Bukan yang kuat yang mampu bertahan, melainkan yang pintar beradaptasi terhadap segala perubahan. Sektor energi adalah salah satu sektor yang berada dalam pusaran perubahan. Perusahaan harus antisipasi sedini mungkin.
Oleh
ARIS PRASETYO
·3 menit baca
Bukan yang kuat yang mampu bertahan, melainkan yang pintar beradaptasi terhadap segala perubahan. Sektor energi adalah salah satu sektor yang berada dalam pusaran perubahan.
Peringatan itu disampaikan Wakil Menteri BUMN Budi Gunadi Sadikin. Dalam pidatonya dalam acara Jakarta Energy Forum 2020, awal Maret lalu, ia meriwayatkan kisah transisi energi sejak ditemukannya mesin uap dan kian booming-nya komoditas minyak. Peristiwa itu menyebabkan perubahan signifikan pada peta industri. Ada yang tumbuh, ada yang mati.
Pada 1900-an, minyak bumi mulai banyak dipakai sebagai bahan bakar kendaraan, seperti sepeda motor, kereta api, dan mobil. Peristiwa itu menandai perubahan perilaku orang-orang yang mulai meninggalkan kuda atau sepeda sebagai alat transportasi utama. Semua beralih ke yang lebih cepat dan yang bisa mengangkut lebih banyak barang dan orang.
Di tengah-tengah apa yang disebut dunia sebagai perubahan iklim akibat suhu bumi meningkat karena pembakaran energi fosil, dunia berseru untuk beralih pada energi terbarukan. Tenaga air, angin, surya, panas bumi, dan semua jenis energi terbarukan lainnya, tidak membakar dan menghasilkan emisi yang membuat suhu bumi naik. Ringkasnya, tinggalkan fosil dan beralih ke energi terbarukan.
Di tengah-tengah apa yang disebut dunia sebagai perubahan iklim akibat suhu bumi meningkat karena pembakaran energi fosil, dunia berseru untuk beralih pada energi terbarukan.
Budi memberikan sinyal ke dua perusahaan milik negara, yakni PT Pertamina (Persero) dan PT Perusahaan Listrik Negara (Persero), agar belajar dari sejarah transisi energi. Apalagi, 65 persen penerimaan Pertamina datang dari bisnis energi fosil. Sementara PLN, 60 persen pembangkitnya menggunakan batubara, yang juga berjenis fosil, sebagai sumber energi primer.
Sepeda motor listrik dan mobil listrik kian bertebaran di jalanan. Alat transportasi itu tak membutuhkan BBM untuk dioperasikan. Begitu pula panel tenaga surya di atap-atap rumah atau gedung perkantoran. Listrik bisa dihasilkan sendiri tanpa bantuan pasokan dari mesin pembangkit listrik.
Bisa jadi, perubahan tersebut tidak akan membuat Pertamina atau PLN terkena dampaknya dalam waktu dekat. Tidak pula bakal membuat dua perusahaan besar itu lantas mati tiba-tiba. Toh, melihat lagi rencana umum energi nasional (RUEN) di Indonesia, sampai 2050 pun, Indonesia masih butuh banyak batubara, minyak, dan gas bumi dalam bauran energi nasional.
Pernahkah kita berpikir listrik untuk mengisi ulang baterai ponsel atau laptop datangnya dari mana? Apakah dari pembakaran batubara, pembangkit listrik tenaga air, atau panas bumi? Rasanya tak ada yang peduli.
Di tahun itu pula, minyak diperkirakan masih berperan 20 persen, batubara 24 persen, dan gas bumi 25 persen. Sisanya, 31 persen datang dari energi terbarukan. Itu masih angka yang sangat optimistis. Kenapa demikian? Target bauran energi pada 2025 saja masih jauh panggang dari api. Energi terbarukan yang diproyeksikan mencapai sedikitnya 23 persen, saat ini tertinggal jauh di angka kurang dari 10 persen. Artinya, pencapaian seperti yang tercantum dalam dokumen RUEN bakal lebih lama lagi terwujud.
Apalagi, masyarakat kurang begitu peduli dari mana datangnya energi. Pernahkah kita berpikir listrik untuk mengisi ulang baterai ponsel atau laptop datangnya dari mana? Apakah dari pembakaran batubara, pembangkit listrik tenaga air, atau panas bumi? Rasanya tak ada yang peduli. Yang penting listrik menyala dan harganya terjangkau (baca: murah).
Budi tak menguraikan harus seperti apa Pertamina dan PLN beradaptasi nanti. Yang jelas, fenomena itu tak bisa diabaikan dan harus diambil sebagai pelajaran. Setiap perubahan harus direspons dengan penyesuaian. Dalam perubahan, bukan yang kuat yang bisa bertahan, melainkan yang mampu beradaptasi.
Mengutip data Fortune 500 pada 2009, dari 10 daftar perusahaan dengan penerimaan terbesar di dunia, ada tiga perusahaan migas yang terdaftar, yaitu ExxonMobil Corporation (1), Chevron Corporation (3), dan ConocoPhillips (4). Perusahaan ritel Wal-Mart Stores Inc ada di peringkat dua.
Intisarinya adalah, setiap perubahan harus dicermati, diantisipasi, dan perlu penyesuaian. Selalu ada peluang dalam setiap perubahan. Begitu pula dengan pandemi Covid-19 yang banyak memberikan pelajaran di semua sektor, termasuk bidang energi.