-benar selektif turun ke kelompok yang membutuhkan, tidak seperti yang terjadi saat ini.
”Efektivitas penyaluran bantuan ini yang harus dicermati. Jangan sampai salah sasaran lagi karena akurasi data yang lemah,” ujarnya.