Sudah Penghasilan Menipis, Cari Alternatif Pekerjaan Pun Sulit
Kebijakan kerja dari rumah bagi pekerja formal menimbulkan efek domino pada pekerja di sektor informal. Sementara itu, alternatif pekerjaan lain untuk tetap menghasilkan pendapatan juga sulit didapatkan.
Oleh
ERIKA KURNIA
·4 menit baca
Kebijakan bekerja dari rumah untuk mencegah penyebaran virus korona jenis baru bagi pekerja formal telah berjalan sejak awal pekan ini. Kebijakan ini pun menimbulkan efek domino bagi aktivitas pekerja informal yang tidak berpenghasilan tetap.
Pekerja formal yang diminta bekerja dari rumah secara umum masih bisa menikmati pendapatan utuh. Namun, tidak dengan pekerja informal yang mendapatkan penghasilan dari pergerakan orang dan penjualan barang di area tertentu.
Mia (58), pedagang kue di kawasan perkantoran daerah Palmerah Selatan, Tanah Abang, Jakarta Pusat, mengatakan telah beberapa hari terakhir merasakan penjualan turun. Jika biasanya ia selesai berjualan pukul 09.30, pada jam yang sama hari ini, Rabu (18/3/2020), masih banyak ragam makanan yang tersisa.
”Biasanya jam segini banyak yang sudah habis dibeli orang kantoran atau orangtua untuk bekal anak ke sekolah. Tetapi, beberapa hari terakhir baru sisa sedikit di atas jam 11.00,” tuturnya kepada Kompas.
Sejak Senin (16/3/2020), Pemerintah Provinsi DKI Jakarta tidak hanya mengimbau perusahaan-perusahaan di Ibu Kota untuk menerapkan kebijakan bekerja dari rumah. Kegiatan belajar-mengajar juga dihentikan sementara sebagai upaya pembatasan sosial.
Pembatasan sosial itu pun membuat Mia dan penjual lain, yang menitipkan barang dagangan ke lapak Mia, mengurangi jumlah produksi untuk meminimalkan kerugian. Hari ini saja, Mia hanya membuat 130 donat, yang untungnya sudah habis terjual. Biasanya, ia bisa menjual 145 donat atau lebih.
Pedagang toko kelontong, seperti Indrawati, juga merasakan dampak yang nyata dari berkurangnya aktivitas warga. Pedagang yang membuka toko di kawasan Pasar Palmerah dan perkantoran tersebut mengakui ada penurunan omzet dalam beberapa minggu terakhir.
”Sejak toko buka jam enam pagi, saya baru dapat Rp 20.000 dari penjualan sebungkus rokok. Biasanya saya bisa ngantongin Rp 100.000 atau lebih,” katanya.
Sejak mewabahnya virus korona jenis baru di Jakarta, ia pun kerap menutup toko lebih awal. Sampai hari Rabu (18/3/2020) dilaporkan, terdapat 374 pasien dalam pengawasan terkait kasus Covid-19 di wilayah Jakarta.
Sulit cari alternatif
Pekerja informal lain yang merasakan dampak akibat pembatasan sosial adalah pengemudi transportasi daring. Sejumlah pengemudi yang mengandalkan pergerakan pekerja kantoran di kawasan Jakarta Pusat nyaris kesulitan mendapat penumpang.
Andre, pengemudi ojek daring, mengatakan, dalam beberapa hari terakhir ia hanya melayani kurang dari 10 perjalanan setiap hari. Sebelum adanya kebijakan bekerja dari rumah, Andre yang biasa kerja mulai pukul 08.00 sampai pukul 19.00 bisa melayani sampai 20 perjalanan.
”Setiap pagi saya biasanya banyak ambil orderan (pesanan) dari sekitar Stasiun Palmerah atau Stasiun Karet. Kalau siang saya ke kawasan SCBD karena ramai orang kantoran pergi makan siang. Tapi, semua tempat sekarang sepi,” ujarnya.
Sementara layanan antar jemput orang sepi, Andre pun mengaku sulit beralih ke layanan lain, seperti pengantaran makanan atau barang. Selain permintaannya cenderung stabil, Andre juga membatasi diri agar tidak berujung rugi.
”Untuk layanan antar barang, saya cuma mau ambil yang jaraknya kurang dari 3 kilometer. Kalau layanin yang jauh, adanya rugi, orderan sedikit, tapi malah buang-buang bensin,” ucapnya.
Kesulitan mencari alternatif pendapatan lain juga dirasakan pengemudi ojek daring lainnya seperti Nizam. Pemuda yang menjadikan pekerjaan pengemudi ojek sebagai usaha sampingan itu sebenarnya memiliki usaha lain, yaitu menjadi penjual casing ponsel.
Namun, sayang, usaha sampingan yang telah ia kerjakan beberapa tahun terakhir itu penjualannya juga seret akibat wabah korona. Pasalnya, stok bahan baku casing yang dijual bergantung pada impor dari China.
”Sudah sejak awal Februari stok yang baru habis. Jadi, saya jual stok lama aja. Akibatnya jadi susah ngejual, soalnya barangnya terbatas,” katanya.
Kondisi ini tentu akan semakin mencekik keuangan pekerja informal. Menurut Survei Angkatan Kerja Nasional Agustus 2019, pekerja di 8 dari 17 kategori lapangan kerja memiliki penghasilan lebih rendah dari rata-rata upah buruh nasional sebesar Rp 2,91 juta per bulan.
Delapan kategori lapangan kerja itu antara lain pekerja pengadaan air dan pengelola sampah (Rp 2,48 juta), perdagangan besar dan eceran (Rp 2,46 juta), penyediaan akomodasi dan makan minum (Rp 2,38 juta), serta jasa lainnya (Rp 1,77 juta).
Berdasarkan data yang sama, dari 126,51 juta penduduk Indonesia yang bekerja, sebanyak 55,72 persen (70,49 juta orang) bekerja di sektor informal. Adapun 44,28 persen lainnya bekerja di sektor formal.