logo Kompas.id
EkonomiVirus Korona ”Menginfeksi”...
Iklan

Virus Korona ”Menginfeksi” Ekonomi Dunia, Bagaimana Nasib Indonesia?

Virus korona baru merebak di tengah berlanjutnya ketidakpastian ekonomi dunia. Belum usai perang dagang kontra AS, China berperang dengan virus korona baru. Dampak rambatannya bisa kemana saja. Bagaimana Indonesia?

Oleh
hendriyo widi
· 6 menit baca
https://cdn-assetd.kompas.id/q-DgyRgzCfQjPCHa4FkylPDrKvE=/1024x683/filters:watermark(https://cdn-content.kompas.id/umum/kompas_main_logo.png,-16p,-13p,0)/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2020%2F01%2F94da8b69-997e-4fc6-a974-9ad12f198001_jpg.jpg
KOMPAS/ANGGER PUTRANTO

Petugas Kantor Kesehatan Pelabuhan kelas II Probolinggo menggunakan alat pemindai suhu tubuh untuk memantau suhu tubuh para penumpang yang baru saja mendarat di Bandara Banyuwangi, Jawa Timur, Senin (27/1/2020). Kantor Kesehatan Pelabuhan kelas II Probolinggo bersama Angkasa Pura II mengaktifkan Thermal Scaner dan thermometer infrared sebagai antisipasi penyebaran virus korona jenis baru (novel coronavirus/2019-nCoV).

Wabah virus korona baru (novel coronavirus/2019-nCoV) dikhawatirkan semakin memperburuk kondisi ekonomi global yang tengah diselimuti ketidakpastian. Jika tidak segera ditangani secara tuntas, dampaknya dikhawatirkan melebihi wabah Sindrom Pernapasan Akut Berat (SARS) pada 2002 dan 2003.

Hal itu bisa terjadi karena ekonomi China beberapa tahun terakhir ini jauh lebih besar dan lebih terhubung dengan ekonomi global. Dari waktu ke waktu, pengaruh China terhadap dunia di berbagai sektor ekonomi, terutama perdagangan barang dan jasa, investasi, serta finansial, semakin besar.

Pada 2019, Dana Moneter Internasional (IMF) menempatkan China sebagai negara dengan perekonomian terbesar kedua setelah Amerika Serikat (AS). Pada tahun itu, produk domestik bruto (PDB) China sebesar 14,14 triliun dollar AS, sedangkan AS senilai 21,43 triliun dollar AS.

Virus asal Wuhan, Provinsi Hubei, China, itu merebak di tengah berlanjutnya ketidakpastian ekonomi global. Belum usai perang dagang kontra AS, China harus berperang dengan virus korona baru.

Virus asal Wuhan, China, itu merebak di tengah berlanjutnya ketidakpastian ekonomi global. Belum usai perang dagang kontra AS, China harus berperang dengan virus korona baru.

https://cdn-assetd.kompas.id/Nkx9D05HTtjooBpi70NO6qB-zyI=/1024x655/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2020%2F01%2F20200125-H3-DMS-Penyebaran-Korona-mumed_1579964066.jpg

Senin lalu, media Pemerintah China melaporkan, virus korona baru itu menyebabkan 81 orang meninggal dan 2.844 orang terinfeksi. Virus ini juga terus menyebar di seluruh dunia.

AS telah mengonfirmasi kasus ini telah muncul di negara bagian Washington, Chicago, California, dan Arizona. Australia telah melaporkan lima kasus, Korea Selatan empat kasus, dan Hong Kong lima kasus. Taiwan, Thailand, Vietnam, Singapura, Malaysia, Nepal, Kamboja, Sri Lanka dan Kanada juga telah mengumumkan beberapa kasus.

Kondisi itu turut memukul perekonomian global. Sejumlah saham berjatuhan, pariwisata tersendat, dan industri manufaktur bakal tertekan. Cepat atau lambat, dampak serangan virus korona jenis baru ini akan berimbas pada relasi dagang, bisnis, dan investasi global.

Sejumlah saham berjatuhan, pariwisata tersendat, dan industri manufaktur bakal tertekan. Cepat atau lambat, dampak serangan virus korona jenis baru ini akan berimbas pada relasi dagang, bisnis, dan investasi global.

The New York Times mencatat, S&P 500, indeks yang terdiri dari saham 500 perusahaan bermodal besar asal AS, turun lebih dari 1,5 persen pada awal pembukaan pekan ini. Utamanya adalah saham maskapai penerbangan dan perusahaan yang bergantung pada pariwisata dari China sangat terpukul, seperti American Airlines yang turun sekitar 4 persen pada Senin kemarin.

Di waktu yang sama, Tokyo Stock Price Index atau indeks bursa saham Jepang turun 1,6 persen. Minyak mentah Brent yang menjadi patokan harga internasional turun 2,5 persen menjadi 59,14 dollar AS per barel setelah sebelumnya turun lebih dari 3 persen ke level terendah dalam hampir tiga bulan.

Baca juga: Pelaku Pasar Cemaskan Penyebaran Wabah Virus Korona

https://cdn-assetd.kompas.id/oxvPd8Pa6wzVs22DvMHjgPkqQiE=/1024x550/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2020%2F01%2FHarga-Minyak-Mentah-Dunia-3-Dekade-Terakhir_1578969483.jpg

Harga minyak mentah tersebut turun karena terimbas efek rambatan wabah virus korona baru. China merupakan negara importir minyak mentah terbesar di dunia. Pada Januari-November 2019, China mengimpor minyak sebanyak 461,88 juta ton, naik 10,4 persen dari periode sama tahun lalu.

Selain itu, tren peralihan investasi dari negara-negara yang menjadi surga investasi, seperti AS dan China terus berlanjut. Investor lebih memilih memindahkan investasi ke emas karena risikonya lebih rendah. Hal itu turut menaikkan harga emas sebesar 0,8 persen menjadi 50,9 dollar AS per gram.

Di sektor pariwisata, pariwisata global diperkirakan turut terguncang. Larangan penerbangan dari otoritas China dan berbagai negara akan mengurangi jumlah warga China yang melancong atau melakukan perjalanan bisnis ke sejumlah negara.

China Outbound Tourism Research Institute (CITRO) mencatat, pada 2017, ada 145 juta turis China yang melakukan perjalanan ke luar negeri. Total pengeluaran mereka diperkirakan sebesar 1,1 triliun dollar AS.

Baca juga: Wisata Asia Terdampak

https://cdn-assetd.kompas.id/pyhs5LD5hmxFzFBEYhkQgPqA05s=/1024x576/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2020%2F01%2FCHINA-HEALTH-VIRUS_86708612_1579973344.jpg
AFP/HECTOR RETAMAL

Seorang perawat menunggu sarana transportasi saat akan memasuki lagi kota Wuhan untuk kembali bertugas di Rumah Sakit Umum Wuhan Yaxin melalui jalan yang diblokade aparat kepolisian. Pemerintah China membatasi pergerakan warga Wuhan, Provinsi Hubei, China bagian tengah, Sabtu (25/1/2020), guna mencegah penyebaran virus korona tipe baru. Wuhan adalah kota tempat virus korona tipe baru itu pertama kali terdeteksi.

Ekonomi China

Wabah virus korona baru itu datang saat ekonomi China tumbuh di tingkat terendah hampir 30 tahun terakhir ini. Pada 2019, ekonomi China hanya tumbuh 6,1 persen akibat perang dagang AS-China memukul sektor manufaktur, ekspor, dan konsumsi domestik.

Iklan

Wabah itu akan semakin memberikan guncangan ekonomi China pada tahun ini. Wabah yang merebak di tengah perayaan Tahun Baru China itu menyebabkan banyak warga tinggal di rumah. Ini akan memukul kontribusi konsumsi rumah tangga terhadap PDB.

Banyak perusahaan manufaktur di China yang berhenti beroperasi dan meminta karyawan tinggal di rumah. Shanghai, pusat keuangan China, telah memerintahkan perusahaan-perusahaan tidak beroperasi hingga 9 Februari 2020 sejak libur Imlek.

Baca juga: Dunia Waspada Hadapi Virus Korona Tipe Baru

Sementara pusat produksi Suzhou telah menunda kembalinya kerja jutaan buruh migran hingga seminggu. Suzhou merupakan kawasan industri yang ditempati perusahaan-perusahaan besar, antara lain iPhone Foxconn, Johnson & Johnson, dan Samsung Electronics.

Dengan tidak beroperasinya perusahaan-perusahaan manufaktur, ekspor dan impor China akan terhambat. Kondisi ini juga akan berdampak bagi negara-negara yang mengekspor produknya ke China, termasuk Indonesia.

https://cdn-assetd.kompas.id/CZPyjEt9LeLQZ992yvEgJyOSxE8=/1024x811/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2020%2F01%2F20200126-Opini-6_web_86744236_1580047509.jpg

Otoritas moneter dan komisi regulasi perbankan China bahkan telah menyiapkan langkah-langkah antisipasi terhadap perusahaan-perusahaan manufaktur yang terdampak. Penurunan suku bunga dan pembaruan pinjaman akan dilakukan.

Sejumlah analis dunia memperkirakan, wabah virus korona jenis baru ini akan memberikan guncangan ekonomi jangka pendek. Saat ini, efek rambatannya ke ekonomi masih tahap awal.

Namun, kalau tidak segera ditangani secara tuntas, ekonomi global akan semakin memburuk. Dampaknya dikhawatirkan lebih besar dari wabah SARS pada 2002 dan 2003 di China.

Dalam buku Innovation in Global Health Governance: Critical Cases karya Andrew F Cooper, disebutkan, wabah SARS merugikan industri pariwisata dan ritel di China masing-masing sebesar 20 miliar Yuan dan 3,5 miliar Yuan pada 2003. Selama wabah itu merebak, 110 negara dari 164 negara yang memiliki hubungan diplomatik dengan China mengeluarkan larangan penerbangan menuju China.

SARS juga menyebabkan produksi dan rantai pasok terganggu, sehingga ekspor dan investasi asing langsung di China tumbuh lambat. Buku itu juga memaparkan data Bank Pembangunan Asia (ADB) tentang dampak wabah SARS terhadap ekonomi China.

https://cdn-assetd.kompas.id/10RhBXJTcnt2WFwj8jjB1qjXcf8=/1024x910/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2019%2F01%2F20190121_H5_ARJ_gdp-mumed_WEB_1548087501.png

ADB memperkirakan dampak wabah SARS di sektor ekonomi menghilangkan PDB China sebesar 0,5 persen atau senilai 6,1 miliar dollar AS. Jika dikalkulasi dengan pengeluaran belanja negara untuk menangani wabah itu, PDB China yang hilang sebesar 17,9 miliar dollar AS atau 1,3 persen PDB.

Pada 2003, ekonomi China yang semula diperkirakan bisa tumbuh di atas 10 persen, hanya tumbuh 10 persen. Sementara, pada tahun yang sama, Morgan Stanley memperkirakan kerugian ekonomi global akibat wabah SARS sebesar 30 miliar dollar AS.

ADB memperkirakan dampak wabah SARS di sektor ekonomi menghilangkan PDB China sebesar 0,5 persen atau senilai 6,1 miliar dollar AS.

Selain itu, pengeluaran masyarakat China juga meningkat. Mereka memilih mengalokasikan pendapatan untuk biaya pencegahan dan perawatan. Berdasarkan survei terhadap 71 rumah tangga di Gunung Qinling di Provinsi Shaanxi pada triwulan II-2003, SARS menyebabkan pendapatan tahunan mereka rata-rata turun 22,36 persen.

”Ekonomi pulih dengan cepat setelah SARS memudar. Transportasi, restoran, dan penjualan ritel terpukul, tetapi secara keseluruhan SARS adalah hanya blip yang tidak mengubah tren besar,” kata Larry Hu dari Macquarie Capital.

Dampak rambatan

Sementara berdasarkan hasil penelitian Jong-Wha Lee dan Warwick J McKibbin berjudul ”Estimating the Global Economic Costs of SARS” yang dipublikasikan di National Academies Press (US), Washington, AS, penurunan PDB Indonesia akibat wabah SARS pada 2003 sebesar 0,08 persen.

Di tengah pertumbuhan ekonomi yang masih stagnan, yaitu sekitar 5 persen, Indonesia perlu mengantisipasi dampak rambatan virus korona baru ini terhadap ekonomi global, utamanya potensi melemahnya ekonomi China.

https://cdn-assetd.kompas.id/xtMXmss1PidGGjMqwWOFJOBG4qk=/1024x530/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2019%2F07%2F20190703-ANU-wisatawan-china-mumed_1562149604.png

Selama ini, China merupakan mitra dagang dan investasi, serta berkontribusi tinggi terhadap perkembangan pariwisata Indonesia. Pada Semester I-2019, nilai investasi China di Indonesia sebesar 2,3 miliar dolar AS atau 16,2 persen dari total investasi asing di Indonesia.

Baca juga: Wabah Virus Korona Berpotensi Ganggu Perekonomian Nasional

Badan Pusat Statistik (BPS) menyebutkan, China merupakan negara tujuan ekspor nonmigas Indonesia nomor satu. Pada 2019, nilai ekspor nonmigas Indonesia ke China sebesar 25,85 miliar dollar AS. Indonesia masih mengalami defisit perdagangan nonmigas dengan China sebesar 18,72 miliar dollar AS.

Pada Januari-November 2019, China juga menjadi penyumbang kunjungan wisatawan mancanegara (wisman) tertinggi kedua bagi Indonesia. Pada periode tersebut, jumlah kunjungan wisman ke Indonesia mencapai 14,92 juta. Dari jumlah itu, sebanyak 1,92 juta orang atau 12,87 persen adalah wisman asal China.

ADB menyebutkan, setiap 1 persen pelemahan ekonomi di China, akan menurunkan PDB Indonesia sebesar 0,2 persen. (REUTERS)

Editor:
khaerudin
Bagikan
Logo Kompas
Logo iosLogo android
Kantor Redaksi
Menara Kompas Lantai 5, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 5347 710
+6221 5347 720
+6221 5347 730
+6221 530 2200
Kantor Iklan
Menara Kompas Lantai 2, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 8062 6699
Layanan Pelanggan
Kompas Kring
+6221 2567 6000